Pembelajaran Teori Krisis
Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)
Paska pengumuman paket kebijakan penangkal krisis, pemerintah bergerak cepat untuk memastikan supaya implementasinya tidak terkendala khususnya dari sisi birokrasi yang sering menjadi keluhan. Sayangnya paket kebijakan penangkal krisis tersebut sepertinya belum memberikan sinyal yang memuaskan. Nilai tukar rupiah terus saja melemah ke titik yang paling rendah dalam sejarah perekonomian bangsa Indonesia. Namun demikian, pemerintah tetap berkeyakinan bahwa pendulum akan segera bergerak ke arah perbaikan dalam beberapa waktu ke depan. Yang diperlukan saat ini adalah keyakinan dan keteguhan akan kinerja pemerintah.
Keseluruhan regulasi tersebut diharapkan mampu menerjemahkan rencana Pemerintah terkait strategi ”tetap mengkonsumsi di masa krisis” (keep buying strategy) sebagai antisipasi badai resesi yang sedang melanda. Dalam beberapa kesempatan, Presiden menyatakan strategi yang sama terbukti berhasil menyelamatkan ekonomi Indonesia dari amukan krisis tahun 2008 dan 2013. Karenanya pemerintah cukup konfiden, strategi tersebut akan kembali berhasil, mengingat kondisi fundamental makro ekonomi Indonesia relatif lebih baik dibanding 2008 dan 2013.
Meskipun menuai banyak apresiasi, beberapa pihak mempertanyakan keseriusan pemerintah, khususnya terkait dengan birokrasi dan ketepatan program. Secara teori, keep buying strategy berlawanan dengan fakta yang ada, karena dalam periode krisis, biasanya masyarakat dan seluruh pihak justru akan mengurangi konsumsinya. Berkurangnya demand masyarakat ini pada gilirannya menyebabkan industri menjadi mandek, pengangguran bertambah, inflasi makin tak terkendali dan akhirnya negara akan terjerembab dalam krisis yang berkelanjutan.
Dalam kondisi demikian, dibutuhkan solusi menciptakan demand baru oleh pemerintah, atau berusaha menstabilkan inflasi sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. Pemikiran inilah yang kemudian dijadikan dasar pemerintah dalam mengimplementasikan keep buying strategy. Namun perlu dicatat bahwa mempertahankan konsumsi di masa krisis dianggap kredibel, jika struktur barang yang dikonsumsi merupakan barang yang diproduksi di dalam negeri. Jika konsumsi dilakukan untuk barang yang impor, justru berpotensi memperpanjang periode krisis. Dan struktur barang konsumsi di Indonesia, hingga kini masih dikategorikan heavy import. Akibatnya banyak yang menilai pemerintah salah mengambil kebijakan penangkal krisis.
Teori krisis
Terlepas dari kontroversi publik, ketika bicara masalah krisis, ada beberapa penggolongan berdasarkan ciri masing-masing. Teori krisis yang pertama dikenal sebagai First Generation Model (FGM) atau sering disebut sebagai exogeneous policy model. Model krisis ini lebih menitikberatkan kepada inkonsistensi kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar dari pemerintah dalam menghadapi serbuan spekulator yang memaksa negara mengubah nilai tukar mata uangnya.
Secara empiris FGM ditandai membengkaknya defisit APBN suatu negara, pertumbuhan money supply yang berlebihan, cadangan devisa yang semakin terkuras, inflasi yang tinggi serta over valued dari nilai tukar mata uang domestik. FGM ini dapat menjelaskan fenomena krisis yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin tahun 1970 dan 1980-an. Gejala krisis 2015 dalam kacamata penulis sedikit banyak memiliki kemiripan dengan ciri-ciri FGM ini.
Teori berikutnya dikenal sebagai Second Generation Model (SGM) atau endogeneous policy model. Munculnya krisis SGM ini, merupakan jawaban terhadap fenomena krisis yang terjadi di Eropa akibat penerapan European Exchange Rate Mechanism (ERM) tahun 1992. Ketika itu antar negara-negara Eropa dalam kerangka Uni Eropa berlaku fixed exchange rate system. Masing-masing Bank Sentral mempertahankan nilai tukarnya dalam besaran tersebut dengan cara jual beli valuta asing. Jika tidak berhasil, nilai tukar harus diubah.
Mata uang masing-masing anggota kemudian ditambatkan terhadap mata uang Jerman yang dianggap mempunyai inflasi yang rendah dan stabil. Namun keadaan berubah tahun 1992, dimana terjadi kekacauan ERM. Akibat penyatuan Jerman, pertumbuhan ekonomi di Jerman meningkat sangat tinggi, di sisi lain, negara-negara Eropa lainnya justru mengalami perekonomian yang lesu. Perbedaan kondisi ekonomi inilah yang kemudian memicu timbulnya SGM.
Badai krisis Asia tahun 1998 juga mengilhami munculnya teori krisis Third Generation Model (TGM). Oleh beberapa pengamat, TGM sering dikonotasikan sebagai Asian Crisis. Krisis diawali kejatuhan nilai baht Thailand, diikuti kejatuhan nilai won Korea. Krisis kemudian menjalar ke Indonesia, Malaysia, Filipina dan beberapa negara Asia lainnya. Secara umum, penyebab utama terjadinya TGM adalah perilaku moral hazard dan balance sheet effects yang tidak terkontrol. Moral hazard muncul akibat implicit government guarantee yang siap membail-out perusahaan swasta dan bank yang dalam masalah serta menjamin keuntungan masa depan investor. Akibatnya terjadi excessive borrowing dan lending secara masif dalam industri perbankan.
Krisis finansial global tahun 2008, oleh banyak ekonom disebabkan praktek shadow banking system yang menimpa beberapa institusi keuangan ternama di AS. Krisis juga disebabkan praktek-praktek ekonomi Ponzy serta kejatuhan subprime mortgage loan market di AS. Sebagai negara adikuasa, krisis di AS tentu menyebabkan dampak siginifikan di dunia, khususnya di Eropa sebagai mitra dagang utama. Di saat yang bersamaan, kondisi fundamental ekonomi Eropa juga sedang memburuk sehingga beberapa negara menyatakan bangkrut dan siap mengajukan proposal bantuan lembaga internasional.
Berdasar uraian peristiwa krisis modern ini, seharusnya pemerintah dapat belajar lebih cepat dalam memformulasikan solusi anti krisis. Satu hal yang perlu diingat, transparansi, akuntabilitas dan stabilitas ekonomi politik, selalu menjadi prasyarat utama menghadapi krisis jenis apapun. Di tengah dukungan berbagai fundamental ekonomi makro yang kondusif, harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter yang semakin meningkat serta transparansi dan akuntabilitas publik yang juga semakin hebat, penulis yakin pemerintah mampu menghadapi ancaman krisis 2015. Namun demikian, kewaspadaan tetap harus dilakukan, mengingat posisi Indonesia yang masih belum netral dari dampak globalisasi ekonomi dunia serta periode paska transisi kepemimpinan nasional tahun 2014 yang dapat menjadi batu sandungan utama.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap instansi dimana penulis bekerja.