Pengantar Presiden dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional, 5 Januari 2017, di Kantor Presiden, Jakarta
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sidang Paripurna IV Dewan Energi Nasional pada siang hari ini akan dibahas mengenai strategi pencapaian energi baru dan terbarukan serta program listrik 35.000 MW.
Sebelumnya saya ingin mengingatkan kembali bahwa ketersediaan energi nasional kita adalah kunci dalam mengentaskan kemiskinan dan kunci dalam mengurangi ketimpangan. Pada tahun 2017 ini kita ingin lebih fokus lagi bekerja dalam mempercepat pemerataan pembangunan termasuk di dalamnya adalah di sektor energi. Sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia betul-betul bisa segera terwujud.
Kita tidak boleh membiarkan rakyat kita di Papua, di daerah perbatasan, di pulau-pulau terpencil, pulau terdepan mengalami ketidakadilan karena harus membeli BBM dengan harga yang berlipat-lipat dibandingkan Jawa dan Sumatera. Kita juga tidak boleh membiarkan rakyat kita di pelosok-pelosok nusantara tidak memperoleh penerangan listrik di malam hari.
Yang pertama, saya ingin berbicara masalah BBM kita ke depan akan kita bawa kemana. Karena sebetulnya sumber-sumber energi di negara kita saya kira banyak yang harus kita persiapkan mulai dari sekarang. BBM yang ada sekarang saya kira kita tahu semuanya, 50 persen dari produksi di dalam dan 50 persen kurang lebih masih kita tergantung pada impor.
Saya kira kedepan sangat berbahaya sekali apabila kondisi ini masih kita pakai terus menerus tanpa kita melakukan riset, tanpa kita melakukan terobosan-terobosan dalam membangun ketahanan energi kita. Utamanya karena kita sekarang memiliki produksi CPO yang kecil. Yang kedua, kita memiliki biomassa yang juga tidak kecil. Yang ketiga, kita memiliki batubara yang tentu saja turunannya ini kalau sebuah riset yang baik, baik untuk CPO, baik untuk biomassa, baik untuk batubara dan mungkin bahan-bahan yang kita miliki sendiri, ini betul-betul dilakukan riset besar-besaran yang akan memberikan terobosan sehingga kita tidak ketergantungan terus kepada yang namanya BBM.
Saya kita seperti ide penemuan shale gas di Amerika, kira-kira terobosan seperti itu yang kita inginkan. Misalnya CPO dengan produksi, apa dengan hutan kelapa sawit kita yang mencapai 13 – 14 juta hektar, saya kira ini memberikan sebuah peluang kepada kita bahwa kita tidak ada ketergantungan dengan negara yang lain. Jangka panjang, kalkulasi dan perhitungan-perhitungan seperti itu harus betul-betul kita hitung, kita kalkulasi. Sehingga kita mempunyai sebuah plan jangka menengah, plan jangka panjang sehingga ketakutan kita akan kekurangan BBM, kekurangan energi itu betul-betul sudah terdesain sejak awal. Ini yang sampai sekarang menurut saya betul-betul belum kita seriusi secara baik.
Yang kedua, yang berkaitan dengan program listrik 35.000 MW. Kita harus lihat ini bukan lagi semata-mata target tetapi memang ini kebutuhan. Tetapi hitungan-hitungan sebelumnya memang ini ada kalkulasi, ada perhitungan yang dalam praktik di lapangan pertumbuhan ekonomi dengan perencanaan mengenai pertumbuhan ekonomi yang kita hitung itu memang berbeda, sehingga saya kira juga perlu dikalkulasi lagi. Tetapi kalau kelebihan saya kira menurut saya juga tidak ada masalah, tetapi asal tidak kelebihan yang terlalu banyak. Karena apapun ini nanti akan membuat pemborosan di PLN karena apapun itu harus kita bayar sehingga cost of money-nya menjadi lebih tinggi.
Dan saat ini memang konsumsi listrik per kapita Indonesia masih rendah dibandingkan negara di ASEAN lainnya yaitu hanya 917 Kwh di tahun 2015, sementara di Vietnam sudah 1.795 Kwh, di Singapura bahkan sudah 9.146 Kwh. Saya kira kalau kita ingin tumbuh lebih cepat lagi, membangun lebih merata lagi di seluruh pelosok tanah air maka kebutuhan konsumsi listrik akan semakin meningkat.
Dan saya minta dalam Sidang Dewan Energi Nasional IV ini dapat memberikan solusi dari dua hal yang tadi saya sampaikan.
Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, Sidang Paripurna IV Dewan Energi Nasional saya nyatakan dibuka.