Penyerahan Sertifikat Tanah untuk Rakyat, 4 November 2018, di Halaman Mall Alam Sutera, Kota Tangerang, Banten
Bismillahirrahmanirahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat sore,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.
Yang saya hormati Pak Menteri, Pak Gubernur, Pak Wali Kota, serta para bupati yang hadir, Ibu Wali Kota juga,
Bapak-Ibu seluruh penerima sertifikat yang sore hari ini hadir.
Pertama tama, saya ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, karena dua hari ini saya berada di Banten. Tadi malam saya masuk hotel sudah hampir jam sebelas. Tadi pagi habis subuh, setengah enam sudah masuk lagi ke Pasar Anyar di Tangerang. Setelah itu bertubi-tubi acara banyak sekali. Sebetulnya acaranya sudah diatur, tetapi yang lama itu selfie-nya, minta satu-satu. Mundur setengah jam, mundur satu jam, mundur dua jam, mundur-mundur semuanya sehingga. Ya kalau mau selfie seribu orang barengan, jrig, itu tidak apa apa. Satu-satu bagaimana? Selama saya bisa layani ya saya layani, tapi ini tadi sudah saya tinggal tadi. Langsung tidak ada selfie-selfi-an, ini sudah ditunggu pembagian sertifikat. Saya langsung acara terakhir di ICE tadi, karena memang pengaturannya seperti itu.
Kembali ke sertifikat dulu, ini sudah terima sertifikat semuanya? Bisa diangkat tinggi-tinggi? Sebentar, sebentar, sebentar, semuanya sudah. Jangan diturunkan dulu, saya hitung, sebentar saya hitung dulu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,…, 6.000, betul. Ya memang hari ini yang diserahkan 6.000, tetapi nanti yang diserahkan oleh Pak Wali Kota, Bu Wali Kota, Pak Bupati, Ibu Bupati itu juga akan diserahkan di waktu yang lain, di tempat yang lain. Karena memang tahun yang lalu target kita lima juta, terlampaui. Tahun ini target kita tujuh juta sertifikat harus diserahkan kepada masyarakat. Biasanya setahun itu di seluruh tanah air Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, hanya 500-600 ribu, sehingga ini loncatannya hampir 12 kali lipat. Kalau tujuh juta tahun ini, tahun depan target kita sembilan juta.
Apa yang ingin saya sampaikan, kenapa tahun yang lalu lima juta, tahun ini tujuh juta, tahun depan sembilan juta? Karena setiap saya ke kampung, setiap saya ke desa, setiap saya ke daerah, ke provinsi, ke kota, ke kabupaten, mendengarkan keluhan yang paling banyak itu adalah sengketa lahan, sengketa tanah. Karena rakyat belum memegang yang namanya tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki. Punya tanah tapi tidak punya sertifikat, ya ini yang sering sengketa di situ.
Oleh sebab itu, mulai 2016 yang lalu saya perintahkan ke Pak Menteri ATR/Kepala BPN agar seluruh bidang tanah yang ada di tanah air ini segera disertifikatkan dan saya beri target. Kerja sekarang memang harus dengan target. Di seluruh tanah air semuanya yang harus disertifikatkan itu 126 juta sertifikat. Tetapi yang jadi sampai 2014 yang lalu baru 46 juta. Oleh sebab itu, masih kurang 80 juta sertifikat seperti ini di seluruh tanah air. Kalau setahun kita hanya bisa membuat sertifikat di kantor BPN 500 ribu, artinya Bapak-Ibu harus menunggu 160 tahun. Mau? Mau? Yang mau silakan maju saya beri sepeda. Tapi menunggu sertifikatnya 160 tahun, mau tidak? Maju silakan, silakan maju. Mau 160 tahun? Tidak akan ada yang mau.
Inilah kenapa ada percepatan proses penyertifikatan tanah atau lahan. Gunanya agar sengketa lahan/sengketa tanah itu bisa kita hilangkan, kita kurangi. Sedih kalau saya sudah dengar sengketa tanah, kemudian sampai ke pengadilan. Ramai antartetangga, ramai antara rakyat dengan pemerintah, misalnya pembebasan jalan, ramai antara rakyat dengan perusahaan. Tidak hanya di Jawa, di Sumatra, Kalimantan, sampai Papua, NTT, NTB, Maluku semuanya sama, yang namanya sengketa lahan di mana-mana. Orang kalau sudah urusan tanah itu sudah nekat, benar tidak? Mau tanah sudah dipakai 20, 30, 40 tahun kok ada yang mengklaim, itu tanah saya. Tapi kalau Bapak-lbu sudah pegang yang namanya sertifikat, orang lain mau klaim, ini tanah saya, tidak bisa, ini sertifikatnya ada, namanya ada di sini. Nama ada, alamat di sini ada, desanya mana, luas tanah ada di sini, sudah mau apa? Kalau sudah pegang tanda bukti hak hukum atas tanah, sudah yang namanya sengketa itu sudah akan hilang insyaallah nantinya.
Yang kedua, saya titip kalau sudah dapat sertifikat masukkan ke plastik seperti ini. Sudah ada plastiknya semua? Jangan lupa sampai di rumah difotokopi. Satu ditaruh di laci lemari yang satu, satu yang fotokopian ditaruh di lemari yang lain. Kalau hilang bisa mengurus ke kantor BPN. Tapi jangan sampai hilang, kalau hilang ada fotokopinya. Hati-hati. Jadi difotokopi.
Yang ketiga saya titip, ini kalau sudah pegang sertifikat biasanya ingin disekolahkan. Benar tidak? Ngaku, siapa yang mau menyekolahkan? Oh, banyak sekali, ya sudah. Di provinsi yang lain juga sama, di kota yang lain juga sama. Tidak apa-apa, silakan Bapak-Ibu pakai sertifikat ini untuk agunan, silakan Bapak-Ibu pakai untuk jaminan ke bank, silakan. Saya hanya titip tapi gunakanlah uangnya untuk hal-hal produktif. Misalnya, tanahnya agak gede, masukkan ke bank dapat Rp300 juta, dapat Rp300 juta. Yang Rp150 juta dipakai untuk beli mobil, biar gagah. Beli mobil Rp150 juta gagah, muter-muter kampung. Enam bulan, itu hanya enam bulan, sertifikatnya di bank hilang, mobilnya juga diambil sama dealer.
Jadi kalau pinjam uang di bank saya titip hati-hati, dihitung, dikalkulasi, bisa mengangsur tidak? Bisa menyicilnya tidak? Dihitung, kalau tidak, tidak usah. Kalau dapat Rp300 juta, gunakan seluruhnya untuk modal usaha, gunakan seluruhnya untuk modal investasi, gunakan seluruhnya untuk modal kerja semuanya. Kalau untung, untung Rp5 juta tabung, untung Rp10 juta tabung, untung Rp7 juta tabung. Kalau sudah cukup mau beli mobil silakan, tapi dari keuntungan bukan dari uang pinjamanya, saya titip ini. Jangan sampai nanti sudah dapat sertifikat, 30-40 tahun tidak pegang sertifikat, begitu pegang senang, terus pergi ke bank, dapat Rp300 juta senang lagi, yang Rp150 juta untuk beli mobil. Sertifikat hilang, mobil hilang. Hati-hati, saya titip ini. Titip.
Yang terakhir Bapak-Ibu sekalian, ini di luar urusan sertifikat. Saya ingin mengingatkan pada kita semuanya, bahwa negara kita ini adalah negara besar. Penduduk kita sekarang sudah 263 juta, yang tersebar di 17 ribu pulau, 514 kabupaten dan kota, 34 provinsi. Saya hanya ingin mengingatkan, negara kita ini negara besar tapi beragam, tapi bermacam-macam, tapi warna-warni, tapi berbeda-beda. Beda suku, beda agama, beda adat, beda tradisi, beda bahasa daerah, beda-beda semuanya.
Saya bisa melihat karena saya pernah, kalau provinsi semua provinsi saya pernah. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, pernah semuanya. Kabupaten/kota saya mungkin hampir sudah 80 persen saya datangi semuanya. Bahasa ini beda-beda semuanya bahasa daerah, tradisi berbeda-beda, agama berbeda-beda.
Apa yang ingin saya sampaikan? Marilah kita menjaga persatuan kita, persaudaraan kita, kerukunan kita, karena aset terbesar bangsa ini adalah persatuan. Aset terbesar bangsa ini adalah persatuan. Jangan sampai karena beda agama, karena beda suku, karena beda tradisi kita menjadi kelihatan tidak rukun atau terpecah, jangan sampai. Ini memang dimulai gara-gara urusan politik, pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden. Saya harus ngomong apa adanya, dimulai dari sana. Padahal yang namanya pilkada, yang namanya pilpres, itu setiap lima tahun ada. Apa mau kita terus-teruskan kita seperti ramai terus-terus, terutama di media sosial?
Jangan sampai terpengaruh oleh media sosial, oleh pengaruh-pengaruh politik yang tak beretika, yang tidak punya tata krama. Karena politik itu sebenarnya sangat luhur, sangat baik, tapi harus ada adabnya, ada etikanya, ada sopan santun kita berpolitik, ada tata krama kita berpolitik. Sekarang ini tidak.
Oleh sebab itu saya titip, masyarakat jangan terpengaruh. Mau pilihan gubernur, silakan pilih A, pilih B, pilih C, silakan, yang paling baik dipilih. Ada pilihan bupati, silakan pilih, tapi enggak usah, jangan sampai antartetangga tidak rukun gara-gara pilihan bupati, pilihan gubernur, antarkampung tidak rukun gara-gara pilhan presiden. Itu setiap lima tahun ada. Hati-hati ini, banyak yang terpengaruh.
Berbahaya sekali bangsa ini kalau kita masih terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik. Berita bohong, ujaran kebencian, saling mencela, saling menghujat di media sosial. Coba Bapak-Ibu lihat, berbahaya sekali. Silakan pilih, mau pilpres, mau pilkada, silakan pilih pemimpin yang paling baik, tapi dilihat, pas adu program lihat, pas adu visi misi lihat, pas adu gagasan lihat, pas adu ide lihat, rekam jejaknya dilihat. Pernah melakukan apa, pernah berbuat apa. Adu prestasi, prestasinya juga dilihat, pernah berprestasi apa? Sudah gampang, pilih sudah. Jangan sampai di dalam satu majelis taklim ada yang tidak saling sapa gara-gara pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan presiden. Setuju tidak? Setuju tidak? Hati hati.
Coba Bapak-Ibu lihat di media sosial, banyak sekali (isu) Presiden Jokowi itu PKI. Coba, coba dilihat Presiden Jokowi itu PKI. Lho, lho, lho, astagfirullah. PKI itu dibubarkan tahun 65-66, saya lahir tahun 61, umur saya baru empat tahun. Ada PKI balita? Ada PKI balita? Ada-ada saja. Itu malah di media sosial coba lihat media sosial, Ketua PKI namanya DN Aidit tahun 1955 itu pidato. Dia pidato, ini Ketua PKI DN Aidit pidato, kok di bawahnya ada saya? Coba, gambar seperti ini ribuan banyaknya, berbeda-beda. Saya lihat-lihat, saya waktu lihat di media sosial saya lihat, lho kok ya wajah saya gitu lho. Padahal saya lahir saja belum, saya lahir 61 pidatonya 55.
Fitnah yang seperti ini kalau rakyat percaya berbahaya sekali. Dan memang ada 6 persen yang percaya, 6 persen percaya. Enam persen itu sembilan juta lebih lho, percaya. Saya empat tahun sabar, saya tahu, tapi sabar, sabar, sabar. Tapi sudah empat tahun kok tidak rampung-rampung, ya saya jawab sekarang. Saya jawab, kalau tidak saya jawab nanti repot. Jadi fitnah-fitnah seperti ini jangan sampai termakan oleh masyarakat, ya saya jawab.
Ganti lagi, oh bukan (Presiden Jokowi), Bapak-Ibunya, ganti lagi kakek-neneknya. Ya gampang, sekarang ini zaman keterbukaan, di Solo itu ada Muhammadiyah, ada NU, ada Persis, ada LDII, ada MTA, ada FPI, ada Al Irsyad, ada semuanya, tanya saja di masjid di dekat orang tua saya. Tanya saja di masjid dekat kakek-nenek saya almarhum. Gampang mengeceknya. Sulit-sulit sih? Logika seperti itu harus kita pakai, kalau tidak kemakan isu-isu murahan seperti itu. Ini baru satu yang saya ceritakan, bisa seribu yang bisa saya ceritakan kayak begitu-gitu. Banyak sekali isu-isunya, tapi ya sabar, begitu saja. Tapi kalau sudah mentok, ya saya kadang-kadang juga manusia biasa, mentok ya saya sampaikan.
Saya rasa itu Bapak-Ibu sekalian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, gunakanlah sertifikat ini untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga Bapak-Ibu sekalian.
Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.