Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat, 18 Februari 2019, di Lapangan Maulana Yudha Tigaraksa, Tangerang, Banten

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 18 Februari 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 2.436 Kali

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati Pak Menteri ATR/Kepala BPN, Pak Kepala Staf Kepresidenan,
Yang saya hormati Pak Gubernur, Pak Wakil Gubernur Provinsi Banten, Bapak Bupati Kabupaten Tangerang, seluruh Forkompinda Banten dan Tangerang, Kanwil serta Kepala Kantor BPN,
Bapak-Ibu sekalian seluruh penerima sertifikat.

Selamat siang!
Sertifikat sudah dipegang semuanya? Bisa diangkat tinggi-tinggi biar kelihatan semuanya. Sebentar, ya diangkat, jangan diturunkan mau saya hitung. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, …, 5.000, betul. Nanti kalau enggak diangkat seperti itu jangan-jangan yang diberi hanya yang di depan tadi. Ya kan? Dulu sering kayak begitu, saya hafal. Saya tidak mau sekarang seremoni. Harus diangkat biar kelihatan bahwa 5.000 itu betul-betul sudah diberikan kepada Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian.

Kenapa sertifikat ini sekarang dipercepat, dipermudah, digampangkan? Karena setiap saya ke daerah yang saya dengar adalah sengketa tanah, sengketa lahan, konflik tanah, konflik lahan di mana-mana. Di mana-mana, tidak hanya di Pulau Jawa, di Pulau Sumatra, di Kalimantan, Maluku, NTT, NTB, Maluku Utara, Sulawesi, Papua, semuanya urusan tanah ini banyak yang sengketa karena rakyat belum memegang yang namanya tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki.

Supaya Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara tahu, 2015 di seluruh Indonesia ini harusnya tanah yang bersertifikat ada 126 juta. 126 juta bidang yang harus bersertifikat tetapi baru diselesaikan 46 juta. Berarti masih kurang 80 juta sertifikat dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote. Setahun dulu-dulunya produksi sertifikat ini hanya 500.000. Artinya apa? Bapak-Ibu harus menunggu 160 tahun lagi untuk mendapatkan sertifikat. Mau? Ngacung siapa yang mau! Maju ke depan saya beri sepeda! Tapi menunggu 160 tahun. Silakan maju saya beli sepeda, sudah. 160 tahun sertifikat jadi, mau ndak? Inilah kenapa sertifikat sekarang dipercepat, dipermudah, sudah. Dulu, tadi Pak Gub sampaikan kan, bisa urusan sertifikat bertahun-tahun, itupun juga tidak jadi. Ndak.

Saya sudah sampaikan ke Pak Menteri, “Pak Menteri, 2017 harus keluar sertifikat yang biasanya 500.000, lima juta harus keluar.” Alhamdulillah juga bisa keluar 2017. 2018, tujuh juta, saya tambah lagi tujuh juta harus keluar. Tujuh juta sudah keluar. Tahun ini sembilan juta harus keluar, sembilan juta. Tahun depan enggak tahu berapa juta lagi target yang mau saya berikan. Yang paling penting, saya ingin, seperti tadi di Kabupaten Tangerang harusnya menunggu 160 tahun lagi, tadi disampaikan Pak Menteri, yang janji Pak Menteri lho ya, 2023 rampung semua di Kabupaten Tangerang. Kita ingat janji itu ya kan, saya juga ingat lho Tangerang 2023 rampung semua. Kalau enggak rampung, Pak Menteri. Pak Menteri nanti menunjuknya ke kantor BPN, awas semuanya. Itu cara kerja mesti harus ditarget kalau enggak nanti kapan kita pegang sertifikat tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki?

Punya tanah tapi enggak punya sertifikat jadinya apa? Ya, sengketa. Ada orang datang, “ini tanah saya,” “tanah saya,” “tanah saya,” “tanah saya.” Ya buktinya enggak ada bagaimana? Kalau ini jelas orang datang ke kita, “ini tanah saya.” “Eh, eh, eh, sertifikat saya punya ini.” Iya kan? Coba dibuka di sini namanya ada, di sini nama pemilik jelas, di desa mana jelas, meter perseginya di sini juga jelas, mau apa? Mau apa? Mau apa kalau sudah pegang ini? Iya ndak? Inilah fungsinya sertifikat, fungsinya sertifikat.

Jadi sekarang Bapak-Ibu sudah tenang karena sudah pegang yang namanya tanda bukti hak hukum atas tanah, yaitu sertifikat. Kalau sudah yang namanya sengketa tanah itu waduh. Kalau sudah tarung antartetangga, rakyat dengan pemerintah, rakyat dengan perusahaan, banyak sekali. Ada yang bawa golok, ada yang bawa… Sudah seram kalau sudah yang namanya sengketa lahan itu, seram. Benar ndak? Oleh sebab itu, kalau sudah pegang begini tenteram, tenteram, tenteram, di sini tenteram. Benar ndak? Enak, pegang ini itu enak.

Nah ini kalau sudah pegang sertifikat ini, saya titip tolong dimasukkan ke plastik, trett. Supaya kalau gentingnya bocor sertifikat enggak rusak. Ada kan satu – dua gentingnya yang bocor, kan ada. Enggak rusak ini sertifikat.

Yang kedua, tolong sampai rumah difotokopi, yang asli simpan di sini lemari sini, yang fotokopi simpan di sini. Kalau yang asli hilang, masih pegang fotokopi, mengurus ke BPN mudah. Itu fungsinya.

Yang ketiga, yang ketiga, ini kalau sudah pegang yang namanya sertifikat biasanya ini pasti ingin disekolahkan. Ingin disekolahkan, benar ndak? Ngaku saja, benar ndak? Ya banyak yang ingin disekolahkan, silakan enggak apa-apa. Dipakai untuk jaminan ke bank, dipakai untuk agunan ke bank, enggak apa-apa silakan. Tetapi yang perlu saya ingatkan, sebelum pinjam ke bank itu dihitung dulu, dikalkulasi dulu, bisa menyicil ndak, bisa mengangsur tidak. Kalau tidak, tidak usah. Tapi kalau dihitung masuk, ada keuntungan, bisa menyicil, silakan.

Nah ini misalnya di Tangerang ini tanah di sini kan mahal-mahal sekarang, masukkan ke bank dapat Rp300 juta, pinjam Rp300 juta, dapat Rp300 juta. Pulang, mampir ke dealer mobil, ambil mobil. Nah ini mulai, ini ada perkara ini, mulai ini masalah di sini, ya kan. Sampai di rumah, mobil dinaiki mutar-mutar kampung, gagah. Nah mulai, ini mulai. Ini hanya, sekali lagi, ini hanya enam bulan gagahnya itu. Enggak bisa menyicil mobil, enggak bisa menyicil bank, enam bulan mobilnya diambil dealer, sertifikatnya diambil bank, sudah tutup.

Jadi saya ingatkan, kalau pinjam ke bank dapat Rp300 juta ya jangan Rp150 juta untuk membeli mobil. Jangan, jangan, saya titip jangan. Saya pastikan enggak akan bisa mengembalikan. Gunakan Rp300 juta semuanya untuk modal kerja, untuk modal usaha, untuk modal investasi. Kalau ada keuntungan Rp5 juta, alhamdulillah kita syukuri, ditabung. Untung Rp3 juta, alhamdulillah syukuri, ditabung. Untung Rp10 juta, alhamdulillah, ditabung. Lha kalau sudah tabungannya banyak, silakan mau beli apa silakan. Mau beli bus silakan, mau beli mobil silakan, mau beli truk, mau beli silakan tapi dari keuntungan-keuntungan yang kita peroleh. Saya titip itu saja.

Karena banyak, kalau sudah pegang ini itu waduh inginnya besok langsung di sekolah kan. Dapat pinjaman langsung, wah yang namanya dapat pinjaman itu kan duitnya gede banget. Rp300 juta, pulang, waduh ini untuk apa, untuk apa. Wah, jangan dipakai untuk apa-apa kalau uang pinjaman itu, jangan, selain untuk modal usaha, modal kerja, modal investasi. Sudah, saya titip itu saja.

Yang terakhir Bapak-Ibu sekalian,
Saya ingin menyampaikan, negara kita ini negara besar. Kita harus sadar itu. Kita ini dianugerahi oleh Allah itu berbeda-beda, beraneka ragam, bermacam-macam. Berbeda suku, berbeda agama, berbeda adat, berbeda tradisi, berbeda budaya, berbeda bahasa daerah, beda-beda semuanya. Inilah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita miliki. Oleh sebab itu, saya mengajak marilah kita menjaga persatuan, merawat dan memelihara persaudaraan, kerukunan. Kita jaga ukhuwah islamiah, kita jaga ukhuwah wathaniyah karena kita memang berbeda-beda. Suku saja ada 714 suku di Indonesia, 714 suku. Bandingkan dengan Afghanistan tujuh, hanya tujuh, kita 714. Singapura itu empat, kita 714, beda-beda. Ini sudah jadi sunatullah, sudah menjadi hukum Allah kita memang dianugerahi perbedaan-perbedaan itu.

