Penyerahan Sertifikat Tanah untuk Rakyat, 22 Februari 2019, di Gelanggang Remaja Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 22 Februari 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.000 Kali

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang saya hormati Bapak Menteri ATR/Kepala BPN, Bapak Sekretaris Kabinet,
Yang saya hormati Bapak Gubernur DKI Jakarta, Pak Wali Kota Jakarta Selatan,
Yang saya hormati, yang saya cintai Bapak-Ibu sekalian seluruh warga DKI Jakarta, khususnya warga Jakarta Selatan.

Saya sangat berbahagia sekali pagi hari ini semuanya sudah pegang sertifikat. Sudah? Bisa diangkat? Saya ingin tahu betul bahwa sertifikat sudah dipegang Bapak-Ibu sekalian. Yang di atas belum? Sudah? Ada? Yang di atas juga terima kan? Ya, diangkat. Kalau tidak diangkat nanti seremoni, kayak yang  maju tadi saja, 12 tadi. Semuanya, sebentar. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, …, 2.000, sudah.

Enggak, yang dulu-dulu itu, yang saya enggak senang ya, biasanya seremonial. Disuruh maju 12 orang, dikasih, yang lain ternyata enggak dikasih. Sehingga saya suruh angkat betul-betul sertifikat ini sudah Bapak-Ibu pegang semuanya.  Itu yang ingin saya lihat.

Kenapa sertifikat ini diberikan, tidak hanya di Jakarta ini, di seluruh tanah air? Karena setiap saya pergi ke desa, setiap saya pergi ke kampung suara yang masuk ke saya adalah sengketa lahan, sengketa tanah, konflik tanah. Di mana-mana, di mana-mana. Ini harus kita sampaikan apa adanya. Enggak di Sumatra, enggak di Jawa, enggak di Kalimantan, enggak di Bali, enggak di Maluku, enggak di Papua, NTT, NTB semuanya ada yang namanya sengketa lahan, sengketa tanah.

Kalau sudah yang namanya sengketa tanah ini, di manapun pasti jadinya ramai. Dibawa ke pengadilan juga ramai, enggak dibawa juga ada yang bawa golok. Iya benar, karena menyangkut hidup mati kalau tanah itu. Betul ndak, Bu? Bapak, betul? Ya, benar, memang seperti itu.

Di Jakarta sama saja, sama saja. Ada satu tanah sertifikatnya dua, Pak Menteri, Pak Gub. Ada di Jakarta ini, tanahnya satu, sertifikatnya dua, ada. Tanahnya satu sertifikatnya tiga, ada.

Oleh sebab itu, kalau Bapak-Ibu semuanya sudah pegang yang namanya sertifikat ini enak. Ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Kalau ada orang yang menyampaikan, bagi-bagi sertifikat enggak ada gunanya, ya silakan. Enggak apa-apa ada yang omong seperti itu tetapi tetap program ini akan terus kita lanjutkan. Enggak ada…

Karena di seluruh tanah air, dari 126 juta bidang tanah yang harus bersertifikat, baru 46 juta. Di tahun 2015 itu baru 46 juta, masih ada 80 juta yang belum bersertifikat. 80 juta bidang, coba.  Sehingga sengketa banyak sekali karena problem itu, tidak pegang yang namanya hak bukti hukum atas tanah yang kita miliki. 80 juta. Oleh sebab itu, 2016 saya minta Pak Menteri, 2017 saya minta lima juta sertifikat harus keluar di seluruh tanah air. 2018, tujuh juta harus keluar. Alhamdulillah semua target bisa terlampaui semuanya. 80 juta.

Sebelumnya, tahun-tahun sebelumnya, setahun itu hanya keluar 500.000 di seluruh Indonesia, 500.000. Artinya Bapak-Ibu menunggu 160 tahun. Ya kalau 500.000 masih 80 juta, menunggu 160 tahun untuk ini jadi. Bapak mau? Ibu mau? Siapa yang mau menunggu 160 tahun, maju saya beri sepeda. Saya beri sepeda, sudah maju, tapi menunggunya 160 tahun. Silakan maju, tunjuk jari, maju, saya beri sepeda, sudah. 160 tahun menunggunya.

Sehingga target-target ini akan terus kita berikan kepada kantor-kantor BPN di seluruh tanah air. Saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Kepala Kantor BPN DKI dan Jakarta Selatan. Di Jakarta Selatan, tadi Pak Menteri sudah menyampaikan, tahun ini kurang hanya 36.000, akan diselesaikan semuanya. Janjinya Pak Menteri diingat-ingat. Artinya juga nanti kepala-kepala kantor BPN ini harus kerja keras, 36.000 harus rampung, sehingga seluruh Jakarta Selatan ini sertifikatnya sudah pegang semuanya masyarakat.

Saya itu tinggal mengecek saja, rampung ndak, begitu aja. Selesai ndak. Kalau enggak selesai ya tahu sendiri. Kepala kantornya tahu sendiri, kanwilnya tahu sendiri. Kerja memang harus diberi target, benar ndak? Kalau enggak, enak banget.

Tapi sekarang memang kantor BPN kalau kerja saya lihat pagi sampai malam, pagi sampai malam. Ya karena kita beri target. Dan nyatanya kantor-kantor BPN bisa menyelesaikan ini di seluruh tanah air. Sekarang ditarget semuanya terlampaui. Karena janjiannya memang berat, kalau tidak terlampaui ada konsekuensinya, konsekuensinya ya diganti.

Yang kedua Bapak-Ibu sekalian, kalau sudah pegang sertifikat tolong dimasukkan ke plastik. Sudah ada plastiknya semuanya ya? Oh ya, berarti dari kantor BPN sudah diberikan plastik. Ini kalau gentingnya bocor kena air enggak rusak. Itu maksudnya diberi plastik tuh itu.

Sampai di rumah tolong juga difotokopi. Ini difotokopi sehingga kalau hilang aslinya, fotokopinya masih ada. Taruh yang kopi di lemari satu, yang asli di lemari dua. Jangan satu tempat, hilang bareng repot nanti. Oke.

Yang ketiga, yang ketiga, ini kalau sudah jadi sertifikat biasanya, tapi di DKI saya kira sama saja, kalau sudah jadi sertifikat, biasanya ingin disekolahkan. Bener ndak? Benar kan? Enggak apa-apa, di sekolahkan enggak apa-apa.

Ada yang maunya menyekolahkan sertifikatnya tunjuk jari kalau ada. Ya sudah, coba maju yang mau menyekolahkan. Sebentar, sebentar, sebentar, saya tunjuk, saya tunjuk. Kok ada yang sudah gini-gini malu lagi. Silakan, silakan, silakan. Sebentar, ya silakan maju. Ini mau disekolahkan ya? Betul ya? Maju. Ini, ini, yang belakang, yang belakang, Bapak yang belakang, ya.

Ada Ibu-ibu yang mau menyekolahkan sertifikatnya? Ya Ibu, silakan maju. Ya, maju, ya. Silakan maju. Ya, silakan. Sini Bu, silakan. Ya, silakan. Oke.

Jadi saya titip, kalau sertifikat ini mau dipakai untuk agunan tolong dikalkulasi dulu, dihitung dulu. Bisa mengangsur enggak nanti ke bank, bisa menyicil enggak ke bank dihitung dulu, tolong.

Yang kedua, kalau dapat pinjaman, ini masukkan ke bank, dapat pinjaman Rp300 juta misalnya, jangan sampai, saya titip, yang Rp150 juta untuk membeli mobil. Ini orang-orang kita biasanya senangnya kayak begitu, separuhnya beli mobil biar bisa muter-muter kampung, mobilnya baru. Itu hanya enam bulan, percaya saya. Kalau uang bank dipakai untuk beli mobil, itu hanya enam bulan maksimal. Enggak bisa menyicil bank, enggak bisa menyicil ke dealer. Akhirnya apa? Mobilnya ditarik, sertifikatnya juga hilang. Hati-hati, perlu saya ingatkan itu. Jadi, jangan sampai.

Kalau dapat Rp300 juta pinjaman, gunakan semuanya untuk modal investasi, untuk modal kerja, untuk modal usaha. Kalau untung, untung Rp7 juta alhamdulillah, tabung. Untung Rp5 juta alhamdulillah, tabung. Untung Rp6 juta alhamdulillah, tabung. Ngumpul, baru mau beli mobil, silakan. Jangan pakai yang dari modal pokok dari bank tadi, hilang nanti sertifikat, hilang. Sudah, hati-hati.

Kenalkan  Pak, silakan.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Nama saya Sururi.

Presiden Republik Indonesia
Pak Sururi, dari?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Petukangan Selatan, Petukangan Selatan.

Presiden Republik Indonesia
Oh, Petukangan. Ya, Petukangan Selatan.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Petukangan Utara Pak, Petukangan Utara.

Presiden Republik Indonesia
Lho bagaimana sih? Bolak balik?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Grogi.

Presiden Republik Indonesia
Tadi Petukangan Selatan, ini balik Petukangan Utara. Yang benar?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Utara.

Presiden Republik Indonesia
Petukangan Utara. Oke. Grogi ya grogi tapi Selatan kok balik jadi Utara.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Beda sedikit.

Presiden Republik Indonesia
Ya, oke. Bapak, ini mau tadi saya sampaikan ini mau disekolahkan?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Iya, Pak. Iya.

Presiden Republik Indonesia
Berapa meter persegi ini?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
29, Sebenarnya waktu beli 32, mungkin karena pengukurannya manual kali ya, jadi ini kenyataannya di sini 29.

Presiden Republik Indonesia
Ya, yang benar yang di sertifikat mesti. Yang mengukur itu sudah pakai teodolit itu sudah.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Perkiraannya begitu tadi.

Presiden Republik Indonesia
Ya. Bapak kan, Pak Sururi kan perkiraan, kalau diukur benar ya mesti 29 meter persegi.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ya, betul.

Presiden Republik Indonesia
Mau pinjam di bank berapa kira-kira?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ya seperlunya, kebutuhan.

Presiden Republik Indonesia
Ya, berapa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Rp150 (juta).

Presiden Republik Indonesia
Rp150 (juta). Orang mau pinjam ke bank itu harus direncanakan berapa mau pinjam, dipakai untuk apa harus mengerti. Rp150 juta, oke. Rp150 juta mau dipakai apa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Buat tambah modal.

Presiden Republik Indonesia
Tambah modal untuk apa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Saya sudah usaha sudah 20 tahun.

Presiden Republik Indonesia
Oke, 20 tahun apa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Susu kacang kedelai.

Presiden Republik Indonesia
Apa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Susu kacang kedelai.

Presiden Republik Indonesia
Susu kacang kedelai. Rp150 juta itu banyak lho, mau dipakai untuk apa itu Rp150 juta? Masa mau dibeli untuk kedelai semuanya? Untuk apa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Buat simpanan kalau-kalau ada keperluan yang mendadak istilahnya.

Presiden Republik Indonesia
Nah, ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini. Nah, hati-hati ini, keperluan mendadak ini yang hati-hati. Rp150 juta dipakai apa dulu, saya mau tanya. Satu?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Buat modal.

Presiden Republik Indonesia
Modal berapa juta?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Kemungkinan Rp10 juta.

Presiden Republik Indonesia
10, hanya Rp10 juta. Masih Rp140 juta. Masih Rp140 juta, dipakai apa lagi? Mulai…

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ada kemungkinan renovasi rumah.

Presiden Republik Indonesia
Ada kemungkinan renovasi rumah? Nah, ini, ini, ini, ini. Terus? Oke.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Keperluan anak mau masuk kuliah.

Presiden Republik Indonesia
Keperluan anak masuk kuliah. Terus?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Yang sisanya disimpan buat persiapan.

Presiden Republik Indonesia
Pinjam kok disimpan ini bagaimana? Pertama, perlu saya ingatkan betul, kalau pinjam itu jangan dipakai hal-hal yang konsumtif. Hati-hati. Kalau mau dipakai untuk  anak sekolah pun hitung betul bisa mengembalikan enggak, mengembalikannya/menyicilnya  dari mana. Apalagi untuk membangun rumah, juga dihitung betul, dihitung menyicilnya bisa ndak.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Kalau rumah sudah ada.

Presiden Republik Indonesia
Apa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Rumah sudah ada.

Presiden Republik Indonesia
Iya sudah ada, tapi maksudnya kalau renovasi itu kan berarti tetap menyicilkan. Ini uang pinjaman lho Pak Sururi, bukan uang Bapak lho.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Iya, iya.

Presiden Republik Indonesia
Uang pinjaman lho.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Tahu.

Presiden Republik Indonesia
Harusnya ya, menurut saya, kalau Rp150 (juta) ya kan, Rp140 juta itu untuk tambahan modal kerja atau dipakai semuanya untuk modal kerja, untuk modal usaha. Iya kan.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Kalau nanti ada untung,  tambahan untung, silakan mau renovasi rumah, silakan. Saya ingatkan saja.

Saya mengalami, saya cerita ini saya mengalami, keliru, saya pernah keliru. Mengalami saya. Tapi jangan sampai Bapak-Ibu semuanya keliru memanfaatkan pinjaman bank. Hati-hati. Kalau bisa Rp150  (juta) dipakai semuanya untuk modal usaha, untuk membeli kedelai semuanya, enggak apa-apa,  tapi bisa jualnya, yang penting itu.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ada anak buah, Pak. Ada anak buah.

Presiden Republik Indonesia
Ya, tahu. Anak buahnya banyak. Anak buahnya, sekarang punya anak buah berapa?

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Tujuh.

Presiden Republik Indonesia
Tujuh. Lha ditambah anak buahnya jadi 15.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ya, niatnya ekspansi.

Presiden Republik Indonesia
Nah begitu, keuntungan baru dipakai untuk renovasi rumah, untuk anak-anak kita. Saya kira seperti itu. Saya titip itu saja Pak Sururi. Oke.

Sururi (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ya.

Presiden Republik Indonesia
Mengingatkan saja. Ibu silakan, kenalkan. Sudah, ini.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Presiden Republik Indonesia
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Perkenalkan saya Atiah Sri Munawati dari Petukangan Utara.

Presiden Republik Indonesia
Ibu?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ibu Atiah Sri Munawati.

Presiden Republik Indonesia
Ibu Atiah, juga dari Petukangan Utara.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Alhamdulillah, saya sangat bersyukur…

Presiden Republik Indonesia
Ya, silakan.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ketika tadi malam Pak RT datang ke rumah, “Bu, katanya sertifikat sudah jadi.” Itu subhanallah saya merasa ini adalah pertolongan Allah. Karena apa? Karena memang saya sangat membutuhkan untuk membuka usaha dengan meminjam, menyekolahkan sertifikat yang saya terima ini ke BRI.

Presiden Republik Indonesia
Iya. Ke BRI, oke. Mau pinjam berapa BRI?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Kebetulan usaha yang saya geluti sekarang ini, saya ingin bergerak di bidang travel haji dan umrah. Jadi…

Presiden Republik Indonesia
Travel?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Haji dan umrah.

Presiden Republik Indonesia
Haji dan umrah. Oke.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Insyaallah saya akan meminjam dari BRI untuk membuat SIUP travel haji dan umrah.

Presiden Republik Indonesia
Mau pinjam berapa?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Kira-kira kalau bisa Rp500 (juta).

Presiden Republik Indonesia
Rp500 juta. Enggak apa-apa tapi sudah dihitung bisa mengangsur tidak?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Insyaallah.

Presiden Republik Indonesia
Berapa tahun akan selesai angsurannya perkiraan?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Maksimal lima tahun.

Presiden Republik Indonesia
Maksimal lima tahun sudah rampung. Semuanya harus dihitung itu, bisa menyicil, mau menyicilnya berapa tahun nanti lunas. Harus ada hitung-hitungannya. Rp500 juta mau dipakai untuk apa saja?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Itu untuk usaha travel haji dan umrah.

