Peresmian Pembukaan Kongres XIII Ikatan Akuntan Indonesia, 11 Desember 2018, di Istana Negara, Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Desember 2018
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.911 Kali

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang saya hormati Ketua BPK sekaligus Ketua Dewan Penasehat IAI,
Yang saya hormati Ketua Umum dan jajaran pengurus Ikatan Akuntansi Indonesia,
Yang saya hormati para menteri Kabinet Kerja yang hadir,
Yang saya hormati Presiden IFAC,
Hadirin dan undangan yang berbahagia.

Saya ingin mengajak Bapak-Ibu sekalian untuk flashback, mundur ke belakang empat tahun yang lalu, di hari-hari awal saya diberi amanah menjadi presiden. Saat itu kita memutuskan subsidi BBM kita pangkas dan dialihkan kepada belanja produktif. Belanja-belanja operasional kita alihkan untuk belanja produktif.

Saya akui bahwa upaya mengarah ke fiskal dan ekonomi yang produktif, yang lebih produktif, bukanlah pekerjaan yang mudah, bukan pekerjaan yang mudah. Dan banyak pihak telah bekerja keras untuk menyelesaikan ini, menjadi bagian dari upaya ini. Dan saya tahu, Bapak-Ibu memiliki peran yang penting dalam upaya pengalihan tadi, dari yang konsumtif menjadi yang produktif. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akuntan memiliki peran penting dalam pembangunan nasional yang berkesinambungan. Karena ekonomi negara yang sehat dan efisien harus memenuhi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Di sinilah letak sentral peran dari profesi akuntan yang memastikan ekonomi negara dikelola secara sehat.

Saya setuju akuntabilitas adalah kata kunci dalam pengelolaan keuangan. Setuju, baik dalam pengelolaan keuangan negara maupun pengelolaan perusahaan atau korporasi. Namun akuntabilitas tidak semata-mata menyajikan laporan keuangan yang wajar, tapi juga akuntabilitas sekaligus memiliki fungsi bagi para pemangku kepentingan untuk dapat terhindar dari upaya penyelewengan atau penyimpangan dalam pengelolaan keuangan.

Saya setuju efisiensi juga sangat penting dalam sistem pengelolaan keuangan. Dunia menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan kompetitif. Efisiensi merupakan indikator penting untuk memenangkan kompetisi. Tetapi pada kesempatan ini saya ingin menegaskan bahwa selain akuntabilitas dan efisiensi, kecepatan dan orientasi pada hasil itu juga sangat penting. Sekali lagi, kecepatan dan orientasi pada hasil itu adalah juga hal yang sangat penting.

Dalam dunia global yang berubah sangat cepat sekarang ini, kecepatan merupakan kata kunci dalam memenangkan persaingan, dalam memenangkan kompetisi. Saya selalu menyampaikan, negara yang besar atau yang besar belum tentu bisa mengalahkan yang kecil atau negara kecil. Negara yang kaya belum tentu juga mengalahkan negara yang miskin. Atau orang yang kaya juga belum tentu mengalahkan orang yang miskin. Tetapi sekarang ini yang cepatlah yang pasti akan mengalahkan yang lamban atau yang lambat. Ini selalu saya sampaikan berkali-kali bahwa yang cepat pasti mengalahkan yang lambat. Negara yang cepat akan mengalahkan negara yang lambat.

Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan saya selalu mengajak kepada semua pihak untuk membangun ekosistem sehingga kita bisa melangkah lebih cepat. Sistem akuntasi di sektor pemerintahan maupun sektor privat harus mampu menyinergikan antara akuntabilitas, efisiensi, orientasi hasil, dan kecepatan.

Saya ingin menggarisbawahi yang orientasi hasil dan kecepatan. Ini selalu saya keluhkan kepada menteri-menteri, urusan yang berkaitan dengan SPJ, ini bagian dari akuntansi. Meskipun ada yang mengatakan, “SPJ bukan Pak, SPJ itu adalah administrasi negara”. Tidak, ini akuntansi juga.

Saya berikan contoh, saya kalau ke daerah atau ke kementerian, senang saya waktu melihat, waduh di sekolah kok tengah malam masih lampunya menyala, ada apa. Saya datang. Kepala sekolah ada, guru-guru ada. Pikiran saya saat itu, “waduh ini pasti menyiapkan perencanaan untuk kegiatan belajar mengajar”. Saya selalu positive thinking. Begitu mendekat, saya tanya, “Pak Kepala Sekolah, Bapak-Ibu guru, ini kok ramai sekali sampai tengah malam, menyiapkan apa ini?” “Pak, kami menyiapkan laporan SPJ”.

Tidak hanya satu-dua sekolah yang saya lihat seperti itu. Sama. Saya datang lagi. Ndak, ganti bukan sekolah, lihat lagi ke Dinas PU. Lihat lagi, tengah malam ini apa, menyiapkan proyek atau ingin menggerakkan alat-alat berat dari satu tempat ke tempat lain. Pikiran saya juga seperti itu, positive thinking. Datang saya tanya, “Ini apa ini tengah malam masih pada corat-coret, pada bertumpuk-tumpuk, ini apa?” “Pak, kami sedang menyiapkan SPJ”. Sama. Ini kok di mana-mana urusan SPJ.

Saya bertemu juga dengan Kades-kades, kepala desa dalam rangka cek dan kontrol masalah penggunaan Dana Desa yang sudah empat tahun ini kita gelontorkan Rp187 triliun. Saya ingin cek. Keluhannya juga sama. “Pak laporan SPJ-nya yang terlalu banyak”. SPJ lagi.

Kemudian yang terakhir, ini sekarang pengalaman, terakhir, urusan gempa bumi di Lombok. Sudah dua setengah bulan kok uang anggaran untuk rumah-rumah ini belum bisa diterima oleh masyarakat yang rumahnya roboh terkena gempa. Padahal uangnya sudah ditransfer, sudah diberikan. Saya ini memang orang jalanan, senangnya di lapangan dan mengecek di lapangan, mengontrol di lapangan. Apa yang saya temukan? Ternyata prosedurnya ada 17. “Kenapa belum sampai?” “Pak, ini yang ini belum, yang ini belum, yang ini, yang ini belum”.

Saya kaget. Padahal masyarakat sudah menunggu, uangnya sudah ada. Berhari-hari hanya masalah, sekali lagi, 17 prosedur yang harus diikuti. Saat itu juga saya perintah, saya enggak mau tahu prosedur pokoknya tetap dilaksanakan, akuntabilitas tetap, tetapi saya minta ini cepat. Prosedurnya enggak usah banyak-banyak 17, saya minta satu saja. Saya minta satu. Nyatanya juga bisa itu. “Iya Pak, siap. Hanya satu Pak.” Dirapatkan berapa kali, “Iya Pak, bisa. Satu”.

Kalau bisa satu kenapa 17, gitu lho?  Apa ini yang menyebabkan? Saya semakin tahu. Saya cek, kayak laporan-laporan SPJ, ada 43 laporan yang harus disiapkan. Itu bapak-ibunya, ternyata ada anak cucu lagi, aturan yang harus menambahi laporan, yaitu 123. 123 lagi. Dari 43 beranak cucu menjadi 123. Lha ini kita bekerja energi kita habis hanya untuk urusan laporan dan SPJ.

Nah sekarang ketemu dengan IAI saya. Saya minta tolong disiapkan sebuah prosedur yang orientasinya bukan performa tetapi substansi. Enggak usah banyak-banyak prosedur, bagaimana bisa memotong agar cepat. Karena menurut saya, prinsip akuntansi itukan cepat, murah, aman, kan itu. Bukan berorientasi pada prosedur yang berbelit-belit. Enggak, saya tahu enggak seperti ini. Ini enggak tahu yang dulu memulai siapa? Yang memulai ini siapa, yang jelas ini Menteri Keuangan, tapi bukan Menteri Keuangan yang sekarang saya tahu. Menteri Keuangan yang sekarang sudah berusaha memotong-motong-motong agar sederhana.

Tapi saya juga kaget. Ternyata  akuntannya itu bukan hanya Prof. Mardiasmo tetapi Menristekdikti saja akuntan coba, Menteri ESDM akuntan. Saya baru tahu juga sekarang ternyata beliau-beliau ini akuntan. Tahu gitu saya taruh di Menteri Keuangan.

Artinya, kembali lagi, administrasi negara kita ini harus disederhanakan. Agar pimpinan-pimpinan, pemimpin-pemimpin di setiap kementerian/lembaga maupun di daerah ini bisa memutuskan secara cepat, bisa merespons secara cepat kalau ada perubahan-perubahan global. Perubahan global sekarang ini sangat cepat sekali. Kalau kita masih terbentur pada aturan-aturan prosedur yang orientasinya bukan saja output tapi juga outcome, jangan sampai orientasinya pada prosedur. Larinya mesti pada outcome, pada output.

Sekali lagi, akuntansi jangan mempersulit langkah yang membuat kita pada sebuah jebakan-jebakan kesalahan. Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan aturan-aturan ini kita buat karena kita berpikir di sini adalah curiga, negative thinking. Sehingga dibuat aturan yang prosedurnya bermacam-macam. Tapi kita lihat, sudah bapak-ibu plus anak-cucu 123 saja juga masih banyak yang melompat pagar, yang ditangkap oleh KPK juga banyak. Apa artinya? Pagar ini yang kita buat setinggi-tinggi itu sampai laporan bertumpuk-tumpuk itu enggak ada gunanya. Karena orientasinya adalah tadi kan, akuntabilitas, efisiensi, orientasi hasil, dan cepat/kecepatan. Sehingga jangan pula sistem akuntansi membuat kita hanya menghemat biaya langsung, tetapi juga memperbesar opportunity cost. Mestinya ke sana arahnya. Penundaan, kelambatan, kelambanan, ketidakberanian kita untuk berinovasi adalah opportunity cost yang sangat besar. Jangan sampai demi akuntabilitas pelaporan, kemudian kita harus menanggung opportunity cost yang sangat mahal dan kita harus kehilangan kesempatan untuk berinovasi.

Dan saya sangat mendukung rencana IAI untuk mempercepat program sertifikasi agar para akuntan di negara kita memiliki kreativitas, inovasi, keterampilan, dan memiliki daya saing dan sekali lagi dalam rangka mendukung pengembangan ekosistem kita yang lebih akuntabel, lebih efisien, goal oriented, dan inovatif.

Saya juga berharap sistem akuntansi kita jangan hanya membangun kepatuhan yang dilandasi oleh ketakutan akan sanksi hukum. Orientasinya jangan ke sini saja. Tetapi sistem akuntansi yang juga menjadi bagian dari membangun sebuah etika sosial, termasuk etika dan budaya dalam birokrasi dan korporasi. Harus semakin menghargai kesederhanaan, semakin menghargai moralitas publik dan keadilan sosial, dan dipandu oleh keteladanan kita semuanya.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya resmi membuka Kongres Ikatan Akuntansi Indonesia XIII.

Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru