Pengantar Presiden Joko Widodo pada Silaturahmi dengan Para Budayawan, 6 April 2018, di Istana Merdeka, Jakarta
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pertama saya ingin menyampaikan terima kasih atas kehadiran Bapak-Ibu semuanya dari seluruh tanah air.
Yang kedua, perlu juga sedikit mungkin sebagai pembuka bahwa memang dalam tiga setengah ini saya dan Kabinet selalu berbicara masalah hal yang fisik, yaitu infrastruktur. Dan kenapa kita memulai dengan investasi di bidang infrastruktur ya karena kita ini sebagai negara besar sudah terlalu jauh ditinggal oleh kanan-kiri kita. Sehingga ini yang perlu dikejar terlebih dahulu, utamanya untuk saudara-saudara kita yang berada di wilayah Indonesia bagian timur. Meskipun di Indonesia bagian barat juga, di Indonesia bagian tengah juga kita kerjakan. Tetapi memang Indonesia bagian timur adalah sebuah wilayah yang betul-betul sangat jauh sekali kondisinya kalau dibandingkan dengan apa yang kita nikmati sekarang ini, terutama di Jawa.
Bapak-Ibu sekalian,
Mungkin ini sebagai bayangan, waktu saya tiga tahun yang lalu ke Wamena. Harga bensin di sini berapa? Kita Rp6.450, di sana harganya Rp60.000. Pada saat-saat cuaca enggak baik harganya bisa Rp100.000 per liter. Karena ketidaksiapan infrastruktur untuk mendukung harga itu sama dengan yang ada di Jawa.
Kemudian saya datang lagi ke kabupaten yang namanya Nduga. Itu kabupaten di tanah air ini yang aspal satu meter pun enggak ada. Itu ibukotanya saja enggak ada aspal, dapat dibayangkan distrik-distriknya seperti apa. Dari Wamena yang sudah jauh, untuk ke Nduga itu butuh waktu, sebelumnya butuh waktu empat hari empat malam berjalan kaki, naik turun gunung, masuk ke hutan baru sampai, dari Wamena baru masuk ke Nduga. Ya itulah yang saya lihat di sana. Di Wamena saya lihat, kemudian di Nduga kita lihat. Di Wamena saja harga bensin Rp60.000, apalagi di Nduga, enggak ada yang jualan bensin karena semuanya jalan kaki.
Inilah fakta-fakta yang saya lihat dan kita hadapi. Termasuk tadi yang disampaikan mengenai Airport Rembele. Ini di Aceh Tengah, yang sekarang menjadi Bener Meriah, itu di Aceh bagian sini.
Sama bahwa yang namanya infrastruktur itu tidak hanya masalah ekonomi, bukan. Di dalam pemahaman saya tidak seperti itu. Infrastruktur ini akan mempersatukan kita. Kalau ketimpangannya seperti yang tadi saya sampaikan ya kita tidak bisa akan bersatu. Mempersatukan dalam artian bahwa, saya pernah lakukan/alami terbang dari Aceh, di Banda Aceh, bukan dari Rembele, tapi dari Banda Aceh, langsung terbang ke Wamena memakan waktu sembilan jam lima belas menit. Artinya apa? Ya supaya menyadarkan kita semuanya bahwa bangsa ini bangsa yang besar. Kalau kita terbang dari London, sembilan jam itu sampai ke Istanbul di Turki itu sudah melewati berapa negara, mungkin enam, tujuh, delapan negara. Ya inilah negara kita. Tetapi kalau itu tidak kita siapkan, entah airport-nya, entah pelabuhannya, entah jalannya, kejadiannya ya ketimpangan antarwilayah itu akan semakin membesar.
Pada tahapan besar yang kedua, setelah investasi di bidang infrastruktur, kita akan masuk ke tahapan investasi di bidang sumber daya manusia, yang di dalamnya seperti tadi yang disampaikan oleh Mas Radhar, bahwa kebudayaan itu menjadi sebuah pondasi. Artinya, nilai-nilai yang kita miliki ini akan menentukan bangsa ini bisa berkompetisi, bisa bersaing dengan negara lain atau tidak. Baik yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter yang kita miliki, nilai-nilai budi pekerti yang kita miliki. Kemudian juga yang berkaitan dengan etos kerja, yang berkaitan dengan produktivitas, yang berkaitan dengan integritas. Saya kira larinya nanti akan ke sana.
Dan perlu saya sampaikan, seperti yang tadi disampaikan Pak Putu, bahwa memang revolusi mental itu bukan jargon yang saya kira kayak masa-masa lalu yang perlu diteriak-teriakkan terus atau perlu diiklan-iklankan terus, saya kira bukan itu. Saya kira contoh lebih baik daripada kita berteriak. Memberikan contoh adalah lebih baik daripada kita berteriak. Bagaimana bekerja yang baik, bagaimana integritas yang baik, bagaimana nilai etos kerja yang baik saya kira itu yang nanti ke depan akan kita gerakkan.
Saya kira itu sebagai pengantar pada sore hari ini.