Perayaan Cap Go Meh dan Lukisan Sudjojono

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 22 Februari 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 51.083 Kali

kukuhOleh: Dr. Kukuh Pamuji[1]

Sudjojono adalah seorang tokoh penting dalam babak baru perjalanan seni rupa Indonesia. Melalui kelompok Persagi yang didirikannya dia berusaha untuk menembus sikap diskriminatif para pelukis Belanda dan sebagian Cina yang menganggap bahwa  pelukis Indonesia lebih baik menanam padi saja daripada melukis. Dengan pernyataan yang diskriminatif tersebut, Persagi mencari cara untuk dapat menunjukkan keberadaannya.

Memasuki dekade ke-4 abad ke-20, di Hindia Belanda muncul arus perubahan sosial yang dimotori oleh para pribumi terpelajar. Dalam proses pendidikan yang mereka lalui, terjadi proses terbukanya ide-ide Barat. Faham nasionalisme dan sosialisme yang mereka pelajari kemudian menjadi penggugah kesadaran politik mereka.

Minat para pelajar Indonesia yang begitu besar pada faham sosialisme yang mengedepankan kemerdekaan dan persamaan derajat, dapat terlihat  pada diri Sudjojono sebagai tokoh penggerak seni lukis Indonesia baru yang termuat dalam tulisan-tulisan yang dibuatnya.

Pelukis pribumi tumbuh dari orang-orang yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), tamatan Sekolah Menengah Atas Algemene Middelbare School (AMS) dan Sekolah Guru Bantu Hollandsche Indische Kweekschool (HIK). Mereka umumnya mengerti bahasa Belanda, mendapat pengenalan  menggambar, dan memiliki bakat seni lukis.

Sejak munculnya Boedi Oetomo, pergerakan nasional pada tahun 1930-an telah  mencapai tahap matang. Di antara pergerakan-pergerakan yang bersifat sosial politik, terdapat tonggak-tonggak nasionalisme yang terwujud melalui kesadaran kebudayaan. Tonggak-tonggak dimaksud antara lain adalah dengan dilaksanakannya Konggres Kebudayaan (1919), berdirinya Perguruan Tamansiswa (1922), Sumpah Pemuda (1928), dan munculnya Pujangga Baru (1933), serta Polemik Kebudayaan (1935 – 1939).

 Pada tahun 1938, di tengah-tengah Polemik Kebudayaan itu lahir Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang merupakan organisasi pelukis pribumi pertama di Hindia Belanda yang diketuai oleh Sudjojono. Perkumpulan pelukis ini berupaya untuk menciptakan estetika baru yang berlandaskan semangat nasionalisme.

Pencarian  estetika baru yang nasionalistik itu dirumuskan Sudjojono sebagai sebuah tuntutan sikap moral yang peka terhadap segala bentuk ketidakadilan dan kepedulian yang tengah terjadi pada bangsa dan tanah air.

Pencarian format budaya baru dengan latar belakang kesadaran nasional juga mempengaruhi dunia seni lukis. Sudjojono sebagai ketua Persagi ingin mengembangkan seni lukis Indonesia dengan mencari corak Indonesia baru, yang  mengungkapkan corak watak bangsa.

Menurut Sudjojono, lukisan-lukisan Indonesia pada saat itu belum mempunyai corak Indonesia. Corak dan gaya seni lukis yang ada pada waktu itu masih dalam tahap perubahan yang semu (pseudo-morphose) karena masih begitu melekatnya kultur Barat yang sangat kental.

Gagasan Sudjojono sendiri merupakan suatu bentuk sikap perlawanan kepada faham feodalisme dan eksotisme yang dianut oleh para pelukis Hindia molek (Mooi Indie). Istilah Mooi Indie pada awalnya dipakai untuk memberi judul reproduksi sebelas lukisan pemandangan cat air Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portfolio di Amsterdam tahun 1930.

Istilah Mooi Indie menjadi populer semenjak Sudjojono menggunakannya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Dalam pandangan Sudjojono lukisan-lukisan pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga, tenang dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie (Hindia Belanda yang Indah).

Untuk menghasilkan seni lukis yang baru, Sudjojono dengan “Persagi” nya tidak mau terjebak untuk melukis pemandangan atau model wanita cantik di studio. Mereka memiliki keyakinan bahwa dalam proses melukis, seniman harus berinteraksi langsung atau lewat objek on the spot. Mereka harus mengungkapkan perasaannya terhadap karakter objek, bersikap sederhana dan jujur dalam mengungkapkan objek yang dilukisnya. Keyakinan itu sejalan dengan pendapat Sudjojono bahwa mewujudkan kesenian sama dengan memperlihatkan jiwa ketok atau katon (terlihat).

Melalui Lukisan yang dibuatnya, Sudjojono seakan mengajak kita untuk dapat memahami kegelisahannya dalam menyelami realitas kehidupan. Lukisan ’Cap Go Meh’  misalnya, menunjukkan gaya ekspresionis yang begitu nyata. Lukisan itu menggambarkan kegembiraan yang absurd pada perayaan tahun baru Cina. Lukisan yang dibuat pada tahun 1940 itu, memperlihatkan kemeriahan yang absurd.

Karya itu memancarkan sebuah ironi, apalagi dibuat pada masa tekanan politik makin radikal dari pemerintah  Belanda  kepada  para  nasionalis. Di samping itu, terdapat pula suasana sulit dan depresi. Untuk itu, kemeriahan Cap Go Meh juga dapat dibaca sebagai sebuah ekspresi “euforia” pada kedatangan Jepang yang diharapkan akan membawa negeri ini bebas dari penjajahan.

Kalau kita runut, Cap Go Meh melambangkan hari kelima belas bulan pertama imlek yang merupakan hari terakhir dari rangkaian perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar China. Istilah Cap Go Meh sendiri berasal dari dialek Hokkien yang bila diartikan secara harafiah bermakna 15 hari/malam setelah Imlek. Bila dipenggal per kata, Cap mempunyai arti sepuluh, Go adalah lima, dan Meh berarti malam.

Cap Go Meh juga sering disebut Yuan Hsiao Cieh atau Shang Yuan Cieh dalam bahasa Mandarin. Perayaan yang awalnya merupakan sebuah hari penghormatan kepada Dewa Thai-yi, (dewa tertinggi di langit) oleh Dinasti Han (206 SM – 221 M), dirayakan secara rutin setiap tahunnya pada tanggal 15 bulan pertama menurut penanggalan bulan yang merupakan bulan pertama dalam setahun.

Upacara ini dahulu terbatas hanya untuk kalangan istana dan belum dikenal secara umum oleh masyarakat China. Karena harus dilakukan pada malam hari, maka perlu disiapkan penerangan dengan lampu-lampu dari senja hari hingga keesokan harinya. Inilah yang kemudian menjadi lampion-lampion dan lampu-lampu berwarna-warni yang menjadi pelengkap utama dalam perayaan Cap Go Meh.

Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, perayaan ini menjadi lebih terbuka untuk umum. Saat China dalam masa pemerintahan Dinasti Tang, perayaan ini juga dirayakan oleh masyarakat umum secara luas. Festival ini adalah sebuah festival dimana masyarakat diperbolehkan untuk bersenang-senang. Saat malam tiba, masyarakat akan turun ke jalan dengan berbagai lampion berbagai bentuk yang telah diberi variasi.

Dalam Lukisan Cap Go Meh yang dibuatnya, Sudjojono menggambarkan sebuah perayaan yang sangat meriah. Wajah-wajah penuh suka cita yang ditunjukkan oleh orang-orang bertopeng dan sebagian lagi tidak, memberikan kesan kepada kita bahwa sekilas kita tidak akan menyangka bahwa lukisan itu menggambarkan perayaan Tionghoa. Di sana kita tidak menemukan piranti yang terkait dengan imlek.  Unsur-unsur seperti lampion, liong, dan warna-warna merah serta warna emas juga tidak tampak, tidak juga mata-mata sipit. Yang ada hanyalah sebuah perayaan seperti layaknya sebuah perayaaan pasar malam bagi para pribumi.

            Dari sini kita memperoleh kesan bahwa Susdjojono ingin memberikan sebuah penakanan bahwa perayaan Cap Go Meh bukanlah merupakan sebuah perayaan milik etnis tertentu, bukan milik etnis Tionghoa saja, tetapi menjadi milik siapa saja. Cap Go Meh menjadi perayaan bersama dimana semua orang, baik yang memiliki label ”Tionghoa” maupun pribumi dapat membaur dan ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama konsep multikultural telah ada, bahkan ketika konsep multikultural dan hak asasi belum muncul.

            Cap Go Meh yang merupakan rangkaian dari Imlek telah menjadi sebuah perayaan nasional. Sebuah pengakuan akan etnis Tionghoa yang selama ini dianggap beda. Tetapi apakah sebuah pengakuan itu bisa  menjadikan etnis Tionghoa dapat mengubah perilaku mereka menjadi “Indonesia”?.

Sepertinya terlalu absurd, dimata kebanyakan masyarakat kita yang “pribumi”, etnis Tionghoa sangat piawai dalam berdagang, mereka menjadi raja dalam bidang bisnis di Indonesia, kaya, hanya berkumpul dalam kelompok mereka, dan boleh dikatakan tidak dapat tersentuh oleh pribumi.

Tetapi di balik itu semua ternyata ada juga etnis Tionghoa yang berkulit hitam yang sering menjadi bahan candaan para pribumi dengan julukan “Hitachi”, hitam tapi China, tidak kaya, sebutlah Cina Benteng misalnya. Mereka hidup membaur dengan para pribumi dan memiliki kepedulian dengan lingkungannya.

Tanpa melihat suatu perbedaan SARA, di mana pun kita dapat menemukan orang yang baik maupun orang yang jahat. Demikian juga dengan etnis Tionghoa. Ada sebagian dari mereka yang terkadang membuat kita dongkol, tetapi sebagian lainnya ada juga yang baik dan mereka memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kondisi masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya.

Kembali pada lukisan Cap Go Meh, pada akhirnya Sudjojono melalui lukisannya seolah-olah selalu mengingatkan dan mengajak kita untuk bersama-sama membangun sebuah format baru, yang memiliki corak jiwa nasionalis tanpa melihat berbagai latar belakang perbedaan yang ada, bersama-sama bahu-membahu dalam membangun Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan.

 

[1] Dr. Kukuh Pamuji adalah Widyaiswara Muda pada Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara RI

 

Opini Terbaru