Perlindungan Hak Asasi Digital
Oleh: Kartika Puspitasari, S.H.*)
Dinamika perkembangan dan kemajuan teknologi telah membuat perubahan yang nyata dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Teknologi informasi, media elektronik, dan internet adalah kata kunci dalam kehidupan sehari-hari masyarakat global, termasuk masyarakat Indonesia. Khusus untuk penggunaan internet, tidak hanya digunakan sebagai media hiburan, internet juga digunakan untuk kegiatan lainnya seperti sekolah, bekerja, pelayanan kesehatan, dan bahkan berpolitik. Jumlah pengguna internet di Indonesia sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat melalui data yang dilansir pada laman Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada tahun 2021, terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia atau meningkat sebanyak 11 persen dari tahun 2020 yang terdata sebanyak 175,4 juta pengguna internet. Namun demikian, menarik untuk diperhatikan apakah ada korelasi antara jumlah pengguna internet yang tinggi di Indonesia dengan kesadaran atas hak-hak asasi di bidang digital yang melekat pada pengguna tersebut sebagai subjek hukum.
Dalam tulisan ini akan dibahas 2 (dua) isu besar, pertama, tentang pengertian hak asasi digital beserta kerangka hukum yang mengaturnya, kedua, penerapan hak asasi digital di Indonesia, ASEAN, European Union, dan praktik oleh penyedia aplikasi digital.
Kerangka Hukum Perlindungan Hak Asasi Digital
Hak asasi digital merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia universal yang bersifat konkret dan dijamin oleh hukum internasional serta konstitusi negara-negara di dunia. Hak asasi digital dipahami sebagai sekumpulan hak-hak masyarakat untuk mengakses, menggunakan, menciptakan, menyebarluaskan kerja digital, serta untuk mengakses dan menggunakan komputer dan perangkat elektronik lainnya, termasuk jaringan komunikasi, khususnya internet. Berdasarkan definisi tersebut, masyarakat memiliki hak untuk mengakses dan menggunakan kerja digital, salah satunya menggunakan internet. Hal ini juga menjadi materi dalam Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 28F UUD 1945 dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Rumusan tersebut menjadi dasar pemberian hak digital bagi masyarakat. Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam bagian Hak Mengembangkan Diri pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). UU HAM melegitimasi bahwa internet dapat digunakan untuk mengembangkan diri pribadi setiap orang. Namun sayangnya, dalam pelaksanaannya masih terjadi ketimpangan akses internet di Indonesia, yang utamanya disebabkan oleh infrastruktur yang belum merata.
Internet juga digunakan secara masif untuk mengakses platform digital dalam rangka penyebarluasan informasi. Era digital memang telah mempercepat dan mempermudah penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas tetapi hal ini juga tidak luput dari permasalahan yang melekat, misalnya penyampaian pendapat atau informasi yang bersifat hate speech dan hoax. Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat dijamin dalam Konstitusi, yaitu Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Rumusan ketentuan tersebut bersifat fundamental tetapi bukan berarti kebebasan tersebut bersifat mutlak, melainkan terdapat batasan-batasan yang perlu diatur secara jelas dalam undang-undang. Pembatasan tersebut utamanya dilakukan karena berkaitan dengan hak orang lain (hak atas kehormatan dan nama baik), sebagaimana telah diatur dalam Universal Declaration on Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga tidak boleh dilanggar dengan dalih kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Selanjutnya, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Perlindungan diri pribadi dalam era digital saat ini sangat erat dengan perlindungan data pribadi. Pengaturan terkait perlindungan data pribadi belum secara khusus diatur dalam undang-undang. Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, menyatakan bahwa “Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.” Penjelasan pasal tersebut adalah perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights) yang mencakup hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan, hak untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai, dan hak untuk mengakses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Pemerintah telah menginisiasi pembentukan RUU Perlindungan Data Pribadi, tetapi hingga tulisan ini dibuat masih dalam proses pembahasan antara Pemerintah dengan DPR. Instrumen tersebut menjadi penting untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi digital bagi seluruh masyarakat.
Jika dibandingkan dengan negara lain, beberapa negara telah secara aktif dan komprehensif mengadopsi dokumen hukum terkait isu Hak Asasi Digital, seperti (i) Italia telah memiliki Declaration of Internet Rights pada tahun 2015; (ii) Selandia Baru telah memiliki New Zealand Digital Communication Acts pada tahun 2015; (iii) Prancis memiliki Digital Republic Acts pada tahun 2016, dan (iv) Brazil, telah memiliki Marco Civil da Internet pada tahun 2014.
Hak Asasi Digital di ASEAN
Dalam lingkup regional, ASEAN memiliki ASEAN Framework on Digital Data Governance (AFDG), yang disahkan pada 18th ASEAN TELMIN Meeting pada bulan Desember 2018. AFDG menetapkan prioritas strategis, prinsip, dan inisiatif sebagai pedoman bagi negara anggota ASEAN dalam menyusun kebijakan dan peraturan terkait digital data governance pada digital ekonomi. Terdapat 4 (empat) prioritas strategis, yaitu: (i) Data Life Cycle & Ecosystem; (ii) Cross Border Data Flows; (iii) Digitalisation and Emerging Technologies; dan (iv) Legal and Regulatory. Outcomes yang ditargetkan dalam legal and regulatory yaitu tercipta harmonisasi hukum dan peraturan di negara-negara anggota ASEAN, termasuk perlindungan data pribadi.