Oleh sebab itu, saya titip, ini saya titip, jangan sampai karena pilihan bupati, ini dimulai dari urusan politik sering, karena pilihan gubernur, benar, karena pilihan presiden kita ini merasa kayak enggak saudara. Antarkampung enggak saling omong, ada ndak? Antartetangga enggak saling omong karena beda pilihan, ada ndak? Banyak? Di majelis taklim enggak saling omong gara-gara beda pilihan bupati, ada ndak? Karena beda pilihan presiden enggak saling omong, ada ndak? Nah, nah, nah, nah, nah, nah, nah, nah! Jangan sampai kejadian itu ada di Kabupaten Tangerang, jangan. Saya titip itu. Beda pilihan itu biasa. Setiap lima tahun itu ada, pilihan presiden ada, pilihan bupati ada, pilihan gubernur ada, terus. Masa enggak saling omong sama tetangga, enggak saling omong antarkampung, di majelis taklim terutama ibu-ibu tidak saling omong? Nah, betul? Ya kan? Jangan.

Memilih pemimpin itu, memilih misalnya bupati ada pilihan bupati calonnya empat: A/B/C/D, empat, ya sudah pilih sesuai hati nurani kita. Tapi tolong dilihat, dilihat bupati punya rekam jejak baik atau tidak baik, punya pengalaman ndak di pemerintahan, programnya bagus ndak, ide dan gagasan untuk kabupaten bagus ndak. Nah dilihat itu saja kok, gampang. Jangan…

Kalau sudah mendekati bulan-bulan politik itu isu fitnah itu banyak sekali bertebaran di mana-mana. Sudah, ini urusan politik mesti seperti itu, mesti seperti itu. Isu, misalnya Presiden Jokowi itu antek asing, nah ada. Presiden Jokowi itu PKI, ada. Presiden Jokowi itu antiulama, ada. Lho, lho, lho, lho, lho, lho!

Saya berikan contoh, Presiden Jokowi PKI. Saya jawab. Saya sudah empat tahun enggak jawab, saya diam, saya sabar, sabar, sabar, sabar, sabar, sabar, ya Allah. Tapi saya sekarang saya jawab. Saya jawab, saya lahir tahun ’61, lahir saya tahun ’61. PKI itu dibubarkan tahun ‘65/’66. Umur saya berarti masih empat tahun. Ada PKI balita? Nah, jawabannya gampang saja, kayak begitu. Jangan seperti itulah, karena urusan politik terus cara memfitnahnya keji seperti itu.

Ada yang antek asing. Antek asing yang mana coba? Perlu saya sampaikan, yang namanya blok minyak Mahakam 2015 itu sudah saya serahkan 100 persen kepada Pertamina, 100 persen kepada Pertamina. Padahal sudah dikelola, dikelola 50 tahun, dikelola 50 tahun oleh Jepang dan Perancis, Inpex dan Total dari Jepang dan Perancis. 50 tahun. Ambil, nih Pertamina. 2018 kemarin blok minyak besar yaitu di Riau, Rokan, dikelola oleh Chevron Amerika sudah lebih dari 90 tahun, juga sudah dimenangkan oleh Pertamina 100 persen, di menangkan oleh Pertamina sudah. Freeport, Freeport sudah lebih dari 40 tahun. Tambang emas/tambang tembaga terbesar mungkin di dunia sudah kita ambil mayoritas 51 persen. Begitu saya yang mengambil, mengambil bagian saya, saya juga kena bagian antek asing. Antek asing, antek asingnya di mana coba? Nah isu-isu yang kalau kita tidak memakai rasionalitas pikiran kita bisa ke makan kayak begini-begini.

Ada yang menyampaikan kriminalisasi ulama. Lho, lho, lho, lho, lho, lho! Ulama siapa yang dikriminalisasi? Tolong tunjukkan! Yang namanya kriminalisasi itu kalau enggak punya masalah hukum dimasukkan sel, itu namanya kriminalisasi. Tapi kalau punya masalah hukum, entah itu gubernur, bupati, menteri, siapapun ya pasti berhadapan dengan aparat hukum. Tunjukkan ulama mana yang dikriminalisasi! Saya urus nanti, saya urus. Saya juga tidak mau kok. Saya ini tiap hari dengan ulama, tiap minggu hampir keluar masuk, keluar masuk pondok pesantren. Ini sudah kebalik-balik kalau seperti ini diterus-teruskan. Nanti larinya kemana mana kalau enggak saya…

Saya sebetulnya sudah empat setengah tahun ini diam, sudah diamlah saya, enggak usah omong. Nanti ditanggapi juga nanti malah jadinya ramai. Sudahlah, saya sabar saja. Tapi lama-lama juga enggak kuat juga, saya kan manusia biasa. Tapi saya enggak marah lho, ini enggak marah. Hanya menjelaskan, tidak marah, hanya menjelaskan supaya semuanya jelas. Benar ndak? Perlu kan saya jelaskan seperti ini? Biar tahu dan tidak kemakan isu-isu politik.

Saya ingin ada yang maju, tunjuk jari yang sudah mengurus… Ya coba di belakang itu maju. Saya mau tanya yang…, coba ada ibu-ibu yang ingin sertifikatnya disekolahkan. Ada ndak? Tunjuk jari! Ada? Ada disekolahkan? Mau disekolahkan sertifikatnya? Iya? Iya, maju coba. Sertifikatnya dibawa, silakan Ibu maju satu. Ya sudah, dua orang saja. Silakan, cepat.

Ya, dikenalkan dulu namanya siapa.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Assalamu’alaikum nama saya Rika, dari…

Presiden Republik Indonesia
Bu Rika.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya, dari Kampung Cisalak, Desa Cireundeu, Kecamatan Solear.

Presiden Republik Indonesia
Cireundeu, iya. Sertifikatnya berapa meter persegi?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Sertifikatnya 440. Eh…

Presiden Republik Indonesia
Saya cek. Eh, bagaimana?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Tapi sebentar Pak, bukan…

Presiden Republik Indonesia
Punya sertifikat saya ingatkan, perlu saya ingatkan kalau punya tanah, punya sertifikat harus hafal berapa meter persegi yang kita miliki. Berapa Bu Rika? Berapa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Lupa Pak, ini…

Presiden Republik Indonesia
Lupa. Di Cireundeu ya?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Ya.

Presiden Republik Indonesia
Seluas 301 meter persegi ini ya.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya, Pak.

Presiden Republik Indonesia
Ada 301 meter persegi. Jangan lupa, nanti… Ya, ya. Oke. Tadi saya kan mau tanya, sudah memiliki sertifikat, ini mau disekolahkan, benar?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Pakai mic.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Mau disekolahkan?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Mau.

Presiden Republik Indonesia
Disekolahkan di mana?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Pokoknya…

Presiden Republik Indonesia
Di SD, di SMP, atau di SMA?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Kalau bisa…

Presiden Republik Indonesia
Mau disekolahkan di mana?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Kalau bisa di yang pemerintah saja Pak, biar enggak terlalu…

Presiden Republik Indonesia
Ya, di mana? Mau sekolah itu harus mengerti di mana, itu harus mengerti. Mau sekolah enggak, enggak mengerti disekolahkan di mana. Bagaimana? Di mana?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Kalau awal di SD dulu kali ya Pak?

Presiden Republik Indonesia
Di?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Di SD dulu kali ya.

Presiden Republik Indonesia
Di? Di mana? Nah, ini punya niat menyekolahkan tapi enggak mengerti kemana. Kalau mau pinjam, ini dipakai untuk agunan ya, kita harus mengerti. Datang ke Bank BRI, atau Bank Mandiri, atau ke Bank BPD misalnya, harus mengerti. Mau kemana?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Ke BRI.

Presiden Republik Indonesia
BRI.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Ya.

Presiden Republik Indonesia
Ke BRI, sudah tahu bunganya berapa? Belum tahu?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Belum.

Presiden Republik Indonesia
Belum. Nah, ini harus tanya, jelas. Terus mau pinjam berapa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Em… Berapa ya?

