Peran Perempuan Mencegah Terorisme

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 20 April 2022
Kategori: Opini
Dibaca: 3.990 Kali

Farid Budi PrabowoOleh: Farid Budi Prabowo

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan aksi terorisme yang menempatkan perempuan sebagai pelaku teror. Selain pertimbangan taktis, perempuan juga memiliki fungsi strategis sehingga potensial dimanfaatkan kelompok ekstremis. Peringatan Hari Kartini merupakan momentum yang tepat, agar selain menjadi selebrasi emansipasi, kita perlu berefleksi bagaimana menciptakan resiliensi agar para perempuan Indonesia memiliki kekebalan tinggi dari penetrasi radikalisasi
.

Bulan April selalu identik dengan Kartini, figur kusuma bangsa yang dinobatkan sebagai ikon pejuang emansipasi nasional. Mungkin RM Sosroningrat tak pernah menyangka, bila putri kelimanya yang lahir pada tanggal 21 April 1879 kemudian akan tumbuh menjadi cendekiawan perempuan, yang mampu memanfaatkan privilege-nya sebagai ningrat, sehingga tumbuh daya nalar kritisnya saat melihat ketimpangan hak rakyat, terutama yang dialami perempuan pribumi. Kegelisahan sang putri Bupati Jepara, yang digoreskan pada sejumlah lembaran surat untuk Rosa Abendanon kemudian gayung bersambut dengan gejolak politik etis yang tengah melanda Negeri Oranye kala itu. Untaian kalimat yang ditorehkan Kartini dari jeritan hati, yang kemudian terdokumentasi menjadi karya monumental Door duisternis tot licht atau lebih dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebagai wujud apresiasi atas perjuangan Ibu Kartini, pascaproklamasi kemerdekaan ditetapkanlah beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Hampir 60 tahun pasca ditetapkannya Kartini sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 108 Tahun 1964, emansipasi telah menunjukkan sejumlah kemajuan, di antaranya dengan terpilihnya Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke-5 yang menjabat pada tahun 2001-2004. Pun demikian dengan lembaga legislatif, dari total 575 orang anggota DPR periode 2019-2024, 118 orang atau 21 persen di antaranya merupakan perempuan. Bahkan, hingga tahun 2021 di ranah birokrasi jumlah perempuan justru mendominasi dengan jumlah sebanyak 52 persen dari jumlah total 4.283.850 orang PNS di Indonesia. Capaian ini tentu sangat kontras dengan situasi yang dihadapi era Kartini, saat perempuan masih dianggap sebagai obyek budaya paternalistik, sehingga hanya menjadi konco wingking yang tugasnya terbatas di dapur, sumur, dan kasur.

Gagasan Kartini telah melintas batas ruang dan waktu. Ekualitas gender kini tidak hanya menjadi domain sektor formal, namun juga merambah pada extraordinary crime seperti kejahatan terorisme. Pelaku serangan yang identik dengan maskulinitas, kini mulai dijajaki kaum perempuan. Salah satu contohnya adalah serangan lone wolf Zakiah Aini ke Mabes Polri. Terlepas dari ada tidaknya unsur pengaruh emansipasi, transformasi perempuan dalam serangan teror menunjukkan bahwa kaum hawa – yang selalu diasumsikan sebagai figur yang penuh kelembutan dan kasih sayang – ternyata dapat dimanfaatkan oleh kelompok radikal menjadi kejam dan hilang akal.

Mengapa para perempuan mampu berbuat sesuatu yang seolah menyalahi kodrat mereka? Setidaknya ada tiga alasan yang membuat mereka bertransformasi dari “fitrahnya” yang manis menjadi sadis. Pertama, sebagai akibat kondisi pribadi yang tersubordinasi. Milda Istiqomah (2021) mencontohkan black widow di Rusia pascakejadian Moscow Theater Hostage tahun 2002, di mana banyak perempuan melakukan aksi bom bunuh diri akibat kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami.

Faktor berikutnya bersifat ideologis. Taufik Andrie (2021) menjelaskan, dorongan faktor pribadi perempuan tersebut kemudian diperkuat dengan doktrin bahwa mereka juga memiliki kewajiban jihad. Berikutnya, kelompok radikal sengaja memanfaatkan perempuan sebagai taktik, sehingga faktor keterlibatan perempuan merupakan bagian dari strategi serangan dan propaganda. Menurut Muhammad Syauqillah (2021), perempuan yang membawa bom tidak akan dicurigai aparat, sehingga memudahkan pelaku mencapai target serangan.