Presiden Republik Indonesia
Iya, apa saja? Untuk apa? Travel haji dan umrah itu apa saja? Biaya Rp500 juta itu digunakan untuk apa?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Itu untuk membuat izinnya kan lumayan.

Presiden Republik Indonesia
Membuat izin. Terus?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Ya, itu. Itu juga mungkin masih kurang tapi nanti…

Presiden Republik Indonesia
Terus untuk apalagi?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Untuk biaya anak saya yang mau masuk pesantren.

Presiden Republik Indonesia
Biaya anak untuk masuk pesantren. Terus?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Sudah kayaknya itu saja Pak.

Presiden Republik Indonesia
Sudah, oke. Tapi betul-betul sudah dihitung bisa menyicil setiap bulan?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Insyaallah.

Presiden Republik Indonesia
Bisa menyicil setiap bulan? Bisa?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Insyaallah.

Presiden Republik Indonesia
Sudah. Yang paling penting hitungannya ada, dihitung betul. Jangan sampai… Rp500 juta itu gede lho.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Iya.

Presiden Republik Indonesia
Rp500 juta itu uang banyak, uang gede itu.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Itu kalau dapat Bapak Presiden, kalau dapat. Kalau diberi.

Presiden Republik Indonesia
Tanahnya berapa sih?.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
112 meter persegi.

Presiden Republik Indonesia
Oh, gede banget. Ya, dapat lah, insyaallah dapat itu.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Amin ya rabbal alamin.

Presiden Republik Indonesia
Kalau tidak dapat omong ke Pak Gubernur.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Pak, dibantu ya Pak.

Presiden Republik Indonesia
Ya, ini jadi yang maju biasanya saya beli sepeda ya ndak?

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Alhamdulillah.

Presiden Republik Indonesia
Tapi kali ini enggak bisa mengasih sepeda saya karena enggak boleh sama KPU dan Bawaslu, jadi saya beri foto saja, ini.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Alhamdulillahirrabilalamin. Terima kasih, Pak Presiden.

Presiden Republik Indonesia
Ini. Ini harganya lebih mahal dari sepeda.

Atiah Sri Munawati (Dari Petukangan Utara, Jakarta Selatan)
Amin ya rabbal alamin.

Presiden Republik Indonesia
Karena ini di albumnya ada tulisannya ‘Istana Presiden Republik Indonesia’, ini yang mahal itu.

Sudah silakan. Terima kasih, terima kasih, Bu. Hati-hati, kembali lagi kalau mau disekolahkan hati-hati, hati-hati, hati-hati. Sudah, saya titip itu saja.

Yang terakhir Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Negara kita ini negara besar, negara kita ini negara besar. Dan kita dianugerahi oleh Allah SWT itu berbeda-beda. Berbeda suku, berbeda agama, berbeda adat, berbeda tradisi, berbeda bahasa daerah, berbeda budaya, berbeda-beda semuanya. Semua provinsi, semua kabupaten, semua kota beda-beda semuanya.

Saya tahu karena saya pernah, 34 provinsi pernah saya datangi semuanya. Hampir 400 kabupaten/kota juga pernah saya datangi semuanya. Sehingga saya tahu betul dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Inilah anugerah dari Allah yang diberikan kepada kita bangsa Indonesia, berbeda-beda. Sudah menjadi sunatullah, sudah menjadi hukum Allah bahwa kita ini berbeda-beda.

Saya hanya titip, jangan sampai perbedaan-perbedaan ini menjadi kelemahan kita, menjadi kita retak gara-gara perbedaan-perbedaan ini. Karena kalau dibandingkan dengan negara lain kita memang perbedaannya sangat mencolok dan sangat banyak sekali. Singapura itu hanya punya empat suku, Indonesia 714. Afghanistan itu punya hanya tujuh suku, tujuh suku, Indonesia 714. Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang harus kita sadari bersama.