Presiden Republik Indonesia
Berapa? Lha mau pinjam kok berapa kok tanya saya? Harus mengerti kalau sudah mau niat ini mau disekolahkan, harus mengerti saya mau pinjam berapa. Kenapa saya pinjam sekian, harus mengerti. Cara pengembaliannya seperti apa, dihitung.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Bagaimana Bu Rika, bagaimana? Mau pinjam berapa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Rp100 juta.

Presiden Republik Indonesia
Rp100 juta. Mau dipakai untuk apa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Untuk modal, Pak.

Presiden Republik Indonesia
Modal apa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Bengkel.

Presiden Republik Indonesia
Bengkel. Bengkel apa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Bengkel motor.

Presiden Republik Indonesia
Motor apa?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Motor bebek.

Presiden Republik Indonesia
Motor?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Sepeda motor.

Presiden Republik Indonesia
Sepeda motor kok banyak sekali sampai Rp100 juta? Untuk beli apa saja itu?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Untuk beli oli…

Presiden Republik Indonesia
Beli oli? Masa oli Rp100 juta? Beli apa? Omong sama saya harus detail. Untuk beli oli berapa? Berapa juta beli oli?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Oo… Lupa, olinya berapa ya? Olinya…

Presiden Republik Indonesia
Rp100 juta, beli olinya berapa coba?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Olinya Rp10 juta.

Presiden Republik Indonesia
Rp10 juta. Rp10 juta itu oli banyak banget itu. Terus beli apa lagi? Masih Rp90 juta, beli apa lagi sisanya?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Beli alat-alatnya itu Pak.

Presiden Republik Indonesia
Beli alat-alat apa? Alat-alat bengkel?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Ya, kompresornya…

Presiden Republik Indonesia
Berapa itu beli alat-alat bengkel?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Alat-alat bengkelnya…

Presiden Republik Indonesia
Nah, harus terinci. Saya titip kayak begitu harus rinci. Nanti kalau tidak rinci, sudah untuk beli oli, beli alat-alat bengkel, lho kok sudah rampung, hanya habis Rp30 juta, sudah. Sisa Rp70 juta, nah ini mulai ini nanti ini. Dipakai apa ini, wah, sudah jadi mobil lah, jadi… Sudah, itu sudah mulai, sudah. Saya titip Bu Rika ya, kalau ini mau diagunkan, dipakai untuk jaminan, betul-betul dihitung mau pinjam berapa, dipakai untuk apa, itu detail. Terus nanti keuntungan dari bengkel itu berapa itu harus dihitung. Oh, bisa menyicil berarti, oke, mengambil Rp100 juta.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Nah begitu. Ya, sudah. Terima kasih.

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Sini dulu.

Silakan dikenalkan nama.

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Presiden Republik Indonesia
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Perkenalkan nama saya Isra, putra Kabupaten Tangerang, beralamat di Desa Jeungjing.

Presiden Republik Indonesia
Eksa, ya. Mas Eksa…

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Isra, Pak.

Presiden Republik Indonesia
Isra. Oh, Isra… Dengar saya Eksa. Isra, ya, sertifikat berapa meter persegi?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
556 meter persegi.

Presiden Republik Indonesia
Wah gede, 556.

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Berupa bidang sawah, Pak.

Presiden Republik Indonesia
Bidang sawah ya enggak apa-apa, entah sawah, entah kebun, kan gede itu juga. 500?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
556. 565

Presiden Republik Indonesia
Nah kebalik-balik kan. 500?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
565.

Presiden Republik Indonesia
565, oke. Di Jeungjing ya? Ya, oke. Ini mau disekolahkan ndak?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Enggak, Pak. Kalau saya terus terang alhamdulillah telah diberi kesempatan oleh Allah SWT sehingga saya bisa berdialog dengan Bapak dan kemudian dengan para staf Bapak. Tujuan saya ke sini, saya hanya sebatas menyampaikan keluh kesah saya sebagai masyarakat.

Presiden Republik Indonesia
Apa?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Yang pertama ialah, saya sangat berterima kasih dengan adanya Program PTSL nasional sehingga adanya percepatan, adanya percepatan sertifikat ini membuat adanya kepastian hukum terhadap setiap…

Presiden Republik Indonesia
Ya. Ya, tadi kan sudah saya sampaikan, ini kepastian hukumnya jadi jelas, benar. Terus pertanyaan saya, sebentar, saya tanya ini mengurusnya berapa hari, berapa bulan?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Sesuai dengan tertera, pengukuran bulan September 2018, terealisasi tanggal 16. Pada hari ini saya…

Presiden Republik Indonesia
Ya, Februari, sudah lah ya… Itu tadi diceknya September, jadi Oktober, November, Desember, ya kurang lebih empat bulan. Ya normal itu empat bulan. Cepat saya kira. Nggih. Terus, ini berarti enggak mau disekolahkan? Ndak ya? Ndak?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Ndak.

