Percepat Eksekusi Belanja 2016
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Kementerian Keuangan RI*)
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah terus saja menggeber berbagai kebijakan demi mencapai target penerimaan perpajakan di tahun 2015 ini. Perbaikan administrasi, perluasan basis pajak, serta pengejaran pihak-pihak pengemplang pajak tak henti-hentinya dilakukan. Terlebih jika melihat realisasi hingga Semester I tahun 2015 yang relatif masih kurang menggembirakan.
Berdasarkan data pemerintah, realisasi pendapatan negara baru mencapai 39,6% atau sekitar Rp697,4 triliun dari target APBN-P 2015. Realisasi ini sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan periode yang sama tahun 2014 yang mencapai 43,7% atau sekitar Rp713,9 triliun dari target APBN-P 2014. Penerimaan perpajakan sendiri hingga Semester I, realisasinya mencapai Rp555,2 triliun atau 37,3% target APBN-P 2015, sementara realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp142,0 triliun atau 52,8% target APBN-P 2015. Dalam periode yang sama di tahun 2014, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp547,4 triliun atau 43,9% sementara realisasi PNBP mencapai Rp166,1 triliun atau 42,9%.
Dari sisi belanja, hingga Semester I tahun 2015, realisasinya mencapai 39,0% atau sekitar Rp773,9 triliun, lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2014 yang mencapai Rp779,9 triliun atau 41,6% target APBN-P 2014. Masih seperti pola tahun-tahun sebelumnya, realisasi belanja negara didominasi oleh pos belanja subsidi sebesar 47,4% atau sekitar Rp100,4 triliun, belanja pembayaran kewajiban utang sebesar 47,7% atau Rp74,3 triliun, belanja pegawai sebesar 42,9% atau Rp125,8 triliun serta belanja sosial sebesar Rp43,1 triliun atau 40,1% target APBN-P 2015. Sementara realisasi belanja produktif investasi yang dicerminkan dari alokasi belanja modal, hingga akhir Semester I 2015 baru mencapai 11,0% atau sekitar Rp30,2 triliun target APBN-P 2015.
Pemerintah dan DPR juga telah merampungkan pembicaraan pendahuluan terkait kesepakatan asumsi dasar ekonomi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2016. Dalam keterangannya, Ketua DPR menyebutkan bahwa asumsi-asumsi makro yang disepakati tersebut lebih bersifat realistis dengan memperhatikan berbagai kondisi dan tantangan yang ada baik eskternal maupun internal. Secara rinci, kesepakatan yang dicapai diantaranya: pertumbuhan ekonomi disepakati pada kisaran 5,0-5-6%, inflasi 3,0-5,0%, nilai tukar rupiah disepakati Rp13.000-13.400 per dolar AS, tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 4,0-6,0%, harga minyak internasional 60-70 dolar AS per barel, lifting minyak 800-830 ribu barel per hari dan lifting gas 1.100-1.300 barel setara minyak per hari.
Pemerintah juga sudah menyusun tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2016 yaitu Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Fondasi Pembangunan yang Berkualitas. Sebagai penjabaran, disusun beberapa agenda prioritas yang mencakup Dimensi Pembangunan Manusia dan Masyarakat yang terdiri dari sektor pendidikan, kesehatan, perumahan serta mental/karakter. Juga diprioritaskan Dimensi Pembangunan Sektor-Sektor Unggulan yang terdiri dari sektor kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman serta pariwisata dan industri. Berikutnya adalah Dimensi Pemerataan dan Kewilayahan baik antar kelompok pendapatan dan wilayah desa, pinggiran, luar Jawa dan Kawasan Timur. Terakhir adalah Dimensi Kondisi Perlu meliputi sektor Kepastian dan Penegakan Hukum, Keamanan dan Ketertiban, Politik dan Demokrasi sekaligus Tata Kelola Reformasi Birokrasi.
Tak ketinggalan, agenda prioritas pemerintah di 2016 lainnya adalah percepatan pembangunan infrastruktur sebagai penjabaran visi dan misi Presiden. Hal ini sekaligus memenuhi pelaksanaan road map pembangunan jalan tol 2015-2019, yang menjangkau keseluruhan pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Rencananya, di pulau Sumatera akan dibangun jalan tol sepanjang 384 km, pulau Jawa sepanjang 1.450,9 km, pulau Kalimantan sepanjang 84 km sementara di pulau Sulawesi sepanjang 39 km. Berdasarkan data Bappenas, hingga 2014, progres pembangunan yang sudah rampung baru di pulau Jawa sepanjang 188,8 km. Di tahun 2015 ini seharusnya pemerintah akan menyelesaikan pembangunan jalan tol di pulau Sumatera hingga 18,17 km, di Jawa akan ditambah 151,04 km dan di pulau Sulawesi akan dimulai pembangunan awal sepanjang 11,7 km.
Kebijakan untuk terus melanjutkan percepatan pembangunan infrastruktur tersebut telah meningkatkan besaran pagu belanja APBN 2016 menjadi hampir Rp2.200 triliun atau meningkat dibandingkan alokasi belanja di APBN-P 2015 yang mencapai Rp1.984,1 triliun. Kenaikan beban belanja APBN 2016, berdampak pula kepada peningkatan besaran target pendapatan negara menjadi Rp1.900 triliun, meningkat dibandingkan target di APBN-P 2015 sebesar Rp1.768,9 triliun. Dengan tetap menargetkan besaran defisit APBN di kisaran 1,9%-2% dari PDB atau sama dengan target defisit APBN-P 2015 sebesar 1,9% dari PDB atau sekitar Rp222,5 triliun, kondisi ini tentu menjadi tantangan yang berat bagi pemerintah. Rencananya, pemerintah masih akan mengandalkan strategi utang dalam upaya menutup defisit APBN tersebut. Kebutuhan penarikan utang 2016 diperkirakan mencapai sekitar Rp250 triliun hingga Rp300 triliun. Harap diingat bahwa persoalan utang ini adalah suatu hal yang relatif sensitif terlebih jika bersifat utang luar negeri baik bilateral maupun multilateral.
Dengan penempatan prioritas utama sektor infrastruktur, maka Kementerian Pekerjaan Umum-Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) kembali menjadi ujung tombak di level implementasi. Kemen PU-Pera akan mendapatkan alokasi sebesar Rp106,4 triliun, sedikit turun dibandingkan alokasi 2015 sebesar Rp118 triliun. Penurunan tersebut merupakan dampak penguatan anggaran infrastruktur di daerah melalui mekanisme anggaran sektoral (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) serta transfer ke daerah baik DBH, DAU dan DAK serta beberapa Dana Insentif Daerah (DID) lainnya. Meskipun demikian, jika dihitung secara kumulatif, anggaran infrastruktur di 2016 tetap mengalami kenaikan hingga Rp100 triliun dari besaran tahun 2015 yang mencapai Rp290,3 triliun.
Percepatan Eksekusi
Dari uraian tersebut, ruang gerak fiskal pemerintah sebetulnya sudah mulai menguat. Beban subsidi BBM sudah mulai lepas, subsidi listrik makin terarah, subsidi pertanian harapannya juga akan dievaluasi ulang menjadi subsidi targeted serta beberapa gebrakan reformasi lainnya. Harapan tentang masyarakat modern yang dinamis pun lambat laun mulai dikembangkan. Persoalan politik dan pemberantasan korupsi mungkin masih menjadi ganjalan yang ke depannya harus segera ditangani selain permasalahan quality spending rendahnya realisasi belanja modal.
Padahal baik secara teori maupun kesepakatan seluruh pakar menyebutkan betapa pentingnya peran belanja modal pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di suatu negara khususnya menghadapi kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dari krisis. Untuk itulah, sekali lagi perlu ditekankan bahwa percepatan realisasi belanja modal pemerintah menjadi salah satu kunci utama kesuksesan target pembangunan nasional yang sedang digalakkan oleh pemerintahan yang baru. Jika memang target percepatan di 2015 sudah dianggap meleset, pemerintah wajib memfokuskan diri dalam pelaksanaan APBN 2016.
Untuk mengatasinya, setiap tahun sebetulnya Pemerintah tak segan-segan terus mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk percepatan realisasi anggaran. Presiden dalam beberapa kesempatan juga terus menyoroti persoalan ini. Penyerahan DIPA yang dipercepat menjadi salah satu bukti keseriusan ini. Saat menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Keuangan Daerah minggu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan kembali betapa pentingnya percepatan realisasi anggaran baik APBN maupun APBD. Hanya percepatan realisasi anggaran yang mampu menurunkan potensi perlambatan ekonomi akibat kenaikan harga komoditas.
Sayangnya, berbagai kebijakan yang dihasilkan pemerintah sepertinya belum menyasar langsung kepada pokok permasalahan terkait eksekusi program. Padahal di lapangan, eksekusi program inilah yang akan menjadi langkah akhir sekaligus kunci utama persoalan penyerapan serta quality spending. Reformasi kelembagaan kementerian di periode pemerintahan sekarang misalnya. Merger dan perombakan beberapa kementerian/lembaga ternyata tidak diimbangi dengan kesigapan regulasi kelembagaan. Akibatnya realisasi penyerapan anggaran hingga semester I, terutama belanja modal masih sangat minim.
Ke depannya, hal-hal seperti ini memang seharusnya dapat diantisipasi sejak awal sehingga realisasi penyerapan anggaran menjadi lebih cepat. Ketika anggaran dapat diserap lebih cepat, diskusi mengenai peningkatan quality spending akan lebih pas dan terarah. Ruang fiskal yang sudah melebar seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin demi mempercepat akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai tujuan tersebut gagal hanya karena persoalan administrasi birokrasi yang sebetulnya berada dalam kendali pemerintah sendiri.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja