Penyerahan Sertifikat Tanah untuk Rakyat, 25 Januari 2019, di Halaman Skadron 21/Sena, Pusat Penerbangan Angkatan Darat Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ala alihi wa sahbihi ajmain amma badu.
Yang saya hormati Pak Menteri ATR/Kepala BPN, Pak Gubernur, Ibu Wali Kota Tangerang Selatan, Pak Pangdam, Pak Kapolda, Pak Kajati, Bu Kepala Pengadilan,
Serta Bapak-Ibu sekalian hadirin seluruh penerima sertifikat yang pagi hari ini hadir khususnya keluarga besar warga Tangerang Selatan.
Pagi hari ini saya sangat berbahagia sekali bisa bertemu dengan Bapak-Ibu sekalian. Dan saya lihat tadi cerah karena sertifikat sudah diterima semuanya. Benar? Dipegang semuanya? Bisa diangkat? Saya hitung dulu, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, …, 40.000, betul. Saya kadang-kadang harus mengecek, apakah sertifikat ini diberikan hanya yang tadi maju di depan tadi, atau betul-betul Bapak-Ibu sudah pegang semuanya. Karena ini penting, barang ini sangat penting, sertifikat adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Padahal sekarang ini banyak rakyat yang belum pegang ini. Dari 126 juta di 2015, baru 46 juta, masih ada 80 juta yang belum pegang sertifikat. Padahal sudah menempati lahan itu ada yang 40 tahun sudah di situ, 30 tahun sudah di situ, 50 tahun sudah di situ, tapi enggak pegang ini. Enggak pegang tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki.
Oleh sebab itu, saya udah sampaikan kepada Menteri ATR/Kepala BPN, Pak Menteri ini tidak bisa lagi setahun hanya memproduksi 500 ribu se-Indonesia. 500 ribu setahun se-Indonesia, artinya Bapak-Ibu harus menunggu. Kalau kurangnya 80 juta, Bapak-Ibu harus menunggu 160 tahun mau? Menunggu sertifikat ini 160 tahun mau? Siapa yang mau maju ke depan saya beri sepeda. Silakan maju saya beri sepeda sini, sini, sini, 160 tahun tapi menunggunya. Iya kan? Kalau 500 ribu per tahun, ada 80 juta yang belum, berarti kan 160 tahun. Enggak bisa.
Oleh sebab itu, 2015 saya perintahkan Pak Menteri, Pak Menteri, enggak bisa 500 ribu. Saya minta 2017 lima juta harus keluar sertifikat, 2018 tujuh juta harus keluar, tahun ini sembilan juta harus keluar. Caranya bagaimana, saya enggak mau tahu. Dan terlampaui semuanya, 2017 itu lima koma empat juta keluar, 2018 sembilan koma empat juta bisa dikeluarkan sertifikat ini, biasanya 500 ribu.
Kenapa ini harus dipercepat? Ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki, karena setiap saya ke desa, setiap saya ke kampung, saya ini kan senangnya masuk-masuk ke kampung, dipikir saya keluar masuk hanya jalan-jalan? Ndak. Saya itu mendengarkan, mendengarkan, Pak, ini ada sengketa lahan. Pergi ke kampung lain, Pak, ini sengketa tanah. Pergi ke desa yang lain, Pak ini sengketa lahan. Pergi ke daerah lain, Pak… sama di semua tempat sama. tidak hanya di Tangsel, tidak hanya di Jakarta, tidak hanya di Jawa, di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua, Maluku, NTT, NTB, semuanya. Masalah sengketa lahan di mana-mana.
Oleh sebab itu, saya perintah dipercepat semuanya. Insyaallah di 2025 semua harus sudah bersertifikat di seluruh tanah air. Kita tahu kan, kalau sudah yang namanya sengketa lahan, tarung antara tetangga dengan tetangga, berantem. Dalam satu keluarga juga berantem, masyarakat dengan pemerintah berantem, masyarakat dengan perusahaan berantem, saya lihat di mana-mana seperti itu. Karena belum pegang tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Kalau sudah pegang ini enak banget. Ada orang datang mengaku-ngaku, ini tanah saya, Bukan, tanah saya, buktinya di sini, namanya ada jelas di sini, luasnya berapa jelas di sini, desanya alamatnya di mana ada di sini. Semua sudah rampung. Orang yang ngeklaim-ngeklaim balik pasti kalau kita tunjukin ini, mau apa? Iya ndak? Ini gunanya sertifikat. Kalau sudah yang namanya sengketa lahan itu apalagi sudah masuk ke ranah hukum, masuk ke pengadilan, wah ini bisa bertahun-tahun enggak rampung-rampung nanti. Saling menggugat, saling menggugat, sudah.
Oleh sebab itu, kalau sudah pegang ini, sekali lagi, harus kita syukuri alhamdulillah sudah pegang ini. Jangan dipikir ini barang yang sepele. Ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki.
Kemudian, yang kedua, ini tolong ini penting kan, diberi plastik seperti ini. Sudah ada plastiknya semuanya? Kalau pas hujan tadi sertifikat enggak rusak. Dan difotokopi, nanti kalau sudah sampai di rumah difotokopi satu, yang asli taruh lemari sini, yang fotokopi taruh lemari sini. Jangan di satu tempat. Kalau aslinya hilang, mengurusnya mudah karena punya fotokopi.
Yang ketiga, ini biasanya kalau sudah pegang sertifikat biasanya ini di mana-mana biasanya ingin disekolahkan. Benar ndak? Ingin disekolahkan kan? Ya enggak apa-apa, enggak apa-apa. Tapi tolong saya titip, kalau ini dipakai untuk agunan, ini dipakai untuk jaminan ke bank, tolong dikalkulasi dulu, tolong dihitung dulu, jangan tergesa-gesa. Saking semangatnya dapat sertifikat langsung besok ke bank, waduh. Semangat, semangat, tapi dihitung dulu, dikalkulasi dulu, bisa menyicil enggak ke bank, bisa menyicil enggak per bulan, mengangsur per bulan, dihitung. Kalau kira-kira enggak masuk jangan dipaksakan pinjam ke bank dengan sertifikat. Ini hati-hati, hilang ini nanti kalau hitungannya luput. Dihitung, dikalkulasi.
Ini kalau di Tangerang kan harga tanah sudah mahal, ya kan? Masukkan ke bank, jegleg, dapat Rp300 juta, nah senang ini, senang. Sertifikat masukkan ke bank dapat Rp300 juta senang. Uang dibawa pulang Rp300 juta, yang Rp150 juta besoknya dibelikan mobil. Hati-hati jangan seperti itu. Iya kan? Biar dilihat tetangga, waduh mobilnya baru. Itu hanya enam bulan, enam bulan, begitu enggak bisa menyicil ke bank, begitu enggak bisa menyicil ke dealer, mobilnya diambil setelah enam bulan. Gantengnya/gagahnya enam bulan, mobilnya diambil ke dealer, sertifikatnya diambil bank karena enggak bisa menyicil. Hati-hati.
Saya titip, kalau dapat berapapun dari bank, Rp300 juta, gunakan semuanya untuk modal kerja, untuk modal usaha, untuk modal investasi. Gunakan semuanya. Kalau ada untung lima juta silakan ditabung, untung tujuh juta tabung alhamdulillah, untung sepuluh juta tabung, dari tabungan itu silakan kalau mau beli sepeda motor, mau beli mobil, mau beli truk, mau beli bus silakan. Tapi jangan dari uang pinjaman, membeli barang-barang kenikmatan seperti itu. Jadi tolong betul-betul dihitung, saya titip, penting sekali ini, karena sering sekali kita kalau sudah pegang uang itu lupa, yang didahulukan beli mobil. Ingat enam bulan, ingat. Iya, sudah saya hitung.
Ini yang hadir di sini yang sudah pegang sertifikat pernah dulu-dulu mengurus pernah ndak? Pernah mengurus sertifikat? Pernah? Ya coba tunjuk jari siapa yang dulu pernah mengurus sertifikat! Tapi dulu-dulu bukan sekarang.
Ada Ibu ndak? Ibu-ibu, sekarang Ibu-ibu yang dulu-dulu mengurus sertifikat, yang dulu-dulu pernah mengurus sertifikat, bukan yang ini lho ya. Ada? Ya silakan maju Bu, sini. Kok semangat banget Ibu tadi begini-begini
Baik, dikenalkan nama, dari mana.
(Dialog Presiden RI dengan Perwakilan Penerima Sertifikat Tanah)
Sinaran Paridi (dari Pamulang Barat)
(Sebelumnya pernah mengurus sertifikat tahun 2014 tapi dua tahun tidak selesai juga, akhirnya mengikuti Program Prona dan berhasil mendapatkan sertifikat. Rencananya sertifikat tersebut akan diagunkan dan uang pinjamannya akan dibelikan mobil untuk nge-Grab. Rencana pinjaman lebih kurang Rp150 juta, sesuai nilai sertifikat tanah, dan akan dicicil setiap bulan dalam waktu 4-5 tahun. )
Presiden Republik Indonesia
4-5 tahun. Nah begini, jadi kalau mau pinjam ke bank itu sudah mengerti kapan akan selesai. Oh saya bisa selesaikan empat tahun, harus dihitung begitu. Jangan tanpa hitung-hitungan tahu-tahu ke bank enggak ada kalkulasi, enggak ada hitung-hitungan, hilang ini nanti barang. Hati-hati, hati-hati. Pak Sinaran ini berarti pakai hitung-hitungan, bagus.
Sudah. Terima kasih. Ibu, sini, kenalin namanya.
Siti Rodiyah (dari Pondok Cabe Ilir)
(Sebelumnya pernah mengurus sertifikat seluas 38 meter persegi pada tahun 2007 tapi selama dua tidak selesai. Kemudian tahun lalu mengurus lagi dan selesai dalam waktu enam bulan. Sertifikatnya rencananya akan disimpan.)
Presiden Republik Indonesia
Baik. Oke terima kasih. Sudah itu saja.
Jangan minta sepeda, tidak boleh. Kalau maju ke panggung itu biasanya kan mikirnya sepeda. Enggak boleh, ini kan mau pemilu ini enggak boleh bagi sepeda. Kalau enggak boleh ya enggak apa-apa, saya senang malah enggak kehabisan sepeda.
Terakhir, Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati, saya ingin titip kepada kita semuanya. Negara kita Indonesia ini adalah negara besar. Kita sering lupa, sering tidak ingat bahwa negara ini adalah negara besar. Penduduk kita sekarang sudah 260 juta. Penduduk Indonesia itu sudah 260 juta, bandingkan misalnya dengan Malaysia. Malaysia itu 24 juta, Indonesia itu 260 juta, sudah. Ini negara besar, 260 juta penduduknya yang hidup di 17.000 pulau yang kita miliki. Pulau ini bukan hanya Pulau Jawa, tapi yang penuh memang penduduknya di Jawa. Di Jawa mungkin sekarang penduduknya sudah hampir 149 juta, di Jawa saja. Tapi ada 17.000 pulau yang lain di negara kita itu, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Dan ada 514 kabupaten dan kota, serta 34 provinsi. Jadi negara ini negara besar sekali.
Kita juga dianugerahi oleh Allah berbeda-beda, beranekaragam, warna-warni, majemuk. Beda suku, beda agama, beda adat, beda tradisi, beda bahasa daerah, beda-beda semuanya. Ini sering kita enggak sadar mengenai itu. Beda suku, beda agama, beda adat, beda tradisi, beda bahasa daerah. Inilah anugerah yang diberikan Allah kepada kita bangsa Indonesia. Ini sudah menjadi sunatullah, sudah menjadi hukum Allah bahwa kita diberikan perbedaan-perbedaan itu.
Oleh sebab itu, saya titip pada kesempatan yang baik ini, marilah kita menjaga/merawat persaudaraan kita, kerukunan kita, persatuan kita. Jangan sampai, ini biasanya gara-gara hal-hal politik, kita itu menjadi tidak rukun ini. Pilihan wali kota, pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan presiden, menjadikan kita tidak rukun. Padahal itu adalah pesta demokrasi yang setiap lima tahun itu ada terus. Ada terus. Pilihan wali kota ya akan ada terus, pilihan bupati di manapun ada terus, pilihan gubernur juga akan ada terus, pilihan presiden juga setiap lima tahun akan ada terus. Jangan sampai itu membuat kita tidak rukun, membuat kita tidak bersatu. Keliru besar kita nanti.
Karena kita ini gampang di kompor-kompori, gampang dipanas-panasi. Coba kalau menjelang tahun politik seperti ini, fitnah di mana-mana, berita bohong di mana-mana, hoaks di mana-mana. Ini berbahaya sekali bagi persatuan, bagi kerukunan kita sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
Saya selalu sampaikan, marilah kita jaga ukhuwah kita, ukhuwah islamiah kita, ukhuwah wathaniyah kita, kita jaga bersama-sama. Karena kalau sudah ada konflik itu menyelesaikannya tidak gampang. Saya berikan contoh, Afghanistan. Saya pernah ke sana tahun yang lalu, ke Afghanistan. Kotanya porak-poranda, hampir setiap hari ada bom. Dua hari sebelum saya ke sana ada bom, saat itu yang menewaskan 103 orang di kota, di Kabul. Sebelum saya turun ke situ juga ada bom lagi yang menewaskan lima orang dan belasan luka-luka. Padahal 40 tahun yang lalu, Kabul, Afghanistan adalah kota yang aman tenteram, aman tenteram. Karena ini adalah negara yang memiliki deposit emas, deposit minyak, deposit gas yang besar. Negara kaya, tapi karena konflik, karena perang, padahal di sana hanya ada tujuh suku. Hanya ada tujuh suku, negara kita ini punya 714 suku. Bayangkan di sana hanya tujuh, kita 714. Gara-gara konflik, satu bawa teman dari luar, satu bawa teman dari luar, perang. 40 tahun enggak rampung.
Apa yang bisa kita petik dari sini? Perang itu menyengsarakan, konflik itu adanya hanya sengsara dan penderitaan. Presidennya Doktor Ashraf Ghani cerita kepada saya, ibu negaranya Ibu Rula Ghani cerita kepada saya, menangis. Cerita pada saya, Presiden Jokowi, 40 tahun yang lalu, ini yang cerita Bu Rula Ghani, 40 tahun yang lalu saya itu bisa menyetir, menyetir di Kabul, menyetir di antarkota, menyetir sendiri. Wanita enggak apa-apa. Tetapi setelah perang, yang cerita ini beliau Ibu Rula Ghani, setelah perang 40 tahun yang paling menderita itu dua: anak-anak, yang kedua wanita. Beliau bercerita seperti itu. Dulu kita bisa menyetir mobil, negara lain banyak yang belum punya mobil, Afghanistan sudah menyetir mobil, sekarang kita mau naik sepeda saja takut, apalagi naik mobil. Naik sepeda saja enggak bisa karena bom ada di mana-mana.
Oleh sebab itu, sekali lagi, saya mengajak kepada kita semuanya, hati-hati yang berkaitan dengan politik. Kejadian-kejadian di negara lain harus kita jadikan cermin, kita jadikan pengalaman.
Saya itu kadang-kadang sedih mendengar antarkampung enggak bicara gara-gara pilihan wali kota, antartetangga enggak saling omong gara-gara pilihan bupati, pilihan gubernur, di satu majelis taklim tidak saling omong gara-gara pilihan presiden. Lho lho lho lho lho. Jangan, rugi besar kita nanti. Wong setiap lima tahun ada kok.
Silakan Bapak-Ibu sekalian, kalau ada pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, ada pilihan A/B/C/D, ya sudah dipilih dari empat orang itu. Dilihat prestasinya apa, dilihat programnya apa, rekam jejaknya seperti apa, ide/gagasannya apa, dilihat itu saja. Enggak usah isu-isu, fitnah, kabar-kabar hoaks, kabar bohong masuk ke sini, kita percayai.
Coba, saya empat tahun lho ini, saya sudah empat tahun, yang menuduh-nuduh fitnah keji kepada saya. Presiden Jokowi itu PKI, dengar enggak? Ada yang dengar, ada yang tidak. Coba, logikanya enggak masuk. Saya itu lahir tahun 61, PKI itu dibubarkan tahun 65/66, umur saya baru empat tahun. Enggak ada bayi PKI itu enggak ada, masih bayi, masih balita saya. Enggak ada balita PKI, itu enggak ada. Sudah sabar empat tahun. Sabar saya, sabar, ya Allah sabar. Saya hanya begitu saja. Sabar, sabar yang lain banyak sekali, coba di gambar ada enggak gambarnya. Ini gambar di medsos kayak begini itu ratusan gambar. Ini gambar, ini yang namanya DN Aidit, yang pidato itu, namanya DN Aidit, dia Ketua PKI. Pidato tahun 1955, pidatonya ini tahun 1955, lho kok saya di dekatnya ada, coba. Coba, kalau Bapak-Ibu gampang percaya seperti, wah iya, langsung begitu bagaimana coba? Lahir juga belum sudah gambar saya bisa ditempelkan kayak begitu. Saya juga lihat-lihat saat diberitahu anak saya, Pak, ini ada gambar kayak begini. Saya lihat-lihat di HP saya, lho kok yang mirip saya begitu. Tapi kan kurang ajar seperti ini, menjengkelkan, tapi sudah empat tahun kayak begini. Sabar, sabar, ya Allah sabar.
Dan isu-isu yang lain banyak sekali mengenai saya itu banyak sekali. Mengenai kriminalisasi ulama, mengenai anti-Islam. Lho lho lho lho, saya itu tiap hari hampir setiap minggu masuk ke pondok pesantren dengan ulama. Hari Santri yang membuat perpresnya juga saya, yang tanda tangan saya, kok dibilang antiulama, anti-Islam? Kan dibolak-balik kayak begitu-begitu kalau kita gampang percaya kemakan, berbahaya sekali. Ini hanya tujuan politik, bukan yang lain-lainnya. Masyarakat jangan diajak ke hal-hal yang tidak logis seperti itu. Untungnya, untungnya masyarakat sekarang ini sudah pintar-pintar, sudah cerdas-cerdas, kalau ndak kebawa pada isu-isu seperti tadi yang saya sampaikan. Tapi ya saya sedih juga, dari survei yang kita lakukan ada sembilan juta lebih yang percaya mengenai isu-isu ini. Sembilan juta itu banyak lho, tapi sembilan juta dari 260 juta ya kecil juga. Tapi sembilan juta itu kan banyak, percaya itu. Tapi yang di sini percaya ndak? Ya berarti enggak masuk yang sembilan juta tadi.
Ini sekali lagi, jadi hal-hal seperti itu jangan sampai memecah belah kita, mengganggu rasa persaudaraan kita, mengganggu rasa persatuan kita, karena kita ini bangsa besar, bangsa besar. Indonesia ini bangsa besar. Sekali lagi, marilah kita jaga persatuan kita, kita jaga kerukunan kita, kita jaga ukhuwah islamiyah kita, kita jaga ukhuwah wathaniyah kita.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan Ibu tadi mana tadi, ke sini lagi, sama Bapak maju lagi sebentar saja. Karena enggak bisa memberi sepeda saya beri foto saja. Ini, sini. Ini lebih mahal dari sepeda karena di sini ada tulisannya Istana Presiden Republik Indonesia, yang mahal itu. Yang lain mau? Tadi kok enggak maju?
Baiklah saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.