Perjuangan Para Seniman Melalui Karya Seni
Setiap orang punya ruangnya sendiri untuk berjuang dan berkarya. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa berjuang dan berkarya memiliki makna yang sangat luas. Siapa pun dapat berkontribusi untuk bangsanya melalui profesi dan keahlian masing-masing, tidak terkecuali orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk sebuah profesi yang kita kenal dengan istilah seniman.
Tulisan ini menyajikan sisi lain perjuangan para seniman yang memiliki andil besar dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Peran para seniman tersebut mengisyaratkan bahwa berjuang tidak selamanya harus dengan mengangkat senjata.
Salah satu bentuk dukungan dan kontribusi seniman terhadap perjuangan adalah munculnya berbagai produk seni sebagai bentuk ungkapan mereka dalam mengekspresikan dirinya, salah satunya adalah dalam bentuk lukisan.
Bentuk ungkapan dari luapan jiwa yang tulus dan murni para seniman mampu menghasilkan karya dalam bentuk lukisan poster-poster perjuangan yang menghipnotis dan membakar semangat para pejuang untuk habis-habisan membela tanah air. Melalui karya-karya yang dihasilkannya, mereka mampu mengobarkan semangat bagi para pejuang.
Lukisan Memanah karya Henk Ngantung misalnya, dapat memberikan inspirasi kepada Bung Karno dalam usaha-usaha memberikan semangat kepada para pemuda untuk merebut kemerdekaan. Lukisan ini menjadi sangat istimewa bagi pribadi Sukarno karena lukisan ini turut menjadi saksi sejarah bagi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara formal Sukarno mengonsep lukisan ini sebagai latar belakang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dan 28 hari setelah Indonesia Merdeka, tepatnya pada 14 September 1945 lukisan ini kembali digunakan sebagai latar belakang pada acara konferensi pers perdana bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka.
Dari dua peristiwa tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan apabila lukisan ini memiliki kedudukan yang sangat penting dan dapat disejajarkan dengan bendera pusaka. Keduanya memiliki arti yang sangat penting bagi sejarah berdirinya sebuah Negara yang bernama Indonesia.
Hendrik Joel Hermanus Ngantung yang kemudian lebih dikenal dengan Henk Ngantung, lahir di Bogor pada 1 Maret 1921. Sejak kecil telah menetap dan tumbuh di Tomohon, Manado. Sejak Sekolah Dasar Henk sudah menyukai dunia melukis. Pada tahun 1937 Henk pindah ke Bandung dan belajar melukis pada Prof. Rudolf Wenghart (pelukis Austria) dan sempat belajar pada dosen Sukarno ketika kuliah di Technische Hoge School Bandung, yaitu Prof. Wolf Schoemaker.
Hanya sekitar tiga tahun di Bandung kemudian pada tahun 1940 Henk berpindah ke Batavia dan bergabung dalam pameran Bataviasche Bond van Kunstkringen (Batavia Association of Art Circle). Selama masa perang kemerdekaan, Henk menjadi anggota militer Kebaktian Rakyat Sulawesi dan juga membuat sketsa tentang perjuangan. Pada masa pendudukan Jepang, ia aktif di Keimin Bunka sidosho.
Ketertarikan Sukarno pada lukisan Memanah karya Henk Ngantung ini berawal ketika Sukarno mengunjungi pameran lukisan yang diadakan oleh Keimin Bunka sidosho pada tahun 1944 di Jakarta. Pertama kali melihat lukisan memanahini, Sukarno langsung kepincut. Menurutnya, lukisan ini dapat menjadi simbol bangsa Indonesia yang terus, terus, dan terus bergerak maju, Paulatim Longius Itur.
Ketika pameran usai, diam-diam Sukarno bertandang ke Studio Henk Ngantung dan berniat untuk membeli lukisan dimaksud. Pada awalnya Henk tidak mau menjualnya karena menurutnya lukisan itu belum sempurna. Namun demikian, dengan segala bujuk rayu yang dilakukannya, Sukarno akhirnya dapat mewujudkan keinginan untuk memiliki koleksi yang sangat luar biasa itu. Untuk Sukarno saya dapat hadiahkan lukisan itu, tapi saya juga perlu uang ujar Henk Ngantung.
Henk juga mengatakan bahwa pada bagian lengannya masih perlu diperbaiki, sehingga untuk menyelesaikannya, ia perlu model. Secara spontan Sukarno kemudian menyatakan dirinya bersedia untuk dijadikan sebagai model. Aku, Sukarno akan jadi model. Henk sangat terperangah dan tidak dapat menolaknya. Pada akhirnya lukisan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan 2 orang model. Pada bagian wajah pemanah, Henk mengambil model seorang sastrawan pada era revolusi yang bernama Marius Ramis Dajoh atau yang lebih dikenal dengan M.R. Dajoh Sementara untuk bagian lengan, Sukarno sendiri yang menjadi modelnya. Dalam waktu sekitar setengah jam proses menyelesaikan perbaikan pada bagian lengan pun usai. Lukisan itu kemudian masuk mobil dan Sukarno bergegas membawa lukisan menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, tampak telah banyak tamu-tamu yang telah menunggunya. Sukarno dengan bangga memamerkan koleksi yang baru saja ia miliki itu kepada rekan-rekannya dan kemudian menggunakan lukisan ini sebagai materi visual pada dinding beranda rumah yang ditinggalinya di Jl. Pegangsaan Timur 56. Lukisan ini menjadi sangat berharga, lebih dari sekedar lukisan biasa.
Pada gambar di bawah ini kita dapat menyaksikan bagaimana Konferensi pers perdana sedang berlangsung. Dengan kursi kayu dan meja sederhana yang berukuran kecil, pada waktu itu para pembesar negeri yang baru sebulan memproklamirkan diri masih masih harus mencari pola untuk menghadapi puluhan wartawan yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Kita dapat menyaksikan Bagaimana lukisan memanah menambah wibawa para pemimpin republik ini. Di depan lukisan kebanggaan Henk, duduk Presiden I Republik Indonesia Ir. Sukarno, Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta (2 kanan), Menteri Luar Negeri Mr Ahmad Soebardjo (kiri), dan Menteri Dalam Negeri Wiranata Kusumah.
Sukarno sangat menyukai adegan memanah. Selain karena interpretasi memanah sangat terkait dengan adegan dalam pewayangan, dapat juga diinterpretasikan sebagai bentuk perlawanan antara Timur dan Barat yang memakai senapan pada masa penjajahan. Memanah juga merupakan permainan/olah raga atau seni yang membutuhkan ketangkasan, kecermatan, dan kejujuran.
Ada sebuah cerita ringan yang terkait dengan lukisan memanah ini. Menurut Jusuf Ronodipuro, pejabat era Sukarno yang juga sebagai seorang kolektor lukisan, karya ini mempunyai kekuatan magis karena berkali-kali memiliki jasa dalam menyelamatkan penghuni rumah dari perbuatan jahat tentara Belanda. Pada pojok kanan atas terdapat 3 buah lubang peluru yang ditembakkan pada saat peringatan 1 tahun kemerdekaan dimana telah gugur seorang anggota pandu Indonesia. Pada tahun 1946 1947 lukisan ini pernah dibawa keliling Jawa untuk dipamerkan. Saat ini lukisan yang kondisinya sudah mengalami kerusakan cukup parah, disimpan di Museum Istana Kepresidenan.