Lebih lanjut, ASEAN juga memiliki Strategic Plan for Information and Media 2016-2025 yaitu rencana strategis jangka waktu 10 tahun yang akan menjadi pedoman dalam pengembangan dan kerja sama pada sektor informasi dan media di kawasan ASEAN. Beberapa poin kunci strategis dari ASEAN Strategic Plan for Information and Media 2016-2025, di antaranya: (i) memajukan kerja sama dan kesepakatan di level ASEAN guna menyediakan mekanisme regional untuk mempromosikan akses terhadap informasi; (ii) mendorong perkembangan program dan penyebarluasan informasi tentang manfaat dan peluang yang ditawarkan oleh komunitas ASEAN dan mempromosikan sikap saling menghormati, menghargai keragaman, dan memiliki rasa kepemilikan di kawasan regional ASEAN; (iii) memanfaatkan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi di berbagai kelompok sebagai sarana untuk terhubung dengan komunitas regional dan global; dan (iv) melibatkan profesional media, penelitian, bisnis, dan entitas lain dalam pengembangan kolaboratif konten yang relevan dengan ASEAN.
Hak Asasi Digital di European Union
European Union (EU) telah mengatur hak atas perlindungan data dalam Pasal 16 Treaty on the Functioning of the European Union dan Pasal 39 Treaty on European Union serta pengakuan bahwa perlindungan data pribadi merupakan hak fundamental yang tercantum dalam Piagam Hak Fundamental Uni Eropa.
Kesiapan EU dalam menghadapi era digital juga dilakukan dengan menerbitkan paket perlindungan data pada bulan Mei 2016, yaitu General Data Protection Regulation (GDPR). Pengaplikasian GDPR ini ke negara-negara anggota pada tanggal 25 Mei 2018 merupakan hal esensial untuk menguatkan hak-hak fundamental masyarakat di era digital. GDPR merupakan hukum yang mengatur secara rinci terkait privasi dan keamanan di dunia. Meskipun dirancang dan disahkan oleh EU, GDPR berlaku bagi setiap organisasi di manapun selama organisasi tersebut menargetkan atau mengumpulkan data yang terkait dengan masyarakat EU. GDPR menerapkan prinsip-prinsip dalam kaitannya dengan processing of personal data, yaitu: (i) lawfullness, fairness, and transparency; (ii) purpose limitation; (iii) data minimisation; (iv) accuracy; (v) storage limitation; dan (vi) integrity and confidentiality. GDPR juga memberikan denda yang sangat berat terhadap setiap pelanggaran standar privasi dan keamanannya, dengan hukuman mencapai puluhan juta euro.
Implementasi Hak Asasi Digital oleh Penyedia Aplikasi Digital
Dalam perspektif pelaku bisnis penyedia aplikasi digital, Meta selaku perusahaan induk dari Facebook, telah berkomitmen untuk melindungi HAM pengguna di platform–nya. Sejak tahun 2019, telah dibentuk dedicated team yaitu Human Rights Policy Team yang salah satunya berada di Asia Pasifik. Meta berkomitmen untuk melakukan uji tuntas HAM (Human Rights Impact Assessment) berdasarkan standardisasi HAM PBB untuk seluruh platform digital guna mengidentifikasi risiko HAM dan meminimalkan kerugian pengguna. Human Rights Impact Assessment adalah proses untuk mengidentifikasi, memahami, menilai, dan mengatasi dampak buruk dari proyek bisnis atau kegiatan yang akan berdampak terhadap penikmatan HAM, seperti bagi pekerja dan anggota masyarakat. Prinsip-prinsip Panduan PBB dengan tegas menetapkan tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM sebagai standar perilaku yang diharapkan. Hal ini termasuk harapan bahwa sektor bisnis dapat mengimplementasikan uji tuntas untuk mengidentifikasi, menghindari, memitigasi, dan memulihkan dampak HAM yang melibatkan mereka.
Berdasarkan uji tuntas tersebut, Facebook dilaporkan telah mengurangi hambatan terhadap kesediaan informasi sehingga pengguna lebih terlindungi. Lebih lanjut, Meta menjadi satu-satunya platform yang memiliki Coorporate Human Rights Policy yang bertujuan untuk melindungi HAM dan pejuang HAM.
Indonesia dan Pemenuhan Hak Asasi Digital
Masih terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya pemenuhan hak asasi digital. Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan oleh Pemerintah adalah: (i) peningkatan digital literacy dan capacity building guna memastikan pengguna internet memahami hak dan kewajibannya di dunia digital; (ii) pemenuhan kebutuhan infrastruktur digital guna mendukung pemerataan akses internet bagi seluruh rakyat Indonesia; (iii) menyegerakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan dalam melindungi HAM di bidang digital, salah satunya adalah RUU Perlindungan Data Pribadi; dan (iv) Pemerintah juga harus dapat menentukan peran yang tepat, agar dapat menyeimbangkan perlindungan individu dan nilai-nilai masyarakat dengan pemberian hak kebebasan berpendapat di dunia digital. Di samping itu, masyarakat juga diharapkan dapat menjalankan fungsi kontrol terhadap penggunaan internet, agar hak asasi digital dapat terpenuhi sekaligus terlindungi.
———————-
*) Kepala Subbidang Hubungan Regional Amerika dan Eropa, Asisten Deputi Bidang Hubungan Internasional, Kedeputian Polhukam, Sekretariat Kabinet RI.