Presiden Republik Indonesia
Disimpan?

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Ya. Ndak, kalau boleh saya kasih, mengutarain boleh Pak?

Presiden Republik Indonesia
Ya, boleh. Komentar saja. Komentar saja kok, enggak membayar.

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Saya tidak akan menyekolahkan sertifikat ini karena sertifikat ini amanah dari orangtua saya, karena saya tidak merasa membeli tanah, dan tanah ini hanya terbatas titipan sementara saya di dunia. Saya insyaallah akan memanfaatkan sebaik mungkin. Alasan saya berdiri di sini ialah hanya ingin, saya berharap sertifikat yang telah jadi jangan sampai pada kenyataannya setelah jadi dan dipegang oleh pemegang masing-masing, akan diinventarisir oleh, dilarikan kepada properti-properti yang akan dijual belikan. Saya tidak ingin.

Presiden Republik Indonesia
Sudah. Ini titip ini, ingat benar, ini betul, betul. Jangan sampai, saya ulangi, jangan sampai sertifikat ini jadi justru dijual untuk kepentingan-kepentingan yang gede-gede seperti tadi yang disampaikan oleh Pak Isra. Hati-hati, ya. Jangan sampai! Ini adalah hak milik yang kita miliki, hati-hati masalah ini. Saya titip. Kalau mau disekolahkan saja dihitung, apalagi mau dijual. Hitung, hitung, hitung, hitung, saya titip. Benar, ini diingatkan. Saya lupa tadi. Karena di sini sekarang, yang namanya di Tangerang ini harga tanah tinggi, banyak properti yang ingin tanah itu. Hati-hati, ya. Saya titip, saya titip, sudah, sekali lagi.

Isra (Warga Desa Jeungjing, Kabupaten Tangerang)
Terus saya juga mengutip dari Nawa Cita Bapak dan mungkin ada hubungannya dengan RPJMD Bapak Ahmed Zaki Iskandar mengenai tentang ketahanan pangan dan land reform pembentukan sertifikat atau pengakuan hak. Sedangkan pada kenyataannya kabupaten sendiri yang luas wilayahnya lebih dari 1.001,86 kilometer persegi sudah lebih dari 50 persen lahan beralih fungsi dari lahan merah, lahan kuning, bisa jadi lahan hijau.

Presiden Republik Indonesia
Hati-hati, apalagi yang namanya sawah, hati-hati. Jangan sampai berubah menjadi rumah-rumah. Kita butuh makan, kita butuh pangan ke depan untuk anak cucu kita. Ya? Ya, saya tambahi, sudah. Ini kadang-kadang memang ada yang mengingatkan seperti ini penting sekali. Tidak semua hal saya itu mengerti di daerah-daerah. Ya, saya titip itu kepada Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan. Terima kasih. Pak Isra, terima kasih. Bu Rika, terima kasih.

Saya biasanya kalau yang naik panggung itu saya beri sepeda. Tapi ini karena menjelang pilpres, enggak boleh ngasih sepeda, jadi saya beri foto saja. Ini lebih, ini lebih mahal dari sepeda. Ini dibelikan sepeda bisa dapat sepuluh, mungkin 100. Karena fotonya ada tulisan ‘Istana Presiden Republik Indonesia’, yang mahal ini. Oke.

Pak Isra, ya sudah ditunjukkan fotonya. Nah, kita sekarang kan kerja cepat, baru duduk di sini lima menit fotonya jadi. Iya kan? Ini Bu Rika, ini. Oke, sudah. Senang ndak? Enggak senang?

Rika (Warga Desa Cireundeu, Kabupaten Tangerang)
Ih, senang Pak.

Presiden Republik Indonesia
Oh, senang. Ya, sudah. Sudah. Silakan. Ya. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.

Saya rasa itu Bapak-Ibu sekalian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, apa yang ingin saya pesankan tadi tolong betul-betul kita pahami bersama agar sertifikat yang sudah Bapak-Ibu pegang ini betul-betul bermanfaat bagi keluarga kita, bagi kesejahteraan masyarakat kita.

Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru