Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat, 9 November 2018, di Gelanggang Olahraga Tri Sanja, Tegal, Jawa Tengah

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 9 November 2018
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.479 Kali

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu was salamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja, Koordinator Staf Kepresidenan, Pak Wakil Gubernur, Ibu Bupati Tegal,
Yang saya hormati Bapak-Ibu sekalian seluruh warga Kabupaten Tegal yang pagi hari ini telah menerima sertifikat.

Coba diangkat tinggi-tinggi sertifikatnya. Sudah diterima belum? Sebentar, jangan diturunkan dulu, mau saya hitung. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, …, 3.000, betul. 3.000 sertifikat pagi hari ini sudah diterima oleh Bapak-Ibu sekalian, tetapi di Kabupaten Tegal tahun ini akan diberikan totalnya 45.000 sertifikat. Sudah dan akan diberikan. Tahun depan targetnya 60.000 sertifikat harus diberikan di Tegal ini. Dan akan kita rampungkan, tadi sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Menteri ATR/Kepala BPN, tahun 2023 semuanya sudah disertifikatkan di Kabupaten Tegal ini.

Bapak-Ibu sekalian,
Setiap saya datang ke desa, ke kampung, ke kabupaten, ke kota, ke provinsi baik di Jawa, di Sumatra, di Kalimantan, di Sulawesi, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, di Papua, apa yang sering saya dengar? Apa yang sering saya dengar? Sengketa tanah, sengketa lahan antara tetangga dengan tetangga, antara saudara, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan BUMN, dan rakyat sering kalah. Kenapa? Karena apa? Enggak pegang yang namanya sertifikat. Kalah karena enggak pegang sertifikat.

Karena kita tahu, sertifikat adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Bapak-Ibu punya tanah tapi enggak ada sertifikat, begitu sengketa, masuk pengadilan, bisa kalah. Tapi kalau sudah yang namanya pegang sertifikat tanda bukti hak hukum atas tanah, enak banget. Dan saya kira kalau kita sudah pegang begini, sudah tidak ada yang berani. Kalau ada yang berani, misalnya ada yang berani, “ini tanah saya,” Bapak-Ibu enak saja, “bukti mu mana? Ini tanda bukti ku ini.” Nggih mboten? Nggih mboten? Enak, sudah, “ini buktinya, namanya di sini.” Di sertifikat itu ada nama, nama di sini ada, jelas. Nama pemegang hak di sini ada, desanya di mana ada, luasnya di bawah sini ada semuanya. Ada semuanya, sudah.

Dan di negara kita Indonesia ini masih ada kurang lebih 80 juta bidang tanah yang belum bersertifikat, artinya banyak sekali sengketa. Oleh sebab itu, saya telah perintah mulai tahun yang lalu kepada Menteri ATR/Kepala BPN, biasanya setahun itu ming 500.000 keluar sertifikat, tahun kemarin saya sudah perintah harus keluar lima juta sertifikat. Dan alhamdulillah, akhir tahun selesai lima juta sertifikat. Tahun ini target saya tujuh juta sertifikat harus keluar dari kantor BPN. Tahun depan targetnya sembilan juta sertifikat harus keluar. Untuk apa? Untuk apa? Supaya masyarakat pegang tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki. Jangan sampai kebanyakan sengketa sana, sengketa sini. Kalau sudah sengketa tanah, sengketa lahan, sudah mesakaken. Banyak yang nangis-nangis ke saya sengketa lahan tapi saya tidak bisa apa-apa. Apalagi sudah masuk pengadilan, tidak bisa yang namanya presiden itu intervensi, enggak bisa. Jadi kalau Bapak-Ibu sudah pegang ini ayem mboten? Seneng mboten? Remen mboten? Siapa yang tidak senang tunjuk jari! Maju! Saya beri sepeda. Siapa? Ada yang dapat sertifikat tidak senang?

Yang kedua, saya titip kalau sudah dapat sertifikat tolong diberi plastik seperti ini. Supaya kalau gentengnya bocor, kehujanan enggak rusak. Yang kedua, tolong difotokopi, difotokopi. Biar kalau yang asli mungkin hilang masih punya fotokopinya, bisa mengurus ke kantor BPN lagi. Nggih? Setuju mboten? Yang ketiga, ini biasanya kalau sudah pegang sertifikat inginnya disekolahkan, nggih mboten? Ingin disekolahkan enggak apa-apa, enggak apa-apa dipakai untuk jaminan ke bank enggak apa-apa, dipakai untuk agunan ke bank juga enggak apa-apa, tetapi saya pesan agar sebelum pinjam ke bank itu dihitung dulu, di kalkulasi dulu bisa mengangsur mboten, bisa menyicil mboten, dicek, dihitung. Kalau kira-kira tidak bisa mengangsur, tidak bisa menyicil tidak usah pinjam ke bank, jangan pinjam ke bank. Kalau memang bisa menyicil, bisa mengangsur, dihitung betul, enggak apa-apa, untuk memperbesar usaha enggak apa-apa.

Tapi kalau pinjam di bank saya titip, ini saya titip, masukkan ini ke bank, dapat Rp30 juta, pulang, “wah dapat Rp30 juta,” yang Rp15 juta untuk beli sepeda motor, ini hati-hati. Hati-hati, jangan sampai seperti itu. Nanti, iya kan, naik sepeda motor muter-muter kampung gagah, nggih mboten? Senang, niku ming enam bulan, hanya enam bulan, karena setelah enam bulan enggak bisa menyicil ke dealer, enggak bisa menyicil ke bank, sertifikatnya hilang, sepeda motornya ditarik dealer, nah baru bingung. Hati-hati, pinjam ke bank itu dihitung, pinjam ke bank itu dikalkulasi. Saya titip, ini saya titip, kalau pinjam ke bank dapat Rp30 juta gunakan semuanya untuk modal kerja, gunakan semuanya untuk modal usaha, gunakan semuanya untuk modal investasi. Kalau ada untung Rp1 juta tabung, untung Rp2 juta tabung, untung Rp500.000 tabung. Kalau sudah ngumpul silakan mau beli rumah baru silakan, mau beli sepeda motor silakan, mau beli mobil silakan tapi jangan dari uang pokok pinjamannya. Hati-hati, saya titip itu saja.

Yang terakhir Bapak-Ibu sekalian,
Saya ingin mengingatkan kepada kita semuanya bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang besar. Penduduk kita sekarang sudah 263 juta, 263 juta. Dan kita ini dianugerahi oleh Allah SWT perbedaan-perbedaan, berbeda-beda, warna-warni, benten-benten. Beda suku, beda agama, beda adat, beda tradisi, beda bahasa daerah, beda-beda semuanya. Kita memiliki 714 suku, banyak sekali suku di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, banyak sekali, 714 suku. Bahasa daerahnya benten-benten, beda beda. Ada 1.100 lebih bahasa daerah kita. Saya titip, aset terbesar bangsa ini, modal terbesar bangsa ini adalah persatuan, adalah persaudaraan, adalah kerukunan.

Oleh sebab itu, jangan sampai, saya titip jangan sampai karena pilihan bupati, karena pilihan gubernur, karena pilihan presiden ada yang tidak saling sapa dengan tetangganya, ada yang tidak saling sapa antarkampung, antardesa, tidak rukun antarkampung. Jangan sampai terjadi seperti itu di Kabupaten Tegal, di Provinsi Jawa Tengah. Setuju mboten? Panjenengan nggih, kalau pas ada pilih bupati ya pilih mawon yang sing paling sae sinten, pilih mpun, kalih tetonggo bedo pilihan enggak apa-apa, rukun lagi. Di majelis taklim ada yang berbeda pilihan enggak saling ngomong, meneng-menengan, ampun, enggak boleh seperti itu.

Kita harus menjaga ukhuwah islamiah kita, kita harus menjaga ukhuwah wathaniyah kita. Kita ini semuanya adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Jangan sampai tidak rukun, tidak bersatu, menjadi pecah gara-gara pilihan presiden, pilihan gubernur, pilihan bupati. Jangan sampai! Rugi besar kita ini. Karena apa? Setiap lima tahun itu ada pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan presiden, ada terus, pilihan wali kota ada terus. Opo ajeng padudon terus? Kan, nggih mboten? Setuju mboten? Setuju mboten? Jangan sampai seperti itu.

Apalagi sekarang ini, sekarang ini banyak politikus yang pandai mempengaruhi, yang tidak pakai etika politik yang baik, tidak pakai sopan santun politik yang baik. Coba kita lihat, politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, membuat kekhawatiran, propaganda ketakutan, coba. Setelah takut yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat menjadi, “lho kok.” Memang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga menjadi ragu-ragu masyarakat, “benar enggak ya, benar enggak ya?” Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Membuat ketakutan. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Enggak benar kan? Niku sing sering saya sampaikan, itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti, politik genderuwo. Nek wong jowo nopo? Genderuwo kan? Genderuwo nggih? Mriki nggih? Ya nggih. Gandaruwo? Nggih, pokoke gandaruwo keno, genderuwo keno. Ning politik sing meden-medeni niku lho. Jangan sampai seperti itu.

Wong masyarakat ini senang-senang semua kok dimeden-medeni, nggih mboten? Masyarakat senang-senang kok diberikan propaganda ketakutan? Berbahaya sekali. Yang di sini tadi saya lihat saya masuk semuanya senang-senang semuanya. Nggih mboten? Seneng mboten nampi niki? Jangan sampai propaganda ketakutan, menciptakan suasana ketidakpastian, menciptakan munculnya keragu-raguan.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Menteri ATR/Kepala BPN, Kanwil BPN kantor BPN, Ibu Bupati yang telah membantu semuanya terlaksana sehingga sertifikat ini bisa sampai kepada Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semuanya.

Saya rasa itu yang bisa sampaikan.
Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru