Peningkatan Polusi Udara di Indonesia: Perspektif Ekonomi Berdasarkan Teori Freakonomics

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 14 September 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 15.066 Kali

Oleh: Ronald Sofyan G.S. Sipayung *)

Abstrak
Polusi udara merupakan masalah serius di Indonesia, dengan dampak fundamental terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Artikel ini menjelaskan masalah polusi udara di Indonesia, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, serta memberikan rekomendasi untuk mengatasinya, dengan mempertimbangkan sudut pandang dari buku “Freakonomics” dan “SuperFreakonomics” oleh Steven Levitt dan Stephen Dubner. Masalah polusi udara di Indonesia saat ini dapat ditarik ke dalam konteks pertumbuhan ekonomi, terutama dalam penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Artikel ini mengusulkan rekomendasi yang mencakup mempertahankan penggunaan batu bara dalam jangka pendek, mendorong investasi dalam energi terbarukan, mengedukasi masyarakat tentang pengorbanan yang diperlukan untuk beralih ke energi bersih, dan fokus pada sektor-sektor penyumbang emisi terbesar. Selain itu, rekomendasi juga mencakup subsidi ke transportasi massal untuk mengurangi polusi udara di Jabodetabek.

Pendahuluan
Polusi udara merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak di dunia saat ini. Di Indonesia, polusi udara juga telah menjadi tema yang tidak lepas dari perbincangan publik akhir-akhir ini karena telah menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Pada September 2021, laporan Air Quality Life Index (AQLI) yang diterbitkan oleh Energy Policy Institute, University of Chicago (EPIC) menjelaskan bahwa rata-rata orang Indonesia diperkirakan dapat kehilangan 2,5 tahun dari usia harapan hidupnya akibat kualitas udara yang tidak memenuhi ambang aman sesuai pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk konsentrasi partikel halus (PM2.5). Dengan demikian, penanganan polusi udara menjadi prioritas yang harus diatasi oleh pemerintah dan masyarakat.

Hal ini mengingat bahwa polusi udara bukan hanya sebatas masalah lingkungan, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan dan dengan demikian menciptakan dilema di antara pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dan pelestarian lingkungan yang semakin mendesak. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas rekomendasi untuk mengatasi polusi udara di Indonesia, dengan mempertimbangkan sudut pandang dari buku “Freakonomics” dan “SuperFreakonomics” oleh Steven Levitt dan Stephen Dubner.

Polusi Udara di Indonesia: Sebuah Gambaran Umum
Polusi udara di Indonesia, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, merupakan masalah serius yang memengaruhi kualitas hidup penduduk. Menurut Air Quality Life Index (AQLI), penduduk Indonesia diperkirakan akan kehilangan 2,5 tahun dari usia harapan hidup mereka akibat polusi udara saat ini. Dampak kesehatan yang paling signifikan akibat polusi partikulat terjadi di Depok, Bandung, dan Jakarta, di mana tingkat konsentrasi polusi partikulat mencapai tingkat tertinggi.

Selain itu, berdasarkan laporan terbaru Kualitas Udara Dunia IQAir 2021 yang dirilis pada Maret 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-17 sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia, dengan konsentrasi PM2,5 mencapai 34,3 μg per meter kubik. Laporan ini juga mencatat bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas sebagai negara yang memiliki tingkat polusi tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Namun, melihat masalah ini dari sudut pandang ekonomi, ada dilema yang dihadapi Indonesia. Di satu sisi, penggunaan batu bara yang murah telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan keterjangkauan listrik. Rata-rata tarif listrik rumah tangga di Indonesia hanya 0,10 Dolar AS per kWh, jauh lebih murah dibandingkan Eropa yang mencapai 0,50 dolar AS per kWh. Namun di sisi lain, hal ini berkontribusi sangat besar pada polusi udara akibat emisi pembangkit listrik batu bara. Energi adalah bagian penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan mengakibatkan polusi yang lebih tinggi. Akibatnya, mengurangi polusi akan memiliki biaya ekonomi yang tinggi, dan pada akhirnya biaya tersebut akan dibebankan kepada semua orang. Kita juga perlu memperhitungkan eksternalitas seperti biaya perawatan kesehatan akibat polusi, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa memiliki sumber energi yang murah sangat penting karena masih banyak penduduk Indonesia memiliki daya beli yang relatif rendah. Oleh karena itu, penggunaan batu bara sebagai sumber energi murah (tetapi kotor) di Indonesia telah memungkinkan kita selama ini untuk tumbuh dan mengandalkan sumber daya dan kedaulatan sendiri.

Dengan demikian, meskipun batu bara menjadi penyumbang utama polusi udara, penting untuk menyadari bahwa Indonesia masih mengandalkan energi dari batu bara karena keterjangkauannya sehingga penggunaan batu bara dianggap lebih ekonomis daripada energi alternatif.

Namun, di sisi lain, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara juga menjadi penyumbang utama emisi karbondioksida (CO2) di Indonesia. Data International Energy Agency (IEA) menunjukkan 51 persen emisi CO2 di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Porsi batu bara dalam bauran energi Indonesia sebesar 30 persen pada 2021. Sementara secara sektoral, kontributor terbesar emisi CO2 adalah sektor kelistrikan (44 persen), diikuti sektor industri (24 persen), transportasi (24 persen), dan rumah tangga (5 persen). Oleh karena itu, pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk mengurangi polusi udara akibat emisi, sementara hal ini bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Energi Terbarukan Sebagai Alternatif?
Energi terbarukan adalah alternatif yang memungkinkan. Namun, energi terbarukan relatif masih mahal, ketersediaannya tidak pasti (tergantung pada cuaca, memerlukan penyimpanan energi, rentan terhadap pemadaman tanpa keandalan jaringan listrik), dan tidak efisien (panel surya dan turbin angin perlu didaur ulang, produksi baterai mengonsumsi energi/polutan). Siapa yang mampu atau bersedia membayar? Penggunaan energi terbarukan secara bertahap memang meningkat. Menurut PLN (Perusahaan Listrik Negara), pasokan energi dari sumber terbarukan meningkat dari 11 persen pada tahun 2019 menjadi 14 persen pada tahun 2023 untuk PLN dan IPP (Independent Power Producers). Sebagian besar peningkatan berasal dari energi hidro (7 persen dari total) dan panas bumi (6 persen dari total).

Namun, investasi dalam energi terbarukan masih relatif mahal di Indonesia. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk persyaratan konten lokal yang tinggi, ketergantungan pada impor peralatan, dan biaya pembiayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekonomi maju. Oleh karena itu, biaya listrik terlevel (Levelized Cost of Electricity/LCOE) untuk energi terbarukan pada umumnya lebih mahal daripada energi konvensional, sekitar 25 persen lebih tinggi secara rata-rata. Sebagai catatan, LCOE adalah cara untuk mengukur biaya rata-rata yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan satu unit listrik (biasanya kilowatt-hour atau kWh) dari suatu sumber energi tertentu selama jangka waktu tertentu. Ini adalah ukuran yang membantu untuk memahami seberapa mahal atau murahnya sumber energi tertentu dalam jangka panjang, setelah mempertimbangkan semua biaya yang terlibat, seperti investasi awal, operasi, perawatan, dan bahan bakar.

Dengan kata lain, LCOE membantu membandingkan efisiensi biaya berbagai jenis pembangkit listrik, seperti tenaga surya, tenaga angin, batu bara, atau gas alam, dan memahami mana yang lebih ekonomis dalam jangka panjang. Semakin rendah LCOE suatu sumber energi, semakin ekonomis dan kompetitif sumber energi tersebut dalam menghasilkan listrik. Maka, jika harga listrik naik 25 persen (berdasarkan rata-rata LCOE sebelumnya) karena menggunakan energi terbarukan yang mahal, apakah kita mampu membayarnya? Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, hal ini sepertinya tidak memungkinkan.

Sebuah survei terkait menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64 persen) tidak setuju jika biaya listrik mereka naik 15 persen, meskipun menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Ini adalah kontradiksi yang menunjukkan bahwa sebagian besar orang tidak akan membayar meskipun mengatakan bahwa mereka peduli tentang isu perubahan iklim. Jika pemerintah membayar, pemerintah akan menaikkan pajak, menerbitkan utang, atau memotong anggaran dari sektor lain. Jika perusahaan membayar, mereka kemungkinan akan meneruskan biaya tersebut kepada pelanggan. Semua ini akan mengurangi daya beli, langsung ataupun tidak langsung.

Sudut Pandang Freakonomics
Dalam buku “Freakonomics” dan sekuelnya “SuperFreakonomics” yang ditulis oleh Steven Levitt dan Stephen Dubner, terdapat pandangan unik tentang bagaimana ekonomi dan perilaku manusia berperan dalam masalah seperti polusi udara. Mereka mengajukan gagasan bahwa untuk mengatasi masalah lingkungan, kita perlu memahami insentif ekonomi dan mengambil pendekatan yang berbasis ekonomi.

Dalam konteks polusi udara di Indonesia, pandangan Freakonomics dapat memberikan wawasan yang berharga. Pertama, menggarisbawahi pentingnya pemahaman terhadap insentif ekonomi di balik kebijakan energi. Di Indonesia, penggunaan batu bara yang murah telah menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi. Namun, sisi lain dari koin ini adalah dampak lingkungan yang merusak. Bagaimana kita dapat mengatasi dilema ini?

Berdasarkan sudut pandang Freakonomics dan pertimbangan lingkungan untuk mengatasi polusi udara di Indonesia ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
1. Tetap Pertahankan Penggunaan Batu Bara dalam Jangka Pendek
Meskipun batu bara menjadi penyumbang utama polusi udara, penting untuk mempertahankan penggunaan batu bara dalam jangka pendek. Alasan utama adalah untuk menjaga keterjangkauan listrik bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Batu bara merupakan sumber energi yang murah dan masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi di negara ini. Meskipun demikian, langkah ini harus diikuti dengan upaya serius untuk mengurangi emisi CO2 dari pembangkit listrik batu bara, seperti menerapkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage). Untuk itu, perlu dipertimbangkan untuk memberikan dukungan dan insentif kepada PLN agar dapat memanfaatkan teknologi ini dalam pembangkit listrik batu bara yang sudah ada maupun yang akan dibangun.

2. Mendorong Investasi dalam Energi Terbarukan
Investasi dalam energi terbarukan merupakan salah satu langkah jangka panjang untuk mengatasi masalah polusi udara. Peningkatan penggunaan energi terbarukan akan membantu mengurangi ketergantungan pada batu bara dan emisi CO2. Saat ini porsi energi terbarukan baru 14 persen dari total pasokan listrik PLN dan pemerintah menargetkan akan mencapai 23 persen pada 2025. Namun, investasi energi terbarukan masih relatif mahal di Indonesia karena berbagai hambatan seperti persyaratan local content tinggi, ketergantungan pada impor peralatan, dan tingginya biaya pembiayaan proyek dibandingkan dengan negara maju.

Oleh karena itu, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk memberikan insentif yang lebih baik untuk investasi energi terbarukan, seperti kemungkinan mengkaji relaksasi local content, meskipun local content merupakan kebijakan prioritas pemerintah dalam upaya menggerakkan industri lokal. Hal ini akan dapat membantu mempercepat pengembangan energi terbarukan tanpa mengorbankan kualitas dan keberlanjutan. Selain itu, insentif lain yang diperlukan mencakup perbaikan infrastruktur, skema pembiayaan murah, dan long term power purchase agreements.

3. Sosialisasikan Pengorbanan yang Diperlukan
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa beralih ke energi terbarukan memerlukan pengorbanan berupa tarif listrik yang lebih tinggi. Kebijakan ini akan memberikan manfaat jangka panjang dalam bentuk udara lebih bersih dan kesehatan yang lebih baik. Kampanye edukasi yang gencar dan efektif dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan publik terhadap transisi energi ini. Selain itu, transisi menuju energi bersih perlu dilakukan secara bertahap agar tidak memberatkan daya beli masyarakat Indonesia yang berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini juga dalam konteks yang lebih besar juga sejalan dengan konsep Just and Affordable Energy Transition yang menjadi salah satu legacy Presidensi G20 Indonesia di 2022 yang menekankan pada transisi energi yang adil dan terjangkau dari energi fosil ke energi bersih.

4. Fokus pada Penyumbang Utama Emisi
Untuk mengatasi masalah polusi udara dengan efektif, kebijakan yang ditempuh perlu lebih terfokus pada sektor-sektor penyumbang emisi terbesar, yaitu pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga. Pembangkit listrik tenaga batu bara yang kemudian digunakan untuk keperluan industri dan rumah tangga adalah penyebab utama emisi CO2 di Indonesia. Oleh karena itu, perlu diterapkan regulasi yang ketat dan mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan di sektor-sektor ini. Pajak karbon juga dapat diterapkan untuk mengurangi emisi dari sektor industri.

5. Subsidi ke Transportasi Massal
Subsidi yang saat ini diberikan untuk kendaraan listrik sebaiknya diberikan juga ke pengembangan transportasi massal yang lebih menyeluruh, seperti kereta cepat atau bus transjabodetabek. Data menunjukkan sektor transportasi berkontribusi 24 persen terhadap total emisi CO2 di Indonesia dan penggunaan kendaraan bermotor berbasis bahan bakar fosil merupakan penyebab polusi udara di perkotaan. Transportasi massal yang terintegrasi akan efektif mengurangi emisi dan polusi udara di wilayah perkotaan yang padat. Untuk itu, upaya memperluas cakupan dan fasilitas transportasi massal di kota-kota besar kiranya semakin didorong guna mendukung upaya pengendalian polusi udara di wilayah perkotaan.

Kesimpulan
Terdapat kompleksitas hubungan antara ekonomi, polusi, dan energi di Indonesia. Energi terbarukan memang menjadi solusi untuk mengurangi polusi udara, tetapi biaya dan kendala lainnya tetap perlu dipertimbangkan secara matang.

Pemerintah selama ini telah memprioritaskan pengembangan transportasi massal. Namun demikian, kebijakan ke depan perlu mempertimbangkan prioritas tersebut secara lebih komprehensif, misalnya melalui pembangunan sistem transportasi massal yang semakin terintegrasi. Hal ini akan memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi polusi udara di wilayah perkotaan.

Indonesia perlu menemukan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dan pelestarian lingkungan yang semakin mendesak. Dalam jangka pendek, penting untuk mempertahankan penggunaan batu bara untuk menjaga keterjangkauan listrik bagi sebagian besar penduduk. Namun, pada saat bersamaan, investasi dalam energi terbarukan perlu terus ditingkatkan secara bertahap dan bijaksana agar tidak memberatkan masyarakat dan industri.

Selain itu, kiranya perlu dipertimbangkan agar kebijakan mengatasi masalah polusi udara dapat semakin difokuskan pada sektor-sektor dengan kontribusi emisi terbesar, seperti pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dampak pengurangan emisi yang lebih signifikan.

Dengan perencanaan matang dan komprehensif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, Indonesia dapat meraih pertumbuhan ekonomi sekaligus berkontribusi pada lingkungan yang lebih baik. Polusi udara adalah masalah yang dapat diatasi jika kita memahami insentif ekonomi yang mendasarinya dan mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan sudut pandang Freakonomics.

—–

*) Pegawai pada Sekretariat Kabinet

Opini Terbaru