Percepatan Infrastruktur dan Transformasi Ekonomi Indonesia
Tenaga Ahli Kedeputian I Kantor Staf Presiden
Visi besar para Founding Father Indonesia terefleksi dalam Pembukaan UUD 1945 alenia kedua yang secara tegas menyatakan keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Visi tersebut sejatinya merupakan bentuk penghargaan atas perjuangan bangsa Indonesia dan menimbulkan kesadaran bersama bahwa langkah sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang.
Perkembangan ekonomi global yang terjadi dewasa ini yang menuntut kecepatan dalam mentrasformasikan ekonomi, agar inheren dengan upaya menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, yang sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi setiap periode pemerintahan.
Peningkatan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat perlu terus diupayakan oleh setiap pemerintahan, dengan memastikan implementasi visi misi dalam bentuk RPJMN, RKP, program dan kegiatan sektoral berjalan di tataran praksis.
Fokus pada manajemen strategik, memastikan langkah-langkah strategis dalam menetapkan prioritas nasional, program prioritas dan kegiatan prioritas serta memastikan pengendalian menjadi sangat penting dalam menjamin percepatan implementasinya .
Percepatan transformasi ekonomi Indonesia, yang salah satunya dapat dilakukan melalui percepatan pembangunan infrastruktur, memiliki peran strategis sebagai prasyarat, menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia agar rata-rata mencapai 6% – 6,4% sampai dengan 2045, guna menjadikan Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045.
Percepatan pembangunan infrastruktur dimaksud menjadi keniscayaan, merujuk pada publikasi World Development Report (World Bank, 1994), yang intinya menempatkan infrastruktur sangat berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dijumpai pada wilayah dengan tingkat ketersediaan infrastruktur yang mencukupi.
Studi dari World Bank (1994) juga melaporkan elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini berarti dengan kenaikan satu persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%, variasi angka yang cukup signifikan.
Memacu akselerasi pembangunan infrastruktur bukanlah tanpa alasan, ahli ekonomi pembangunan, Rosentein-Rodan misalnya, sejak lama telah mengampanyekan pentingnya pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, sebagai pilar pembangunan ekonomi yang dikenal kemudian dengan nama big-push theory.
Beberapa hasil studi juga menyebutkan hasil pembangunan infrastruktur memiliki peran sebagai katalisator antara proses produksi, pasar, dan konsumsi akhir serta memiliki peranan sebagai social overhead capital yang berkonstribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.
Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif dan menyebar di berbagai wilayah merupakan bentuk dari Regional Growth Strategy, utamanya dalam mengatasi masalah pembangunan, yaitu kemiskinan dan kesenjangan, sekaligus bentuk investasi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Pelajaran berharga setidaknya dapat dipetik dari tinjauan historis pertumbuhan ekonomi AS dan China, Peran vital infrastruktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan oleh kesuksesan berbagai program ekonomi yang bertumpu pada infrastruktur, diantaranya program New Deal oleh Presiden Roosevelt, pada saat resesi di Amerika Serikat tahun 1933, telah memberikan dampak positif meningkatkan ekonomi dan lebih 6 juta penduduk dapat bekerja kembali.
Sedangkan konstribusi pembangunan infrastruktur China terhadap kejayaan ekonominya, salah satu faktor disebabkan oleh masifnya pembangunan infrastruktur, yang dapat mengenjot pertumbuhan ekonominya mencapai double digit di atas 10% per tahun selama hampir 20 tahun.
Bagi Indonesia secara historis pembangunan infrastruktur, khususnya konektivitas, juga telah menjadi pengarusutamaan yang telah dilakukan dalam menggerakan ekonomi pada masa lampau, sebagaimana yang dapat kita cermati dilakukan Daendels dalam membangun jalan dari Anyer ke Panarukan di Pulau Jawa, atau Laksamaan Cheng Ho menyinggahi berbagai Bandar laut Batavia, Palembang dan Aceh.
Percepatan pembangunan infrastruktur menjadi tantangan dalam mentrasformasi ekonomi Indonesia, karena kondisi infrastruktur Indonesia dewasa ini harus jujur diakui belum kondusif dalam menyumbangkan kejayaan ekonomi, secara sederhana dapat dicermati dari kontribusi infrastruktur pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang baru sekitar 38 persen, angka yang masih kalah jauh dibandingkan dengan sesama negara berkembang lain, misalnya India 58 persen, China 76 persen, atau Afrika Selatan 80 persen.
Presiden Jokowi dan Percepatan Infrastruktur
Kita patut mengapresiasi langkah strategis Presiden Jokowi dalam memacu percepatan pembangunan infrastruktur dalam masa bakti pemerintahannya, utamanya dalam melakukan langkah terobosan sebagai pilihan strategi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menegakkan keadilan ekonomi, serta memastikan bergeraknya ekonomi produktif dengan percepatan pembangunan infrastruktur melalui pendekatan Indonesia sentris.
Paradigma Indonesia sentris dengan pilihan strategi memacu percepatan pembangunan infrastruktur akan dapat mempercepat kemakmuran yang berkeadilan sebagai jawaban terhadap berbagai masalah ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran sekaligus meningkatkan daya saing bangsa.
Bila kita cermati 3 tahun perjalanan pemerintahan Jokowi, percepatan pembangunan infrastruktur telah menjadi champion prioritas nasional, yang tercermin dari alokasi pembiayaan sebagai bentuk reformasi fiskal APBN, dari belanja konsumtif ke beranja produktif, alokasi pembiayaan dalam APBN terus meningkat tajam, mulai Rp 154,7 triliun pada 2014, menjadi Rp.290 trilun 2015, Rp 269,1 triliun pada 2016, Rp.387 Triliun pada tahun 2017 serta Rp 409 triliun pada tahun 2018.
Selain alokasi anggaran dari dana belanja pemerintah pusat, pembiayaan infrastruktur juga disalurkan melalui Dana Alokasi Daerah (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Desa. Dimana 25 persen dari DAU harus menjadi spending infrastruktur di daerah.
Capaian menggembirakan dari percepatan pembangunan infrastruktur konektivitas misalnya, tercermin dari masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan timur Indonesia seperti di Trans Kalimantan, Trans Papua, jalan perbatasan di Papua, Kalimantan dan NTT dimana hingga tahun 2017 sudah terbangun 2.623 km.
Pembangunan Jalan Perbatasan Kalimantan dengan panjang mencapai 1.921 km yang ditargetkan rampung pada tahun 2019,saat ini sudah berhasil ditembus sepanjang 1.588 km. Sementara untuk target pembangunan jembatan sepanjang 29.859 meter, sudah terbangun sepanjang 25.149 meter hingga 2017.
Terkait target pembangunan jalan tol periode 2015-2019 sepanjang 1.000 km, pada akhir tahun 2017 akan selesai sepanjang 568 km, kita patut mendukung optimisme yang tinggi dari pemerintah Jokowi yang menyelesaikan proyek jalan tol mencapai 1.851 km pada tahun 2019.
Sebagai komitmen pembangunan yang berorientasi Indonesia sentris, percepatan pembangunan Tol Sumatera akan terus dipacu penyelesaiannya, yang juga telah mulai terlihat hasil nyatanya, dimana dalam penghujung 2017, Presiden Jokowi telah meresmikan dua ruas tol Trans Sumatra. Ruas pertama tol Palembang-Indralaya seksi I yaitu ruas Palembang-Pemulutan sepanjang 7,75 kilometer dan tol Medan-Binjai seksi 2 dan 3 sepanjang 10,46 km serta Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi seksi 2-6 sepanjang 41,65 km.
Secara keseluruhan Tol Trans Sumatera ini akan menghubungkan Bakauheni, Lampung hingga Aceh di Utara Sumatera sepanjang 820 km, dengan total biaya investasi sekitar Rp 100 triliun, dan ditargetkan akan dapat beroprasi pada 2019.
Selain tol, pembangunan infrastruktur transportasi massal seperti mass rapid transit (MRT) Jakarta serta light rail transit (LRT) Jabodetabek dan Palembang juga terus berlanjut, diproyeksikan tahun 2018/2019 sudah dapat dirasakan manfaatnya dan menjadi kebanggaan bersama sebagai MRT dan LRT pertama di Indonesia sekaligus sebagai momentum mengangkat citra Indonesia di dunia internasional.
Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur pelabuhan dalam menekan disparitas harga, khususnya di wilayah timur Indonesia terus diuapayakan dengan melakukan revitalisasi pelabuhan dan pembangunan pelabuhan baru.
Pembangunan 2 pelabuhan sebagai hub internasional barata dan timur Indonesia, yakni Kuala Tanjung dan Bitung diharapkan dapat menjadi penggerak ekonomi regional melalui berkembangnya aktivitas ekonomi ekspor impor, disamping itu pembangunan infrastruktur pelabuhandan berjalannya Program Tol Laut di luar Pulau Jawa, yang menyasar daerah terpencil, terluar, dan terdepan, terbukti telah berhasil menurunkan disparitas harga 20-40%.
Berbagai langkah terobosan dalam percepatan pembangunan infrastruktur serta manfaat nyata telah mulai dirasakan manfaatnya dalam mentransformasikan ekonomi konsumtif menjadi produktif, meskipun harus jujur diakui outcome dari program percepatan belum terlalu signifikan dalam mendongkrak perekonomian bangsa.