Jangan sampai karena pilihan gubernur, karena pilihan presiden, atau kalau di daerah pilihan bupati, pilihan wali kota, kita ini menjadi kayak tidak saudara lagi. Jangan sampai. Karena setiap lima tahun yang namanya pilihan gubernur itu pasti ada, setiap lima tahun pilihan presiden juga pasti ada, ada. Jangan sampai di bawah ini ramai padahal kita yang di atas senyam-senyum saja.

Orang di bawah berpikir saya dengan Pak Gubernur DKI ada masalah, padahal saya setiap hari ketemu dengan Pak Gubernur, ke mana-mana juga dengan Pak Gubernur. Tidak ada masalah, sama sekali tidak ada masalah.

Sehingga jangan sampai karena dikompor-kompori, karena dipanas-panasi menjadi masyarakat ini, saya sedih mendengar, ini di daerah lain, karena pilihan bupati antarkampung enggak saling omong, karena pilihan wali kota antartetangga enggak saling omong, karena pilihan presiden di majelis taklim enggak saling bicara. Lho, lho, lho, lho, lho, lho, lho. Jangan diterus-teruskan seperti ini.

Urusan politik ya urusan politik, jangan dicampur aduk dengan silaturahmi di antara kita menjadi terganggu, jangan. Modal besar kita, aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, kerukunan, persaudaraan. Saya selalu sampaikan marilah kita jaga ukhuwah kita, ukhuwah islamiah kita, ukhuwah wathaniyah kita, kita jaga betul.

Saya cerita sedikit mengenai Afghanistan. Ini yang cerita presidennya Dr. Ashraf Gani dan ibu negaranya Ibu Rula Ghani. Saya sangat terkesan dengan ceritanya Ibu Rula Ghani. Apa yang beliau ceritakan kepada saya? “Presiden Jokowi, 40 tahun yang lalu saya itu naik mobil dari Kabul ke kota-kota yang lain sekitar, enggak ada masalah. Negara kami aman, tenteram. Kita punya deposit minyak gede sekali, terbesar di dunia, deposit emas terbesar.” Negara kaya memang Afghanistan. Tetapi karena konflik dua suku, konflik dua suku, yang satu membawa teman dari luar, teman dari luar, akhirnya menjadi perang besar di Afghanistan. 40 tahun sampai sekarang enggak rampung-rampung. Dimulai dari konflik antar dua suku.

Saya saja tahun lalu waktu ke Kabul, dua hari sebelum turun di Kabul ada bom. 103, kalau enggak keliru 103 tewas karena bom itu. Dua jam sebelum pesawat saya turun, bom lagi, lima tewas dan ratusan luka-luka. Karena perang seperti itu. Kalau sudah perang itu sulit menghentikannya, sulit merukunkannya. Kita sudah berusaha mempertemukan mereka, sudah mungkin lebih dari tujuh atau delapan kali di Indonesia tapi juga sangat sulit.

Ini, kesadaran ini perlu saya sampaikan agar kita semuanya merasakan betapa pentingnya, sekali lagi persatuan, pentingnya persaudaraan, pentingnya kerukunan di antara kita. Karena memang sudah menjadi sunatullah bangsa ini beragam, berbeda-beda.

Kalau ada pilihan bupati, misalnya pilihan bupati ada tiga calon, ya dilihat saja. Kalau saya dilihat saja pengalaman, punya pengalaman seperti apa, rekam jejaknya seperti apa dilihat, sudah. Programnya apa, ide, gagasannya untuk kabupatennya apa dilihat, sudah. Saya selalu menyampaikan ke rakyat seperti itu. Pilih yang paling baik di antara tiga tadi, sudah. Jangan sampai karena fitnah-fitnah menjadi nantinya rasionalitas kita menjadi berubah.

Karena sekarang ini kalau sudah mendekati bulan politik isinya enggak di bawah, enggak di medsos, fitnah-fitnah semuanya. Coba dilihat di medsos, banyak sekali Presiden Jokowi itu antek asing, banyak. Presiden Jokowi itu PKI, banyak. Presiden Jokowi antek aseng, banyak. Presiden Jokowi kriminalisasi ulama, banyak. Coba.

Saya empat tahun ini diam, saya enggak pernah menjawab, betul-betul diam. Enggak pernah saya menjawab. Tapi sekarang saya harus omong.

Antek asing. Coba kita lihat antek asing. Saya dituding antek asing. Coba dilihat Blok Minyak Mahakam, 2015 sudah kita ambil 100 persen, saya serahkan kepada Pertamina, tapi saya tidak omong ke mana-mana. Itu dibilang antek asing. Blok Mahakam itu, Blok Mahakam itu 50 tahun dikelola Inpex dan Total, Jepang dan Perancis, sekarang sudah 100 persen dikelola Pertamina.

Yang kedua, Blok Minyak Rokan di Riau, 2018 kemarin sudah 100 persen dimenangkan oleh Pertamina, 100 persen. Sebelumnya, sudah dikelola 90 tahun oleh Chevron dari Amerika, 90 tahun. Enggak ada yang omong antek asing, antek asing, enggak ada yang omong. Begitu sudah kita ambil alih malah kita dituding antek asing. Ini dibolak-balik seperti ini yang berbahaya untuk rakyat.

Freeport, Freeport sudah 40 tahun lebih dikelola Freeport McMoRan dari Amerika. Ini tambang tembaga dan tambang emas terbesar kita. Akhir 2018, Desember 2018, sudah sekarang kita kelola mayoritas, 51 persen, yang sebelumnya hanya sembilan persen kita ini. Porsi kita hanya sembilan persen, sekarang 51 persen.

Dipikir gampang mengambil alih barang-barang yang sangat berharga? Aset-aset yang sangat berharga seperti ini? Dikira gampang? Dikira mudah? Kalau mudah dan gampang dari dulu sudah diambil alih. Logikanya kalau saya seperti itu saja.

Enggak, ini saya enggak marah, saya cerita. Kelihatannya kok jadi tegang begitu semuanya. Saya hanya menceritakan. Saya cerita ini karena saya dituding-tuding antek asing kalau enggak ya saya enggak cerita, saya diam saja. Saya kerja sajalah, kerja, kerja, sudah.

Ada lagi Presiden Jokowi itu PKI. Coba, di bawah kayak begitu-begitu itu banyak. PKI dibubarkan tahun ’65/’66, umur saya… Saya lahir tahun ’61. Umur saya baru empat tahun, sudah. PKI dibubarkan itu umur saya baru empat tahun. Ada ndak PKI balita?

Coba digambar juga, di medsos, Bapak-Ibu bisa lihat gambar, gambar seperti itu. Itu DN Aidit pidato tahun 1955, Ketua PKI DN Aidit itu pidato tahun 1955. Ini gambarnya di medsos banyak sekali kayak begini, model-model gambar kayak begini. Kok saya ada di dekatnya? Coba dilihat, lahir saja belum 1955 kok sudah di dekat podiumnya Aidit coba? Saya diam saja. Saya waktu ditunjukkan sama anak saya, “Pak ini ada gambar kayak begini, Pak.” Saya lihat, lah kok ya persis gambar saya itu. Tapi ya saya sudahlah sabar, ya Allah sabar, ya Allah sabar, saya enggak jawab apa-apa. Tapi sekarang saya cerita. Bukan marah, saya cerita, supaya Bapak-Ibu semuanya tahu.

Katanya saya antiulama, kriminalisasi ulama. Wong saya itu setiap hari, hampir setiap hari ketemu ulama, setiap minggu juga keluar-masuk pondok pesantren. Antiulama yang mana? Enggak mengerti. Kriminalisasi ulama yang mana? Kalau ada yang bermasalah dengan hukum ya pasti dipanggil aparat hukum. Kita pun sama, enggak menteri, enggak bupati, enggak gubernur, semuanya kalau bermasalah dengan hukum pasti dipanggil oleh aparat. Penjelasannya simpel kalau saya.

Mungkin itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, Saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-Ibu sekalian. Dan semoga sertifikat yang telah diberikan ini bermanfaat bagi keluarga kita semuanya.

Saya tutup.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru