Pemulihan Sosial Ekonomi Desa Pasca-Pandemi

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 12 Juni 2020
Kategori: Opini
Dibaca: 1.956 Kali


Oleh Usep Setiawan[1]

Menggulirkan terus pelaksanaan reforma agraria di tengah pandemi Covid-19 menjadi kewajiban pemerintah dalam memenuhi janji politiknya.
Belum lama ini, Presiden Jokowi (29 Mei 2020) menekankan: “Saya minta diprioritaskan percepatan Program Strategis Nasional yang berdampak langsung bagi pemerataan dan penguatan ekonomi rakyat, misalnya: Program sertifikasi tanah untuk rakyat, legalisasi lahan transmigrasi, reforma agraria, perhutanan sosial serta peremajaan perkebunan rakyat. Saya ingin pastikan program prioritas ini tetap berjalan tetapi memperhatikan protokol kesehatan secara ketat.” Memastikan reforma agraria terlaksana menjadi mewajiban seluruh kementerian/lembaga, provinsi, kabupaten/kota hingga desa.

Sementara itu, dalam praktiknya selama ini, pelaksanaan reforma agraria mengalami beberapa masalah yang menghambat percepatannya. Di antaranya, kerumitan proses pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan tanah obyek reforma agraria jadi kendala besar dari pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Dari janji 9 Juta Ha, seluas 4,1 Juta Ha berasal dari pelepasan kawasan hutan, baru tercapai 3,36% (2014-2020).

Sekalipun sudah ada Perpres 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan, dan Perpres 86/2018 tentang reforma agraria, namun keduanya tak mempercepat pelepasan kawasan hutan untuk reforma agraria. Meminjam istilah Presiden Jokowi: Ruwet! Pemerintah sedang memperbarui prosedur pelepasan kawasan hutan untuk diredistribusi kepada rakyat miskin di pedesaan. Orientasinya mesti makin ringkas supaya prosesnya lebih cepat, kian solid agar memudahkan, dan makin jelas supaya akuntabel. Ini syarat ideal dari regulasi yang baru.

Menunaikan janji

Janji Presiden Jokowi (2014), seluas 9 juta hektar tanah yang akan diredistribusi dan dilegalisasi melalui reforma agraria. Menurut K-ATR/BPN (2018-2019), capaian redistribusi tanah berupa penerbitan sertipikat tanah bekas HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya sejumlah 1.167.023 Bidang, setara 795.825 Ha (198,96%), dan redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan berupa penerbitan sertipikat 32,933 Ha, ditambah sertipikasi sebelum 2018 seluas 104.969 Ha, jadi total 137.903 Ha (3,36%).

Menurut K-LHK (28 April), target TORA tahun 2020 seluas 130.000 Ha dan perhutanan sosial 500.000 Ha. Informasi PPTKH sampai pertengahan 2019, berdasarkan rekomendasi gubernur ke Menko Perekonomian seluas 208.433,51 Ha. Dari 203.968,87 Ha yang telah dibahas, 179.116,26 Ha diterima, terdiri perubahan batas kawasan hutan 109.770,13 Ha, perhutanan sosial 69.338,28 Ha dan resettlement 8,3 Ha. Rekomendasi gubernur yang ditolak 24.708,24 Ha. Kenyataan ini melukiskan keruwetan proses tadi. Belum lagi, 2020 ini turun karena anggaran K-LHK dipotong Rp. 2,5 Triliun akibat Covid-19.

Adapun janji memberikan 12,7 Juta Ha akses pemanfataan kawasan hutan negara untuk rakyat seluas melalui 5 skema perhutanan sosial. Realisasinya, menurut catatan K-LHK mencapai 4.105.268,03 Ha (termasuk penetapan Hutan Adat 44.629,34 Ha) dalam 6.548 Unit SK Ijin/Hak, diterima sekitar 837.134 KK (sampai 2 Mei 2020). Target ini dipercepat untuk 5 tahun ke depan.

Tanah yang potensial digunakan untuk produksi pangan pasca Covid-19 di Jawa, menurut K-LHK (2020) ada 196.240 Ha dan sudah diidentifikasi 106.212 Ha. Di atas 30.400 Ha tanah perhutanan sosial dapat dikembangkan jagung. Seluas 15.553 Ha untuk padi dan 60.259 Ha untuk jagung melalui agroforestry di lahan yang dikuasai Perhutani. Penting reformulasi tanah Perhutani yang tak berfungsi hutan agar memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa.

Percepatan di tengah pandemi

Agenda reforma agraria dalam RJMN 2020-2024 meliputi: Percepatan redistribusi tanah dan perhutanan sosial bagi rakyat yang tidak memiliki tanah; Melanjutkan pendampingan dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi masyarakat yang menerima TORA dan perhutanan sosial, dan; Melanjutkan percepatan legalisasi/sertifikasi tanah milik rakyat, termasuk transmigrasi dan wakaf. Targetnya 6.801.080 Bidang atau sertipikat legalisasi dan redistribusi selama 5 tahun. Target tahun 2020 sejumlah 1.502.135 Bidang. Di tengah pandemi Covid-19, realisasinya 700.813 Bidang legalisasi, dan 6.961 Bidang redistribusi (per 22 April 2020). Masih jauh dari target. Belum lagi, dampak Covid-19 cukup berat karena K-ATR/BPN dipotong Rp2,1 Triliun.

Walau anggaran berkurang, redistribusi tanah dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian inti reforma agraria diusulkan untuk dipertahankan guna mendukung kebijakan pemulihan ekonomi nasional paska Covid-19 di tingkat desa. Disarankan, PPTKH di 55 Kabupaten dan 15 Provinsi yang belum diproses, bisa diprioritaskan di 10 provinsi termiskin, yakni: Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, Gorontalo, Aceh, Bengkulu, NTB, Sulteng, dan Sumsel (BPS, 2019).

Reforma agraria tetap jadi penting mengingat ia janji politik Presiden Jokowi sejak 2014 yang tetap relavan dan mendesak untuk dilaksanakan guna mengatasi ketimpangan dan konflik agraria. Demikian halnya dengan pembaruan desa yang dijanjikan sejak Nawacita. Membangun Indonesia dari pinggiran dan pedesaan jadi kunci pembeda Jokowi dengan yang lain. Hadirnya Kementerian Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan alokasi dana desa yang terus meningkat sudah ditempuh pemerintahan Jokowi sejak periode pertama. Yang perlu diperjelas, harmonisasi atau revisi Perpres 88/2017 dan Perpres 86/2018, utamanya bagi penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria. Kelembagaan ini harus efektif dalam koordinasi, sinkronisasi dan sinergisasi kegiatan di Pusat, Provinsi dan Kab/Kota. Kepemimpinan Kemenko Bidang Perekonomian sebagai Ketua Tim Reforma Agraria Pusat menjadi kunci percepatannya.

Aspek ekonomi dari reforma agraria sebagai bagian integral dari strategi pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan. Di era Presiden Jokowi, reforma agraria jadi program afirmatif dalam model pembangunan berkeadilan berbasis pemerataan. Dengan demikian, menggulirkan percepatan pelaksanaan reforma agraria sangat penting sebagai bagian dari agenda pemulihan ekonomi nasional di pedesaan dalam mengisi kenormalan baru pasca Covid-19.

Pemulihan ekonomi desa

Agenda khusus dalam skema reforma agraria dan pembaruan desa ala Jokowi yang patut mendapat perhatian ialah pemulihan kondisi sosial ekonomi nasional, khususnya di pedesaan. Arahan Presiden Jokowi yang dikutip di bagian awal tulisan ini, tentu harus segera diterjemahkan oleh Kementerian dan Lembaga termasuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupetan/kota. Dampak pandemi Covid-19 di luar bidang kesehatan sangatlah berat, terutama di bidang ekonomi masyarakat dan negara. Berbagai program bantuan sosial yang langsung tunai yang dijalankan pemerintah bukan saja tidak memadai tapi sangat penting ditransformasi menjadi program dan kegiatan yang lebih bersifat mendidik dan produktif. Bansos itu solusi jangka pendek. Reforma agraria dan pembaruan desa itu solusi jangka menengah dan panjang yang harus dijalankan.

Membanyaknya jumlah tenaga kerja di pedesaan yang tidak lagi terserap oleh lapangan kerja di perkotaan yang menyempit akibat pandemi menjadi perhatian pemerintah. Karenanya, di desa kini perlu dikembangkan berbagai ragam upaya untuk membuka lapamngan kerja baru di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, kerajinan, pariwisata dan sebagainya. Faktor ketersediaan tanah jelas menjadi faktor utama yang patut disediakan oleh negara agar tersedia lapangan kerja baru di pedesaan itu. Inilah konteks baru dari pelaksanaan reforma agraria di era pandemi. Reforma agraria bukan saja relevan untuk mengatasi ketimpangan dan konfik, melainkan juga untuk membuka lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Untuk itu, penggunaan Dana Desa untuk pemulihan kondisi sosial ekonomi di desa menjadi strategis. Optimalisasi dari alokasi Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (Rp. 22,4 Triliun) dan Padat Karya Tunai Desa (Rp. 12,07 Triliun) layak diteruskan dengan kegiatan yang lebih produktif dalam jangka panjang. Secara lebih teknis, fokus agenda pemulihan ekonomi masyarakat di pedesaan hendaknya diarahkan pada pengembangan usaha pertanian pangan dan peternakan. Oleh sebab itu, kegiatan redistribusi tanah dan legalisasi aset diupayakan untuk segera ditindaklanjuti dengan kegiatan pengembangan produksi pangan nabati maupun hewani. Kegiatan terpokok yang patut dikembagkan oleh kementerian/lembaga terkait ialah pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan kelembagaan usaha kecil dan menengah. Sehingga, jika ini berjalan sesuai harapan maka pemulihan ekonomi nasional akan ditopang oleh pulih dan menguatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat di pedesaan.

Untuk itu semua, dibutuhkan kerjasama sinergis lintas kelembagaan, sektor dan aktor. Kolabirasi pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria dan pembaruan desa di semua level dengan gerakan masyarakat sipil, terutama dengan organisasi petani, nelayan, buruh, masyarakat adat –baik laki-laki atau perempuan– menjadi kunci suksesnya. Semua tujuan mulia ini tentu saja hanya mungkin tercapai jika ego-sektoralisme yang memenjarakan kreativitas dan inovasi sudah dibuang jauh-jauh. Kita optimis bahwa kita bukan hanya mampu bertahan dari serangan pandemi Covid-19, tapi kita juga bisa jadi pemenang dari musuh yang tak kasat mata ini.

[1] Usep Setiawan adalah Tenaga Ahli Utama untuk urusan agraria, desa dan kebencanaan di Kedeputian II Bidang Pembangunan Manusia – Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.

Opini Terbaru