Penyerahan Sertifikat Hak Atas Tanah untuk Rakyat, 3 Januari 2019, di Pendopo Kabupaten Blitar, Jawa Timur
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat sore,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Yang saya hormati Pak Menteri BPN, Pak Menteri PUPR, Pak Sekretaris Kabinet,
Yang saya hormati para Pimpinan dan Anggota DPR yang sore hari ini hadir,
Yang saya hormati Pak Gubernur, Pak Wali Kota, Pak Bupati Blitar,
Bapak-Ibu sekalian seluruh penerima sertifikat utamanya sore hari ini ada 2.500 yang telah kita serahkan secara langsung kepada Bapak-Ibu semuanya dari Kabupaten Blitar dan dari Kota Blitar.
Coba silakan diangkat tinggi-tinggi sertifikatnya. Sebentar jangan diturunkan dulu, kok sudah diturunkan, mau dihitung dulu. Ya dari sini saja, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,… 2.500, betul. Kalau enggak dihitung nanti tahu-tahu yang diberi hanya yang di depan tadi, ya ndak? Itu seremonial namanya, tapi kalau diangkat semuanya, sudah dihitung 2.500 artinya sudah kita serahkan benar-benar 2.500 sertifikat kepada Bapak-Ibu semuanya.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Kanwil BPN, kepada kantor BPN yang telah bekerja keras. Kita tahu dulu-dulu setahun seluruh Indonesia itu hanya mengeluarkan sertifikat itu 500.000 kurang lebih sampai 600.000. Padahal di seluruh tanah air itu ada 126 juta yang harus bersertifikat, dan sampai 2015 baru 46 juta yang bersertifikat. Artinya kurang 80 juta yang belum bersertifikat, bayangkan 80 juta yang belum bersertifikat. Kalau setahun 500.000 artinya Bapak-Ibu harus menunggu 160 tahun untuk dapat sertifikat, benar. Wong setahun hanya 500.000. Masih 80 juta sertifikat yang belum, menunggunya 160 tahun. Siapa yang mau silakan tunjuk jari, menunggu 160 tahun, saya beri sepeda. Menunggu 160 tahun silakan maju. Ada? Ayo maju. 160 tahun tapi menunggunya.
Kenapa sertifikat ini diberikan? Kenapa sertifikat ini diberikan? Karena setiap saya ke desa, ke kampung, ke daerah, baik itu di Jawa, di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua, Maluku, NTB, NTT, semuanya sama. Yang saya dengar kalau saya ke bawah itu sengketa lahan, sengketa tanah. Karena 80 juta belum bersertifikat. Kalau sudah pegang yang namanya sertifikat seperti ini, ini hak, bukti hukum atau tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Kalau kita pegang ini sudah.
Kita lihat coba sengketa antarkeluarga karena tanah banyak, dengan tetangga, banyak, masyarakat dengan pemerintah ada, masyarakat dengan perusahaan ada, masyarakat dengan BUMN ada. Banyak sekali karena belum pegang yang namanya tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Sekarang kalau sudah pegang ini mau apa? Saya pegang sertifikat, bapak datang mengaku-ngaku, ini tanah saya, tanah saya. Bukan, tanah saya, ini buktinya. Di sini ada, buka, namanya ada di sini, desanya di mana, desa/kelurahan ada di sini, luasnya ada di sini, sudah komplet. Yang mau datang yang ngomong ini tanah saya pasti pulang, balik, karena jelas, ini sertifikat adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Jadi tadi kalau Pak Gub menanyakan sudah pegang sertifikat senang atau senang? Senang atau senang? Coba kalau belum punya ini, kemungkinan sengketa itu ada saja, ada saja.
Yang kedua, saya titip kalau sudah pegang sertifikat tolong difotokopi, nanti sampai rumah difotokopi kemudian masukkan plastik seperti ini. Yang asli taruh di lemari satu, yang fotokopi taruh di lemari yang lain. Kalau yang asli hilang, masih punya yang fotokopi. Kenapa diplastik? Kalau gentingnya bocor ini tidak basah. Kalau tidak diberitahu seperti itu ini diberi plastik seperti ini tahu-tahu air datang, sertifikat rusak.
Yang ketiga, biasanya ini kalau sudah pegang sertifikat, sudah tahu sendiri kan, sudah pada tertawa pasti tahu, pasti inginnya disekolahkan. Ada? Enggak ada? Ngaku saja. Bilang tidak, tidak, saya tahu saja. Enggak apa-apa, ini memang adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki, mau dipakai untuk agunan silakan, mau dipakai untuk jaminan ke bank silakan. Enggak apa-apa, untuk jaminan boleh, untuk agunan silakan. Tapi kalau mau pinjam ke bank hati-hati. Saya titip, ini saya ulang-ulang di mana-mana, hati-hati, dihitung dulu, dikalkulasi dulu, bisa mengangsur enggak, bisa menyicilnya enggak setiap bulan. Hanya mau enaknya saja, pinjamnya bisa, mengangsurnya tidak bisa, hilang ini sertifikat. Kalau tanahnya gede, pinjam ke bank dapat Rp300 juta, jangan sampai, saya titip jangan sampai, Rp150 jutanya untuk beli mobil. Banyak yang seperti ini, dapat Rp300 juta, Rp150 jutanya untuk beli mobil. Biar apa? Biar gagah mutar-mutar kampung menyetir mobil, iya enggak? Iya? Wah bahaya ini iya. Jangan sampai Rp300 juta dapat pinjaman di bank Rp150 juta untuk beli mobil biar bisa mutar-mutar kampung, dilihat tetangganya waduh mobilnya baru. Saya jamin enam bulan, menyetirnya itu hanya enam bulan. Itu uang pinjaman dari bank hati-hati, mobilnya enam bulan ditarik ke dealer, sertifikatnya juga ditarik bank, hilang semuanya. Hati-hati, hati-hati.
Kalau Bapak-Ibu dapat pinjaman, misalnya Rp300 juta gunakan seluruhnya untuk modal usaha, gunakan seluruhnya untuk modal kerja, gunakan seluruhnya untuk modal investasi. Jangan dipakai untuk hal-hal yang, bukan yang foya-foya, yang pamer-pamer seperti barang-barang kenikmatan yang seperti itu lho. Rem dulu, jangan. Kalau dapat pinjaman bank Rp300 juta gunakan seluruhnya modal usaha, modal kerja, modal investasi, gunakan. Kalau untung, sebulan untung Rp5 juta, tabung, sebulan untung Rp3 juta, tabung, sebulan untung Rp8 juta, tabung. Kalau sudah cukup silakan dari keuntungan bukan dari uang pinjaman, keuntungannya itu ditabung silakan, mau beli mobil silakan. Tapi lebih baik, kalau saya, ada keuntungan-keuntungan investasikan lagi untuk usaha lagi. Lho itu usahanya akan berkembang lebih besar, lebih besar, lebih besar. Jangan tergesa-gesa yang namanya beli mobil, beli motor. Ngerem dulu. Setuju enggak? Yang tidak setuju maju saya beri sepeda. Enggak ada yang berani?
Saya tadi lihat di sini ada yang dapat tiga sertifikat ya, ada? Coba maju yang dapat tiga sertifikat. Yang dapat tiga sertifikat, sertifikatnya dibawa. Silakan satu orang saja. Sertifikat kok ya banyak banget.
Ada yang ingin sertifikat tapi sudah 40 tahun enggak dapat-dapat ada tidak? Ada? Coba tunjuk jari. Ingin punya sertifikat tapi sudah 40 tahun enggak dapat-dapat, ada?
Yang 30 tahun ingin pegang sertifikat tapi belum dapat-dapat, baru sekarang, mana? Maju satu. Iya maju sini. Sini, Bu.
Jangan minta sepeda yang disuruh maju. Kalau sudah disuruh maju itu inginnya sepeda saja.
(Dialog Presiden RI dengan Perwakilan Penerima Sertifikat Hak Atas Tanah)
Bapak-Ibu sekalian,
Yang terakhir saya titip, negara kita ini adalah negara besar, penduduk Indonesia sekarang sudah 260 juta. Yang kita tahu 260 juta orang ini hidup di 17.000 pulau yang kita miliki, di 514 kota dan kabupaten yang kita miliki, di 34 provinsi yang kita miliki. Jadi tersebar di mana-mana. Dan kita diberi anugerah oleh Allah berbeda-beda, majemuk, bermacam-macam, warna-warni, beda suku, beda agama, beda adat, beda tradisi, beda bahasa daerah, beda-beda semuanya. Inilah negara kita Indonesia yang hal-hal seperti itu harus kita sadari. Bahwa kita diberi anugerah oleh Allah, oleh Tuhan itu berbeda-beda, ini harus kita sadari dulu. Oleh sebab itu, jangan sampai karena perbedaan-perbedaan ini kita di dalam bermasyarakat terjadi gesekan. Ini sudah menjadi hukum Allah, sudah sunatullah yang diberikan kepada bangsa kita Indonesia.
Oleh sebab itu saya titip, marilah kita bersama-sama menjaga persatuan, memelihara persaudaraan kita, merawat dan memelihara aset terbesar bangsa ini, yaitu persatuan, persaudaraan, dan kerukunan. Jangan sampai karena hal-hal yang berkaitan dengan politik kita menjadi tidak rukun, kita menjadi kayak merasa tidak saudara sebangsa dan setanah air. Sedih kita kalau mendengar seperti itu. Dan itu biasanya, biasanya dimulai dari yang namanya pilihan bupati, perbedaan pilihan, antartetangga enggak rukun. Di pilihan gubernur, karena perbedaan pilihan antartetangga juga enggak, antarmasyarakat, antarkampung menjadi enggak rukun. Tapi itu enggak di Jawa Timur, enggak, enggak, tidak di Blitar. Kalau di sini saya lihat rukun-rukun semuanya, alhamdulillah.
Saya titip, jangan sampai karena pilihan bupati, karena pilihan wali kota, karena pilihan gubernur, karena pilihan presiden kita menjadi tidak rukun, kita menjadi tidak bersatu. Sekali lagi, negara ini adalah negara besar yang penuh dengan perbedaan-perbedaan yang itu sudah menjadi hukum Allah, sudah menjadi sunatullah. Saya titip agar ini dijaga terus, kita pelihara, kita jaga, kita rawat, persatuan kita, kerukunan kita, persaudaraan kita sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Setuju tidak Ibu-ibu, Bapak-bapak?
Kita tahu suku saja di Indonesia ada 714, bahasa daerahnya 1.100 lebih bahasa daerah, beda-beda semuanya. Agama juga beda-beda semuanya. Beda dengan di negara lain, beda. Contoh di Afghanistan. Di Afghanistan itu hanya ada tujuh suku, negara kita 714. Konflik di Afghanistan dimulai dari dua suku yang gesekan kemudian konflik, dua suku. Dari tujuh suku, dua suku berkonflik. Yang satu membawa kawan dari luar, yang satu membawa kawan dari luar, akhirnya perang, 40 tahun sampai sekarang tidak selesai-selesai. Itu hanya tujuh suku.
Saya ke sana setahun yang lalu, ke Afghanistan. Dua hari sebelum saya turun, datang ke sana ada bom, 103 meninggal. Lima jam sebelum saya turun pesawat ada bom lagi, banyak yang meninggal, banyak yang luka, lima yang meninggal saat itu dan belasan luka-luka. Hampir tiap hari seperti itu karena konflik, karena perang. Istrinya Presiden Ashraf Ghani, namanya Ibu Rula Ghani, cerita kepada saya sambil mbrabak, meneteskan air mata. Cerita, Presiden Jokowi, 40 tahun yang lalu di Afghanistan kita itu bisa mengendarai mobil, wanita bisa menyetir mobil dari kota satu ke kota yang lain, atau mutar di kotanya sendiri. Tetapi setelah perang, 40 tahun pegang mobil enggak berani, sepedaan di kota enggak berani, karena bom, karena peluru di mana-mana. Itu hanya tujuh suku, saya ingatkan, itu hanya tujuh suku, negara kita 714 suku.
Oleh sebab itu, perlu saya ingatkan, marilah kita pelihara bersama-sama kerukunan, persaudaraan, dan persatuan kita. Berbeda pilihan politik itu biasa, biasa, enggak apa-apa. Jadi dilihat kalau ada pilihan bupati, kalau ada pilihan wali kota dilihat saja, atau pilihan gubernur lihat saja, calon-calonnya prestasinya apa dilihat, rekam jejaknya dilihat, pernah bikin apa, punya prestasi apa, programnya apa dilihat, visinya apa dilihat, gagasannya apa dilihat, pilih, itu saja. Tidak usah pakai ramai dengan tetangga, ramai antarkampung. Rugi besar kita kalau masih cara berpikir kita seperti itu. Contohnya tadi Afghanistan tadi harus kita pakai contoh. Padahal di sana hanya ada tujuh suku.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, gunakanlah sertifikat yang telah diberikan tadi untuk hal-hal yang bermanfaat bagi kesejahteraan keluarga kita.
Saya tutup.
Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.