Peresmian Pembukaan the 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021, di Istana Negara, Provinsi DKI Jakarta, 22 November 2021

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 22 November 2021
Kategori: Sambutan
Dibaca: 985 Kali

Bismillahirrahmanirrahim.

 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan.

Yang saya hormati para Menteri,

Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati.

Pada saat kita di G20 maupun di COP26 Glasgow, kita hanya berkutat berbicara mengenai bagaimana skenario global untuk masuk ke transisi energi. Tahun lalu sebetulnya sudah masuk ke tema ini, tetapi juga belum ketemu jurusnya seperti apa, scheme-nya seperti apa. Tahun ini lagi, dibicarakan lagi dan scheme-nya juga belum ketemu. Dijanjikan 100 miliar Dolar AS, tetapi keluarnya dari mana juga belum ketemu.

Saya sendiri ditanya waktu di G20 maupun oleh PM Boris Johnson menyampaikan, “Kalau untuk net zero emission, Indonesia nanti di 2060.” “Kok enggak bisa maju, yang lainnya 2050?” “Ya enggak apa-apa, yang lain-lain kalau hanya ngomong saja juga bisa, saya juga bisa,” saya sampaikan. Roadmap-nya seperti apa? Peta jalannya seperti apa?

Di Indonesia sendiri sebetulnya kita memiliki kekuatan yang sangat besar mengenai renewable energy ini, 418 gigawatt, baik itu dari hydropower, geotermal, bayu, solar panel, biofuel, arus bawah laut, dan yang lain-lainnya. Potensinya sangat besar sekali, tetapi kita harus ingat dan para pemimpin dunia juga saya sampaikan. Tapi kita ini sudah lama dan sudah tanda tangan kontrak, PLTU-nya sudah berjalan, memakai yang namanya batu bara.

Pertanyaannya, skenarionya seperti apa? Misalnya, ini misalnya, pendanaan datang, investasi datang, kan harganya tetap lebih mahal dari batu bara. Siapa yang membayar gapnya ini? Siapa? Ini yang belum ketemu. Negara? Kita? Enggak mungkin. Angkanya berapa ratus triliun?  Enggak mungkin. Atau dibebankan masyarakat? Tarif listrik naik? Juga tidak mungkin. Ramai nanti, gegeran kalau terjadi seperti itu, kan kenaikannya sangat tinggi sekali. Wong naik hanya 10 persen-15 persen saja demonya tiga bulan. Ini naik dua kali. Enggak mungkin. Pertanyaannya, skenarionya seperti apa sekarang kita? Itu yang saya tugaskan kepada Pak Menko Maritim dan Investasi, dan juga kepada Pak Menteri ESDM plus Menteri BUMN.

Yang konkret-konkret saja, tapi kalkulasinya yang riil. Ada hitung-hitungan angkanya yang riil. Kalau ini bisa kita mentransisikan, pasti ada harga yang naik. Lah pas naik ini, pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah? Masyarakat? Atau masyarakat global? Mau mereka nombokin ini? Bukan sesuatu yang mudah, tetapi negara kita, sekali lagi, memiliki potensi yang sangat besar sekali. Sungai, hydropower dari sungai. Indonesia ini memiliki 4.400 sungai yang gede maupun yang sedang, yang bisa kita pakai untuk hydropower. Tapi investasi ini akan besar sekali. Oke, kalau gitu kita coba dua dulu. Saya sampaikan ke Pak Menko, “Coba dua, Sungai Kayan, Sungai Mamberamo.”

Sungai Kayan sudah dihitung kira-kira bisa 13.000 megawatt, Mamberamo bisa kira-kira 24.000 megawatt. Oke, carikan investor yang bisa masuk ke sana. Kalau sudah masuk, jangan masuk lagi ke grid-nya PLN. Buat grid sendiri, masuk ke industri, industrinya siapkan, ada enggak yang mau masuk ke industri ini. Sehingga bulan depan kita akan groundbreaking Green Industrial Park di Kalimantan Utara yang energinya dari hydropower, dari Sungai Kayan.

Industri yang akan masuk mengantre ternyata, yang ini saya kaget, ini mengantre. Kita coba dulu, mengantre. Yang mereka ingin semuanya, produknya itu dicap sebagai green product dengan nilai, dengan harga yang jauh lebih tinggi dari produk-produk yang dari energi fosil. Ini kalau ini jalan, mungkin skenarionya akan lebih mudah. Tapi kalau ini enggak jalan, satu ini. Wah, ini kalau kita mengharapkan global mau gratisan juga enggak mungkin mereka memberikannya nombokin yang gap ini, gratisan enggak mungkin, percaya. Kita sudah berbicara dengan World Bank, dengan investor dari Inggris juga waktu kita di Glasgow. Pertanyaannya pasti ke sana, siapa yang menanggung itu?

Oleh sebab itu, saya minta kepada Bapak-Ibu sekalian, kita coba bersama-sama bagaimana skenario transisi energi ini bisa berjalan, lebih cepat lebih baik, tetapi hitungan-hitungan lapangannya memang harus dikalkulasi secara detail. Sehingga tidak hanya, “Oh, ini di Sungai Kayan bisa dibuat hydropower. Oh, geotermal di gunung ini bisa.” Iya bisa, saya tahu bisa semuanya, tapi siapa yang menanggung angka yang tadi saya sampaikan. Inilah PR besar kita dalam rangka transisi energi dan nanti akan kita ulang lagi tema itu di dalam G20 tahun depan di Bali, Indonesia.

Dan pertanyaan saya nanti, saya tidak ingin, saya enggak mau Bapak-Ibu semuanya cerita pemimpin, saya akan ngomong ke semua pemimpin G20. Saya tidak mau kita bicara lagi kayak dua tahun yang lalu, kayak setahun yang lalu. Saya ingin pertanyaannya ini. Ada kebutuhan dana sekian, caranya, scheme-nya, apa yang bisa kita lakukan? Kalau ada, berarti bisa menyelesaikan transisi energi. Kalau ndak, ya kita enggak usah bicara. Pusing, tapi enggak ada hasilnya.

Sekali lagi, saya minta masukan dengan kalkulasi yang detail, angka-angka kenaikannya berapa, gap yang harus dibayar berapa untuk Indonesia saja. Kalau ketemu, kemudian syukur bisa dirumuskan, “Pak, ini dari jurus ini bisa diselesaikan, dari sisi ini bisa diselesaikan,” Itu yang kita harapkan. Kalau ketemu, saya bisa sampaikan nanti di G20, di Bali tahun depan.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, siang hari ini, Indonesia Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Konferensi dan Ekshibisi ke-10 tahun 2021 saya nyatakan resmi dibuka.

Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru