Peresmian Pembukaan Kongres XX Tahun 2018 Wanita Katolik Indonesia (WKRI), 30 Oktober 2018, di Magnolia Grand Ballroom Hotel Grand Mercure, Superblok Mega Kemayoran, Jakarta Pusat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 30 Oktober 2018
Kategori: Sambutan
Dibaca: 4.420 Kali

Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati, Yang Mulia Ketua KWI Bapak Mgr Ignatius Suharyo, beserta seluruh jajaran pengurus KWI, para Pastur, para Romo yang hadir pada pagi hari ini,
Yang saya hormati para menteri Kabinet Kerja yang hadir,
Yang saya hormati Ketua DPP Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Ibu Ketua Umum Ibu Justina Rostiawati, beserta seluruh jajaran pengurus dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote,
Yang saya hormati Ketua Kowani Ibu Giwo,
Bapak-Ibu hadirin yang berbahagia

Pertama-tama, saya ingin menyampaikan beberapa fakta yang menarik mengenai perempuan. Di beberapa riset, perempuan memiliki keunggulan dibandingkan laki-laki. Perempuan memiliki harapan hidup lebih tinggi, perempuan lebih kuat dalam menghadapi persaingan. Ini menurut Harvard Business Review, bukan menurut saya. Tapi menurut saya juga sama.

Perempuan memiliki otak yang lebih aktif dalam merespons empati. Ini menurut World Economic Forum. Kemudian, wanita/perempuan mempunyai kemampuan multitasking yang lebih tinggi dibandingkan lelaki. Jadi kalau diberikan tugas yang multi itu perempuan mempunyai kemampuan yang lebih. Ini menurut Public Library Science. Dan dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan multitasking perempuan ini memang benar jauh lebih hebat dibandingkan laki-laki.

Coba kita lihat, kemarin waktu Asian Games, kita dapat 31 emas, 12 emas disumbangkan oleh atlet perempuan. Ada Defia Rosmaniar, ada Lindswell Kwok, ada Aries Susanti, dan yang lain-lainnya. Tapi yang diramaikan pas saya naik sepeda motor, bukan emasnya tadi. Harusnya emasnya tadi gitu lho, prestasinya mestinya. Kalau saya naik sepeda motor itu, itu pertunjukan dan hiburan. Beda.

Tapi para politikus yang disorot itu saya yang pas meloncat tadi. Lha ini. Pertanyaanya pasti, “kok pakai stuntman?”  Ya masa Presiden disuruh meloncat sendiri? Kan enggak mungkin. Ya pasti pakai stuntman, pakai peran pengganti. Yang diurus hal-hal yang sebetulnya tidak perlu diurus.

Ibu-ibu Wanita Katolik Republik Indonesia yang saya hormati,
Pemerintahan di bawah kepemimpinan saya, dulunya ada sembilan perempuan, ada sembilan perempuan. Kemudian mundur satu karena jadi Gubernur Jawa Timur. Sekarang masih ada delapan perempuan. Biasanya di Kabinet kita paling tiga atau empat perempuan yang jadi menteri.

Ada yang halus, ada yang halus. Seperti Ibu Yohana ini halus. Ibu Nila Moeloek, Profesor Yohana, Profesor Nila Moeloek halus. Tapi ada yang galak juga. Bu Susi misalnya, ini paling galak ini.

Kenapa banyak perempuan di Kabinet yang saya pimpin? Karena saya yakin kehebatan perempuan. Saya meyakini kehebatan perempuan, saya juga meyakini ketelitian, ketangguhan, dan kesiapan dalam bekerja. Oleh sebab itu, saya juga banyak berharap terhadap peran organisasi perempuan dalam membangun negara ini, dalam membangun Indonesia, termasuk di dalamnya peran besar dari Wanita Katolik Republik Indonesia.

Yang kedua, saya ingin mengingatkan kepada kita semuanya mengenai negara kita Indonesia. Negara ini adalah negara besar. Perlu saya ingatkan negara ini adalah negara besar. Sekarang kita telah memiliki penduduk 263 juta dengan perbedaan-perbedaan yang begitu sangat besar. Ada 714 suku yang kita miliki, ada 1.100 lebih bahasa daerah yang kita miliki, agama berbeda-beda, adat berbeda-beda, tradisi berbeda-beda. Itu bisa kita rasakan dan kita ketahui kalau kita sudah keliling Indonesia.

Saya pernah terbang dari Aceh menuju ke Wamena, bukan Jayapura, tapi di Wamena langsung terbang. Berapa jam dibutuhkan? Sembilan jam lima belas menit. Itu naik pesawat. Kalau jalan kaki bayangkan berapa tahun. Kalau kita terbang dari London di Inggris itu ke timur sampai melewati satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, atau delapan negara, sampai di Istanbul, di Turki itu sembilan jam.

Artinya apa? Negara ini negara besar, negara besar. Kita diberikan anugerah oleh Tuhan keberagaman. 714 suku ini sangat besar sekali. Sangat besar sekali. Coba dibandingkan dengan Singapura. Saya pernah bertanya ke Duta Besar Singapura, ada berapa suku di Singapura. Empat, kita 714. Di Afghanistan, bulan Januari saya ke Afghanistan, saya tanya ada berapa suku di Afghanistan. Tujuh suku, tujuh, kita 714. Di sana tujuh, di sini 714.

Betapa perbedaan-perbedaan dan keragaman ini memang sudah menjadi anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita bangsa Indonesia. Inilah yang patut kita syukuri dan harus kita pelihara, harus kita rawat persatuan kita, persaudaraan kita, kerukunan kita. Karena aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, adalah kerukunan, adalah persaudaraan.

Begitu kita bersatu, coba dilihat tadi, di dalam Asian Games yang biasanya kita ranking 22, ranking 17, ranking 15 bisa masuk ke rangking ke-4 di seluruh Asia. Karena saat bertanding kita enggak pernah berbicara, yang taekwondo itu agamanya apa,  yang wushu Lindswell Kwok itu dari provinsi mana, sukunya apa. Sudah enggak pernah kita berbicara itu. Yang silat itu dari suku mana, dari daerah mana, enggak berpikir. Berpikirnya hanya satu, Bendera Merah Putih berkibar, lagu Indonesia Raya dikumandangkan di pertandingan itu. Hanya itu.

Tapi sering, ini yang sering terjadi adalah karena pilihan bupati, karena pilihan wali kota, karena pilihan gubernur, karena pilihan presiden, ini karena politik saja kadang-kadang kita ini menjadi kelihatan terpecah-pecah. Sehingga saya ingin agar ini disampaikan, jangan sampai karena pesta demokrasi setiap lima tahun, ini setiap lima tahun pasti ada. Bukan hanya 2019 saja, setiap lima tahun pilkada ada, pilpres ada, ada terus. Saya selalu sampaikan, silakan misalnya ada pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, atau pilihan presiden, ada calon A, B, C, D ya sudah dipilih saja. Ada calon A, B pilih saja, menurut rasional kita yang paling baik. Tentu saja perlu kita lihat rekam jejak, track record, prestasinya apa dilihat, atau dalam debat  ada kontestasi, adu program, adu ide, adu gagasan, itu yang dilihat.

Sekarang ini yang muncul justru isu-isu, isu ini, isu ini,  isu ini, ini enggak mencerdaskan kita sebagai rakyat, tidak mematangkan kita dalam berdemokrasi. Itulah yang sering saya sampaikan. Dan jangan sampai kita terbawa oleh suasana itu. Ini bisa memecah kita, kalau kita enggak segera kembali kepada rel bahwa pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, dan pilihan presiden itu akan ada terus setiap lima tahun. Masa sudah, kita ini sudah empat tahun, masih 2014 dibawa-bawa sampai sekarang.

Coba isu-isu mengenai PKI, Presiden Jokowi itu PKI. Lho lho lho,  PKI itu dibubarkan tahun ’65 – tahun ‘66. Saya lahir itu  tahun ’61. Umur saya baru empat tahun, kok bisa jadi aktivis PKI itu dari mana? Enggak ada aktivis PKI balita, itu Enggak ada. Tapi di dalam media sosial banyak sekali gambar-gambar seperti ini. Coba kita lihat gambar. Ini tahun 1955, DN Aidit, Ketua PKI pidato saat itu. Saya cek ini pidato tahun berapa sih, saya cek, tahun ’55. Saya lahir saja belum, kok sudah ada di dekatnya ini.

Tapi banyak yang percaya. Ada, survei kita itu ada enam persen percaya lho. Enam persen itu sembilan juta lebih, percaya. Ini yang pintar yang membuat gambar atau yang enggak benar yang percaya gitu. Tapi yang saya heran kok gambarnya ya persis saya gitu, di dekatnya lagi. Kok persis. Kadang-kadang, aduh ini yang namanya media sosial sekarang ini memang nakal-nakal.

Saat di medsos saya lihat, ini saya atau bukan, saya lihat, oh saya, persis, persis saya. Ini nakalnya media sosial. Tapi ada yang percaya itu. Gambar-gambar seperti itu, banyak gambar-gambar seperti ini bertebaran di media sosial.

Saya itu kalau dari Istana menuju ke Bogor punya waktu satu jam, dari Bogor ke Jakarta punya waktu satu jam. Saya buka-buka berita, buka-buka media sosial, semua saya buka, jadi saya mengerti apa yang menjadi isu, tahu apa yang menjadi isu-isu.

Kemudian isu lagi antek asing, antek aseng. Menuduhnya langsung. Antek asing yang mana? Coba, Blok Mahakam, Blok Mahakam itu blok besar yang dulunya dikelola oleh Perancis dan Jepang, sudah 100 persen saya serahkan kepada Pertamina, sejak 2015. Blok besar, Blok Rokan, Chevron sudah 100 persen dimenangkan oleh Pertamina. Freeport, yang 40 tahun kita hanya diberi 9,3 persen, kita nego, negoisasi sudah empat tahun, sudah head of agreement, sudah sales and purchase agreement. Kita bisa mendapatkan 51 persen, sudah mayoritas. Tapi enggak mudah melakukan ini, baik tekanan politik, baik tekanan kanan-kiri. Apa mudah? Kalau ingin gampang, ya sudah sehari saja selesai, tanda tangan, sembilan persen tetap. Sudah, rampung, enggak ada tekanan apa-apa. Selesai.

Tapi bukan itu kan. Kita ingin national interest kita, kepentingan nasional kita. Kok enggak ada yang demo waktu kita dapat 100 persen, dapat 51 persen ini di depan Istana? Demo mendukung gitu lho. Demo mendukung kok enggak ada? Kalau antek asing, antek asing ramainya kayak gitu.

Kemudian yang berkaitan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA). Katanya ada sepuluh juta tenaga kerja dari Tiongkok membanjiri Indonesia. Mana? Ini isu-isu seperti ini banyak dipercayai. Ini kalau enggak saya terangkan berulang-ulang dipikir sebuah kebenaran. Padahal tenaga kerja asing yang ada di Indonesia paling 80.000-an semuanya. Yang dari Tiongkok itu kurang lebih 24.000. Tenaga kerja kita yang ada di Tiongkok/di China, itu malah 80.000 lebih.  Di sini hanya 24.000, kita di sana 80.000.  Jadi di sana malah antek Indonesia, kalau ngomongnya antek-antekan. Jangan seperti itulah. Negara-negara lain juga menerima kok tenaga kerja asing, dalam rangka memperbaiki SDM yang ada di negaranya.

Coba kita lihat, kita itu enggak ada satu persen tenaga kerja asing di Indonesia. Coba kita lihat, Uni Emirat Arab, 80 persen. Arab Saudi, ada 33 persen tenaga kerja asing di sana. Brunei, 32 persen tenaga kerja asing yang ada di Brunei. Singapura, ada 24 persen tenaga kerja asing yang ada di Singapura. Malaysia, lima persen. Indonesia, 0,03 persen. Satu persen saja enggak ada kok diramaikan? Jutaan, jutaan dari mana? Menghitungnya kapan? Kalau kita ini kan gampang sekali, tanya imigrasi sudah kelihatan. Isu-isu seperti itu kalau enggak dijawab dipikir ini sebuah kebenaran.

Isu-isu harga bahan pokok naik. Ada yang datang ke pasar ngomong harga bahan pokok naik. Inflasinya biasanya sembilan persen, delapan persen, sekarang inflasi di bawah 3,5 persen. Artinya harga itu terkendali. Harga itu terkendali, dikendalikan.

Dipikir saya enggak pernah keluar masuk pasar? Saya juga sering keluar masuk pasar, saya tanya langsung ke pedagang. Saya itu mendengarkan apa yang menjadi keluhan-keluhan juga. Kalau kita bisa mencarikan solusi, mencarikan jalan keluar, ya kita berikan. Tapi kalau yang sulit, misalnya barang impor ya sulit karena pasar internasional.

Terakhir saya masuk di pasar di Semarang. Saya tanya mbok-mbok yang berjualan di pasar, harganya stabil atau enggak stabil, yang naik apa. Saya tanyakan semua. “Enggak ada Pak, hanya ini cabai Pak. Cabainya agak naik.” Tapi ya biasa harga cabai kadang naik kadang turun sampai Rp10.000. Kalau pas turun Rp10.000 yang teriak-teriak petani, “kok murah sekali harga cabai.” Bagaimana, wong semua menanam cabai. Pas harga tinggi semua menanam cabai, begitu panen, semuanya cabai semuanya, harga anjok. Ya seperti itu, biasa fluktuasi seperti itu, semua barang-barang kan biasa, tergantung supply dan demand. Kalau supply-nya banyak harga pasti turun, biasa. Yang paling penting dikendalikan dengan angka-angka yang namanya inflasi. Pegangan kita inflasi, tidak harga yang naik. Ini cabai baru naik, “wah ini cabai naik.” Ya memang supply-nya enggak banyak, pasti naik. Biasa. Setiap tahun kita lihat, kadang telur sudah turun ganti lagi cabai, ya biasa seperti itu.

Jangan sampai kita ini termakan isu-isu yang tidak benar. Wong saya setiap pagi itu bacaan saya apa sih? Harga-harga, angka-angka. Apa yang saya baca itu? Harga-harga. Jangan dipikir saya enggak…. Saya selalu setiap pagi, telur pagi ini berapa, beras berapa. Mungkin dengan ibu-ibu lebih tahu saya. Ibu-ibu kan enggak pernah ke pasar.  Ke pasar? Oh ke pasar. Iya. Ya kalau ke pasar bolehlah komentar, “Pak yang mahal apa.” Wong enggak pernah ke pasar cerita mengenai harga beras. Seperti tadi pagi yang sudah masuk ke saya, pagi-pagi jam 06.00 – jam 06.30  sudah masuk ke saya harga beras Rp11.750, ini turun Rp100. Telur Rp22.950, turun Rp350. Saya hanya tahu turun atau naik, gitu saja. Saya cek turun Rp350. Ayam Rp33.300, turun Rp1.150.

Tapi kalau yang turun-turun ini yang teriak peternaknya. Jangan dipikir kalau turun, turun masyarakat senang, peternaknya teriak-teriak. Telur naik, peternak senang. Begitu turun, ada yang teriak-teriak. Yang sulit itu adalah menjaga keseimbangan, bagaimana masyarakat senang, peternaknya juga senang. Bagaimana masyarakat senang, petaninya juga senang. Jadi menjaga keseimbangan, jadi di sini dengar, di sini dengar. Harus seperti itu. Setiap pagi itu.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Maka secara resmi saya membuka Kongres XX Wanita Katolik Republik Indonesia.

Terima kasih.
Selamat pagi.

 

Sambutan Terbaru