Peluncuran Program Bank Wakaf Mikro, 8 Oktober 2018, di Pondok Pesantren Mawaridussalam, Deli Serdang, Sumatra Utara

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Oktober 2018
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.022 Kali

Assalamu’alaikum warahmatulahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu was salamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati Yang Mulia para Ulama, Tuan Guru, para Kiai, para Ustaz, wabil khusus Pimpinan Pondok Pesantren Mawaridussalam, Bapak Buya KH. Syahid Markum, MM, beserta seluruh santri dan santriwati yang siang ini hadir.
Yang saya hormati Sekretaris Kabinet, Ketua OJK, Gubernur Sumatra Utara, Bupati Deli Serdang,
Bapak-Ibu sekalian hadirin yang berbahagia.

Pertama-tama saya ingin mengingatkan kepada kita semuanya, ini selalu saya sampaikan di mana-mana, bahwa negara kita Indonesia adalah negara besar. Penduduk kita sekarang sudah 263 juta, 263 juta, yang tinggal di 17.000 pulau yang kita miliki, yang tinggal di 34 provinsi, 514 kabupaten dan kota.

Agar kita tahu semuanya Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian, bahwa Allah telah menganugerahi bangsa ini perbedaan-perbedaan, warna-warni, berbeda-beda, bermacam-macam suku. Kita memiliki 714 suku. Agama berbeda-beda, adat berbeda-beda, tradisi berbeda-beda. Bahasa daerah kita memiliki 1.100 lebih bahasa daerah, 1.100 lebih bahasa daerah. Suku, selalu saya banding-bandingkan dengan negara lain. Singapura, ada berapa suku di Singapura? Empat, kita 714. Afghanistan? Saya pernah tanya ke Doktor Ashraf Ghani, Presiden Afganistan, ada berapa suku di Afghanistan? Tujuh, Indonesia 714. Perbandingan ini marilah kita sadari bersama-sama, bahwa perbedaan-perbedaan itu memang sudah sunnatullah, sudah menjadi anugerah dari Allah yang diberikan kepada kita Bangsa Indonesia.

Pulau kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, ini juga sebuah bentangan yang sangat panjang. Saya pernah terbang dari Aceh, di Banda Aceh sampai di Papua, di Wamena naik pesawat. Berapa waktu yang dibutuhkan? Sembilan jam lima belas menit. Itu naik pesawat. Kalau jalan kaki silakan dihitung sendiri berapa tahun. Artinya apa? Negara ini sangat luas sekali. Kalau saya bandingkan, saya terbang dari London di Inggris ke timur, melewati satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,  mungkin sampai delapan negara, sampai di Istanbul di Turki. Artinya negara ini sangat besar sekali.

Oleh sebab itu, pada kesempatan yang baik ini, saya titip kepada kita semuanya, marilah kita jaga ukhuwah islamiah kita, marilah kita jaga ukhuwah wathaniyah kita. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, aset terbesar bangsa ini adalah persaudaraan, ukhuwah kita, persatuan kita, kerukunan kita. Saya titip ini. Jangan sampai, jangan sampai karena pilihan bupati, karena pilihan wali kota, atau karena pilihan gubernur, atau karena pilihan presiden, kita menjadi terpecah-pecah.

Saya perlu mengingatkan bahwa yang namanya pesta demokrasi seperti itu, entah pilihan wali kota, pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan presiden itu setiap lima tahun itu ada terus, akan ada. Enggak akan berhenti, akan ada terus. Apa kita mau setiap lima tahun ada, bukan ada, banyak antartetangga enggak saling sapa karena beda pilihan? Lha, lha, lha, lha, lha. Antarteman enggak saling sapa karena beda pilihan? Lho, lho, lho, lho, lho. Antarkampung enggak saling sapa juga karena beda pilihan? Apa ini mau diterus-teruskan? Sekali lagi, marilah kita jaga ukhuwah islamiah kita, ukhuwah wathaniyah kita.

Di dalam majelis taklim saja ada yang enggak saling sapa gara-gara hanya pilihan, entah pilihan presiden, entah pilihan gubernur, pilihan bupati, pilihan wali kota. Apa benar beda pilihan politik menjadi seperti itu? Silakan, ada pilihan bupati, mau pilih A silakan, mau pilih B silakan. Ada pilihan gubernur, mau pilih A silakan, mau pilih B silakan. Ada pilihan presiden mau pilih A silakan, mau pilih B silakan.

Ini negara memberikan kebebasan untuk kita memilih, tapi jangan sampai yang namanya pilihan-pilihan politik itu dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Berbahaya sekali. Karena modal terbesar bangsa ini adalah kerukunan, persatuan. Karena kita berbeda-beda, beda agama, beda suku, beda adat, beda tradisi, beda bahasa daerah.

Coba di Sumatra Utara sendiri, saya pernah ditegur tiga kali keliru. Setelah assalamualaikum, “horas!” Di sini horas gitu ya? Horas! Saya masuk ke Parapat, “horas!” “Pak, keliru Pak, di sini juah-juah.” Masuk lagi ke Karo, “horas,” “Pak keliru Pak, di sini mejuah-juah.” Keliru lagi. Ke Nias keliru lagi, “horas!” “Pak bukan horas Pak di sini Pak, di sini ya’ahowu.” Itu baru di Sumut. Di Sumut saja sudah beda-beda seperti itu, apalagi dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Bayangkan!

Kenapa saya ngomong seperti ini? Saya sudah datangi semuanya. Semua provinsi sudah saya datangi. Sabang saya datangi, Merauke saya datangi, Miangas yang pulau kecil yang hanya ada 220 KK di sana saya datangi, Pulau Rote saya datangi. Ya memang berbeda-beda dan itu, sekali lagi, adalah anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa kita Indonesia.

Jangan sampai, kita ini kalau sudah masuk ke tahun politik, isinya isu di mana-mana, isu di mana-mana. Perlu saya sampaikan, ini blak-blakan saya sekarang, mumpung ketemu dengan Bapak-Ibu sekalian, coba isunya Presiden Jokowi itu PKI. Lihat di medsos, PKI itu dibubarkan tahun ‘65-‘66, saya lahir tahun ‘61, berarti umur saya baru empat tahun. Apa ada aktivis PKI balita? Ya kita mikir dong. Tapi ada yang kemakan. Saya pernah masuk, enggak saya sampaikan di mana, ke pondok. Pak Kiai pimpinan pondok, mau pulang kan bisik-bisik. “Pak Presiden, saya mau bicara empat mata.” Saya sudah mikir ini pasti urusan PKI ini. Betul, masuk ke kamar saya ditanya, “Pak Presiden apakah, ya tadi.” Ya saya sampaikan, “saya lahir ‘61 Pak Kiai, PKI ini dibubarkan tahun ‘65-‘66, umur saya baru empat tahun. Masa ada PKI balita?” Pak Kiai baru kaget, “iya Pak Presiden ya”. Astagfirullah.

Inilah isu-isu. Jangan gampang termakan seperti itu. Ganti lagi, bukan Pak Presiden kok, bapak-ibunya. Nanti bapak-ibunya ganti lagi kakek-neneknya. Lho sekarang ini gampang sekali kok, mengecek gampang sekali. Masjid dekat rumah saya, masjid dekat orang tua saya, masjid dekat kakek-nenek saya. Ada NU di sana di Solo, ada Muhammadiyah di Solo, ada Persis di Solo, ada Al Irsyad di Solo, ada FPI di Solo, ada MTA di Solo, ada LDII di Solo. Tanya saja sudah. Tahu, semua orang di kampung juga mengerti semua siapa kita. Saya muslim, keluarga saya muslim, keluarga besar saya muslim, bapak-ibu saya muslim, kakek-nenek saya muslim semuanya. Jangan ditarik ke mana-mana.Berbahaya kalau ini, coba presiden saja digitu-gituin. Coba, apalagi yang bukan presiden.

Saya sebetulnya empat tahun sudah diam saja, sabar, diam sudah, sabar, diam. Tapi lama-lama, waduh, ini kalau enggak saya jawab dipikir benaran nanti. Saya jawab saja, sekarang saya jawab sudah. Jangan nanti ketarik ke mana-mana kalau enggak saya jawab.

Yang kedua, ini urusan Bank Wakaf Mikro. Ganti sekarang. Bank Wakaf Mikro ini kita sudah dirikan, tadi Pak Ketua OJK sudah sampaikan, sudah 33 pondok yang kita dirikan Bank Wakaf Mikro. Untuk apa Bank Wakaf Mikro ini didirikan? Karena apa? Akses masyarakat/umat, terutama lingkungan pondok pesantren untuk masuk ke bank, ke lembaga keuangan itu tidak mudah. Administrasinya rumit, agunan harus ada, jaminan harus ada. Ini yang menjadi keluhan yang setiap saya masuk ke desa, masuk ke pondok pesantren, masuk ke kampung suara itu yang saya dengar. Padahal masyarakat/umat perlu akses ke keuangan untuk modal kerja, untuk modal investasi, dan yang lain-lainnya.

Oleh sebab itu, didirikan yang namanya Bank Wakaf Mikro. Diberikan modal di setiap bank kurang lebih Rp8 miliar. Nanti Ibu-ibu yang mau pinjam atau yang sudah pinjam, pertama itu Rp3 juta. Nanti kalau sudah mengangsur baik, bisa dikembangkan lagi  Rp1 sampai 3 juta. Kemudian kalau sudah diangsur, bagus, mau nambah Rp10 (juta) silakan, mau nambah Rp15 (juta) silakan. Tapi pertama harus…, kan enggak ada agunan.

Ini untuk apa? Pengembangan ekonomi mikro, pengembangan ekonomi umat, terutama di pondok dan di lingkungan pondoknya harus berjalan dengan baik.

Ini akan kita kembangkan terus, enggak akan berhenti. Dan kita harapkan nantinya kalau ini sudah gede, sudah ratusan atau sudah ribuan, ini akan di-holding-kan menjadi sebuah bank besar. Ini memang baru dalam membangun sebuah pondasi.

(Dialog Presiden RI dengan Nasabah Bank Wakaf Mikro)

Kalau mau pinjam, saya titip Ibu-ibu atau Bapak-Bapak, kalau mau pinjam tolong dikalkulasi, tolong dihitung, bisa mengembalikan ndak, bisa mengangsur ndak, bisa mencicil ndak. Dihitung. Jangan sampai waktu minjam enak, Rp1.000.000 enak, begitu mengangsur nanti keringatan keluar semuanya nanti. Hati-hati, hati-hati. Ini adalah, uang itu adalah milik Bank Wakaf Mikro yang nanti kalau bergulir itu bisa berkembang, berkembang, berkembang ke Ibu-ibu yang lain, ke usaha-usaha yang lain. Tidak hanya  untuk satu, dua, tiga, empat,  lima, enam orang.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, siang hari ini saya resmikan Bank Wakaf Mikro Pondok Pesantren Mawaridussalam, di Deli Serdang, Sumatra Utara.

Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh.

Sambutan Terbaru