Hal ini dikarenakan impact dari pembangunan infrastruktur berdimensi jangka panjang, namun apresiasi perlu kita berikan mengingat tahapan awal dalam mentransformasikan ekonomi Indonesia fondasinya telah berhasil diletakkan, dan secara bertahap telah mulai pula dirasakan manfaat ekonomisnya, ditandai dengan meningkatnya daya saing Indonesia pada 2017 dimana infrastruktur menjadi salah satu tolok ukur peningkatan daya saing tersebut.
Inovasi pembiayaan bukan menjual asset
Kita tentunya berharap agar percepatan pembangunan infrastruktur menjadi lebih masif lagi, untuk itu diperlukan dukungan semua pemangku kepentingan dalam memastikan strategi inovasi pembiayaan dapat terus dilakukan, utamanya dalam merancang skema pembiayaan yang lebih luwes, mengingat kemampuan keuangan negara melalui APBN yang terbatas.
Spirit enterpreneur dalam pengembangan pembiayaan kreatif seyogyanya menjadi pengarusutamaan dalam pembiayaan, selain badan usaha milik negara (BUMN), pihak swasta diharapkan terlibat aktif mendanai infrastruktur. Spirit kerjasama bahu membahu diharapkan dapat terus ditingkatkan perwujudannya agar dapat mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga dampak kehadiran infrastruktur bisa segera dirasakan publik.
Pengembangan skema pembiayaan infrastruktur sebagai bentuk inovasi perlu terus diupayakan dengan manajemen resiko yang terukur, antara lain melalui pola LCS (Limited Concession Scheme) yaitu pembiayaan proyek melalui sumber dana swasta atas pemberian konsesi, dari suatu aset infrastruktur milik Pemerintah/BUMN yang sudah beroperasi kepada pihak swasta terkait untuk dioperasikan/dikelola dengan melakukan kajian yang komprehensif.
Perlu terus dikembangkan penyiapan proyek berstandar internasional dalam bentuk dokumen pra studi kelayakan atau Outline Business Case (OBC) dan penetapan skema pendanaannya, nilai investasi, tingkat pengembalian investasi, keuntungan finansial yang akan didapat, termasuk di dalamnya adalah fasilitas yang ditawarkan pemerintah serta proyeksi resiko investasi.
Disamping kitu perlu terus didorong berkembangnya kerjasama dalam bentuk konsesi proyek-proyek BUMN yang sudah matang dan telah menghasilkan keuntungan, antara lain melalui strategi menjual surat utang atau obligasi, yang basisnya dari keuntungan atas aset tersebut atau menjual konsesi proyek infrastruktur.
Pengembangan berbagai creative financing sangat diperlukan untuk mengurangi beban APBN dan sekaligus mengurangi ketergantungan BUMN terhadap Penyertaan Modal Negara (PMN). Sekuritisasi aset dapat dipertimbangkan, dengan melakukan sekuritisasi aset, seperti melepas sebagian haknya atau menerbitkan surat utang atas asetnya yang produktif, BUMN akan mendapatkan dana lebih banyak untuk merealisasikan proyek infrastruktur baru.
Tujuan dari berbagai inovasi pembiayaan dimaksud agar pembangunan infrastruktur yang sudah jalan dapat dikembangkan lagi asetnya oleh swasta, dan uangnya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur yang lain, jadi berbagai komentar miring yang mengatakan bahwa pemerintah menjual asset negara secara ugal-ugalan adalah tidak mendasar sama sekali, karena esensinya sekuritisasi aset itu hanya menjual future income, bukan menjual aset.
Dengan berjalannya strategi pembiayaan dengan model financing creative diharapkan pengembangan infrastruktur dapat semakin masif lagi, dan kita tentunya kita tentunya berharap dengan percepatan pembangunan infrastruktur seluruh wilayah di Indonesia akan semakin terintegrasi secara ekonomi, sehingga biaya logistik di Indonesia dapat diturunkan, regional ekonomi dapat berkembang secara adil, disparitas harga dapat ditekan, sekaligus menaikkan daya saing ekonomi Indonesia.
Kita tentunya berharap aspek pengendalian dan pengawasan percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya pada tataran implementasi, dapat terus menjadi fokus perhatian utama, guna memastikan percepatan dan langkah mitigasi jangka pendek dapat secara diambil bila ditemukan hambatan di tingkat lapangan.
Masifnya pembangunan infrastruktur ini kita harapkan dapat mengakselerasi transformasi ekonomi Indonesia dan berkonstribusi positip dalam mempercepat pemerataan pembangunan, menggerakkan ekonomi produktif rakyat, sehingga seluruh wilayah di Indonesia menjadi bagian penting dari rantai produksi regional dan global (regional and global production chain) guna memeratakan pembangunan dan keadilan ekonomi ke seluruh wilayah NKRI, sehingga cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara maju 2045 dapat terwujud. Semoga.