Pembukaan Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reformasi Agraria (GTRA) Summit 2022, di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, 9 Juni 2022
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Maju;
Yang saya hormati Pimpinan Komisi II DPR RI;
Yang saya hormati Gubernur Sulawesi Tenggara beserta jajaran Forkopimda, beserta para gubernur yang hadir;
Yang saya hormati Bupati Wakatobi beserta para bupati, wali kota yang hadir, yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo), para peserta GTRA (Gugus Tugas Reformasi Agraria);
Bapak-Ibu hadirin dan undangan yang berbahagia.
Sudah sejak 2015 saya selalu menyampaikan, berkali-kali saya perintahkan dan saya tegaskan kembali betapa pentingnya yang namanya sertifikat. Karena kita lihat tumpang tindih pemanfaatan lahannya harus semuanya diselesaikan, tidak boleh lagi ada sengketa lahan. Karena setiap saya ke daerah, setiap saya ke desa, setiap saya ke kampung, selalu persoalan sengketa lahan/sengketa tanah itu selalu ada, yang ini juga menimbulkan kekhawatiran pada investasi.
Hati-hati dari 126 juta yang harusnya pegang sertifikat, (tahun) 2015 itu baru 46 juta. Baru 46 juta, artinya 80 juta penduduk kita menempati lahan, tetapi tidak memiliki hak hukum atas tanah, yang namanya sertifikat. Yang lebih menjengkelkan lagi, justru yang gede-gede kita berikan. Ini yang saya ulang-ulang, HGB 10 ribu hektare ini, HGB dua ribu hektare ini, HGB 30 ribu hektare ini, berikan. Tapi begitu yang kecil-kecil 200 meter persegi saja, entah itu hak milik, entah itu HGB, tidak bisa kita selesaikan. Inilah persoalan besar kita, kenapa yang namanya sengketa lahan itu ada di mana-mana, 80 juta lahan yang ditempati masyarakat belum bersertifikat (tahun) 2015.
Saya cek lagi, ini persoalannya apa sih? Ternyata setahun memang kita hanya mengeluarkan kurang lebih 500 ribu sertifikat. Kalau kurangnya 80 juta, 126 kurangi 46 berarti 80 juta. Kalau setahun hanya mengeluarkan 500 ribu sertifikat, artinya masyarakat kita, penduduk kita yang memiliki lahan itu harus menunggu 160 tahun. Kita baru sadar betul bahwa memang inilah persoalan dasarnya ada di sini, setahun hanya 500 ribu (sertifikat).
Oleh sebab itu, saat itu [tahun]2015 saya perintah kepada Menteri ATR/BPN, saya minta lima juta (sertifikat) tahun ini. Rampung. Saya naikkan lagi, saya minta tahun ini tujuh juta. Selesai, rampung. Saya minta tahun ini sembilan juta. Saya cek, selesai, loh, loh. Artinya, kita ini memang bisa melakukan, bisa mengerjakan, tetapi tidak pernah kita lakukan. Melompat dari 500 ribu kepada sembilan juta setahun, nyatanya bisa. Sehingga sampai sekarang ini dari 46 juta sudah naik menjadi 80,6 juta sertifikat hak milik.
Sekarang ada tambahan lagi, karena di lapangan banyak persoalan-persoalan yang khusus dan spesifik di pulau-pulau kecil. Seperti tadi bisa kita lihat Suku Bajo, hidup di atas air, diberikan hak milik, berikan. Ternyata ributnya itu antarkementerian, “Enggak bisa, Pak, ini diberi. Karena ini adalah haknya Kementerian KKP, enggak bisa diberikan.” KLHK juga begitu, “Enggak bisa, Pak. Ini adalah kawasan hutan lindung karena di situ ada koral, ada terumbu karang. Itu hak kami.”
Ributnya hanya masalah gitu-gitu dari dulu, termasuk urusan sertifikat itu juga gitu-gitu itu. Pemerintah daerah, di kabupaten/kota, di provinsi, di pusat, tidak bekerja secara terintegrasi, jalan sendiri-sendiri, egonya sendiri-sendiri. Kalau diterus-teruskan, enggak akan rampung persoalan negara, persoalan bangsa ini, enggak akan rampung. Persoalannya kelihatan, solusinya kelihatan, tapi tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral. Itulah persoalan kita.
Saya sangat menghargai pertemuan GTRA ini. Ini Gugus Tugas Reforma Agraria yang kita harapkan segera bisa mengintegrasikan, memadukan seluruh kementerian/lembaga dan juga pemerintah daerah. Semuanya bekerja dengan tujuan yang sama menyelesaikan masalah-masalah lahan yang ada di masyarakat, enggak ada yang lain, agar sengketa-sengketa lahan itu bisa kita selesaikan.
Bahaya loh yang kalau sudah namanya sengketa tanah/sengketa lahan itu bahaya banget. Orang bisa bunuh-bunuhan gara-gara itu, orang bisa pedang-pedangan gara-gara sengketa lahan, antarkampung berantem bisa karena sengketa lahan, rakyat dan perusahaan bisa berantem karena sengketa lahan. Hati-hati, ini hati-hati dampak sosial, dampak ekonominya ke mana-mana.
Kalau sudah pegang yang namanya sertifikat, pegang, punya. Ini bisa memberikan trigger kepada ekonomi karena bisa dipakai untuk kolateral, bisa dipakai untuk jaminan, untuk mengakses permodalan ke bank, ke lembaga keuangan. Hati-hati, persoalan yang tidak bisa kita selesaikan merembetnya bisa ke sosial, bisa merembet ke ekonomi.
Persoalan ini juga tidak hanya masalah urusan lahan dan tanah saja, persoalan-persoalan yang lain karena kita tidak pernah bekerja terintegrasi. Jalan tol berpuluh-puluh tahun berhenti, karena pembebasan lahan. Karena apa? Tidak saling komunikasi antara BPN dengan daerah, antara BPN dengan yang ingin mengerjakan tol, Kementerian PUPR, ya enggak sambung. Berhenti ada yang 20 tahun, ada yang 10 tahun.
Saya ke lapangan, ini persoalan apa toh kayak gini kok enggak rampung-rampung. Persoalan kecil, tapi enggak bisa diselesaikan oleh pembuat kebijakan. Siapa? Kita sendiri. Kan lucu banget kita ini. Saya telepon tiga orang saja ini, selesaikan ini, selesaikan ini, persoalan ini selesaikan. Enggak ada dua minggu juga selesai. Kenapa menunggu sampai 15-20 tahun? Sekarang jadi sambung, sambung, sambung jalan itu karena hal-hal seperti ini.
Ini terakhir, saya ingin tegaskan lagi permintaan saya kepada seluruh pejabat pusat maupun daerah, seluruh kementerian dan lembaga, pusat dan daerah, semua lembaga pemerintahan ini harus saling terbuka, harus saling bersinergi, tetapi riil ini pada tataran pelaksanaan. Kalau di forum rapat itu, kita harus terbuka, kita harus terbuka, praktiknya tidak. Itu yang kita sering lemah di situ. Sekali lagi, semua lembaga pemerintah harus saling terbuka dan saling bersinergi.
Kemudian yang kedua, saya ingatkan lagi, saya tidak bisa menoleransi, mentolerir terjadinya kerugian negara, terjadinya kerugian masyarakat yang disebabkan oleh ego sektoral dan ego lembaga, ndak. Itu sudah setop, cukup, setop. Persoalan dimulai dari sini, semuanya harus membuka diri.
Inilah saatnya, di forum ini harus kita hancurkan yang namanya tembok sektoral dengan, kalau di dalam reforma agraria kita mengenal Kebijakan Satu Peta. Ini harus semuanya mengikuti ini, harus mendukung ini, kalau sudah Satu Peta itu enak banget. Zamannya zaman teknologi kayak gini masih pakai manual, kebangetan banget kita ini. Bangun sistem aplikasi, bangun platform, sangat mudah sekali. Kita enggak bisa, panggil anak-anak muda yang pintar, buatin platform ini, gimana caranya agar penyelesaian sertifikat itu bisa selesai dalam hitungan tidak hari, tapi jam. Model-model seperti ini yang memang harus kita mulai. Kalau kita enggak mau ditinggal oleh negara lain.
Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini, dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, GTRA Summit 2022 saya nyatakan resmi dibuka.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.