Namun demikian, di samping potensi untuk terlibat dalam paham ekstrem, seorang ibu melalui peran tradisional juga dapat melakukan peran sebaliknya: memutus mata rantai kekerasan. Melalui studinya pada sejumlah perempuan yang terlibat pada jaringan teroris di Poso, Azca dan Putri (2021) menyimpulkan bahwa ibu dapat membentengi dirinya dari arus propaganda yang beredar kuat di wilayah konflik, sehingga anak-anaknya terbebas dari ideologi radikal. Sejumlah ibu ternyata mampu menetralisir narasi dan propaganda yang beredar cukup deras di sebuah episenter konflik, sehingga anak-anaknya menjadi lebih toleran dan moderat. Upaya tersebut dilakukan dengan cara membuka dialog secara intensif dan membawa anak-anak ke dalam pergaulan yang lebih inklusif.

Jika pola peran ini dapat dilakukan di daerah kondusif terhadap kekerasan, maka seharusnya upaya serupa – bahkan lebih progresif – tentu dapat dilakukan mereka yang tinggal di lingkungan yang damai dan bebas konflik. Ketahanan sebuah keluarga, di lingkungan manapun mereka tinggal, sangat bergantung dari bagaimana seorang ibu melakukan filter atas norma dan nilai dari luar, untuk kemudian ditransfer melalui narasi lisan dan contoh perbuatan kepada anak-anaknya. Seorang ibu adalah lensa bagi anak-anaknya dalam melihat dunia, oleh karenanya harmoni sosial atas masyarakat yang ber-bhineka tunggal ika harus ditanamkan kepada buah hati mereka melalui pesan-persan perdamaian untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Pemerintah menyadari bahwa ancaman ekstremisme berbasis kekerasan semakin meningkat, sehingga menciptakan kondisi yang dapat mengancam rasa aman masyarakat dan stabilitas keamanan nasional. Hal itulah kemudian yang mendasari dirumuskannya Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020-2024, yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021.

Sebagai strategi komprehensif, sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat, RAN PE dituangkan ke dalam tiga pilar. Ketiga pilar tersebut adalah (1) Pencegahan, yang meliputi kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi; (2) Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban, dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional; serta (3) Kemitraan dan Kerja Sama Internasional. Dari jumlah total 46 strategi yang dirumuskan dalam RAN PE, lima di antaranya menempatkan perempuan sebagai aktor yang dilibatkan dalam penanggulangan ekstremisme, di antaranya pada strategi peningkatan kapasitas komunitas perempuan dan partisipasi tokoh perempuan dalam merespons ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Dengan pelibatan perempuan tersebut, diharapkan implementasi RAN PE ini dapat menjangkau para ibu yang memiliki peran vital sebagai navigator sosial, sehingga memiliki kapasitas yang memadai dalam membentengi keluarga dari pengaruh radikalisasi.

Meskipun bukan satu-satunya figur yang menentukan dalam penyebaran paham radikal, perempuan memiliki peran kunci, baik dalam membangun narasi positif serta pandangan inklusif sebagai penangkal dan penetralisir narasi kebencian guna memutus mata rantai ekstremisme. Resiliensi yang tercipta pada perempuan akan memberikan dampak ganda: mencegah potensi terjerumusnya perempuan ke dalam lingkaran ekstremisme, sekaligus membekali mereka melakukan peran yang menjadi fitrah seorang ibu, sehingga mampu berperan melakukan deteksi dini atas indikasi radikalisme anak-anak dan suami di level keluarga.

Dalam Peringatan Hari Kartini ini, penting bagi kita untuk mengenang jasa-jasa Sang Pejuang Emansipasi, sekaligus mensyukuri betapa para perempuan telah memiliki banyak kesetaraan dengan laki-laki dibandingkan dengan kondisi pada abad ke-19. Namun, selain terus melanjutkan mimpi-mimpi Ibu Kartini dengan mempertahankan ekualitas gender, kita juga perlu mewaspadai bahaya laten terorisme melalui kesadaran atas peran strategis perempuan sebagai ibu dalam menciptakan normative support structure bagi keluarganya. Emansipasi, selain membuka ruang aktualisasi bagi perempuan, juga harus disertai upaya menciptakan generasi calon ibu yang imun terhadap potensi infeksi radikalisasi. Dengan melindungi para ibu dari paparan ekstremisme, kita telah menyelamatkan generasi penerus dari jebakan kejahatan terorisme.

Selamat Hari Kartini!

*Kepala Subbidang Keamanan, pada Kedeputian Bidang Polhukam, Sekretariat Kabinet.

Opini Terbaru