Perlindungan Hak Asasi Manusia: Catatan dari Penyelenggaraan the 41st Session of the Universal Periodic Review (UPR) Indonesia

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 4 Desember 2022
Kategori: Opini
Dibaca: 2.308 Kali


Oleh: Wening Hapsari Marifatullah*)

Sekilas tentang UPR Indonesia
Universal Periodic Review (UPR) secara harfiah diterjemahkan sebagai “Tinjauan Berkala Universal”. UPR merupakan mekanisme Dewan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan kesempatan kepada 198 negara anggota PBB menyampaikan laporan berupa upaya dan tantangan pemajuan HAM di masing-masing negara, sekaligus bertukar pengalaman dengan negara lain.

Pada penyelenggaraan the 41st Session of the Universal Periodic Review (UPR) Working Group yang salah satunya menempatkan Indonesia sebagai State under Review (SuR), Indonesia mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM dengan anggota Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Luar Negeri; Kementerian Hukum dan HAM; Kementerian Sosial; Kejaksaan Agung; Mahkamah Konstitusi; Kepolisian Negara Republik Indonesia; Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa; dan Sekretariat Kabinet. Beberapa perwakilan lembaga HAM nasional dan organisasi kemasyarakatan turut hadir sebagai pemantau yaitu Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komnas Perempuan, Kontras, Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), Human Right Working Group (HRWG), dan Amnesty Internasional Indonesia.

Indonesia telah mengalami 4 (empat) siklus untuk dievaluasi sebagai SuR berturut-turut pada tahun 2008, 2012, 2017 dan terakhir di tahun 2022 ini. Proses UPR Indonesia siklus ke-4 sendiri telah dimulai dengan penyampaian dokumen Laporan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 8 Agustus 2022.

Proses tersebut diikuti dengan dialog interaktif pada sesi reviu UPR yang menghasilkan 269 rekomendasi dari 108 negara anggota PBB dan sesi adopsi informal dengan keputusan menunda/defer terhadap seluruh rekomendasi. Sikap Indonesia untuk “menunda/defer” terhadap seluruh rekomendasi guna dikonsultasikan dengan stakeholder nasional sebelum diputuskan untuk “diterima/support” atau “dicatat/noted” akan disampaikan oleh Indonesia paling lambat bulan Maret 2023 kepada negara-negara anggota PBB. Di sela pleno reviu dan adopsi, diadakan sesi pertemuan Troika Indonesia (grup berisi tiga negara serangkai yang dipilih berdasarkan pengundian) yaitu Malawi, Uzbekistan, Bolivia yang bertugas sebagai “rapporteurs” untuk membantu identifikasi, klasifikasi, dan tindak lanjut masukan dan rekomendasi negara-negara anggota PBB.

Selain untuk mendokumentasikan pengalaman mengikuti kegiatan tersebut, catatan ini disusun sebagai upaya pemahaman atas kewajiban pemerintah melindungi hak asasi manusia yang dinilai oleh organ PBB. Secara umum, catatan dibagi dalam dua pembahasan: pertama, uraian penyelenggaraan reviu dan adopsi informal UPR; dan kedua, proyeksi tindak lanjut komitmen pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia beserta pemetaan tantangan yang dihadapi.

UPR Indonesia 2022: Di Antara Pujian dan Ujian
Pelaporan UPR Indonesia 2022 terbilang istimewa karena terkonsentrasi pada kebijakan penanganan pandemi COVID-19 yang mendapat apresiasi dari negara-negara anggota PBB. Sebagaimana luas dipublikasikan, dalam pemenuhan hak asasi manusia terkait penanganan COVID-19, Pemerintah mengambil langkah-langkah, yaitu:

Pertama, pembentukan Satuan Tugas Nasional COVID-19 untuk koordinasi dalam rangka mitigasi dan pengendalian pandemi termasuk penerbitan panduan protokol kesehatan untuk umum, lanjut usia, dan kelompok disabilitas.

Kedua, hak atas kesehatan dengan akselerasi pelayanan kesehatan, pelacakan kontak transmisi virus, asistensi sosial, dan vaksinasi gratis hingga menjangkau ke daerah terpencil dengan pelibatan TNI/Polri bersama-sama dengan kementerian terkait.

Ketiga, inovasi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan, Bantuan Langsung Tunai, Subsidi Listrik, Insentif Perpajakan, dan Kartu Prakerja.

Keempat, hak atas pendidikan dengan peningkatan infrastruktur dan konektivas serta subsidi kuota internet untuk mendukung program sekolah daring.

Kelima, perlindungan untuk kelompok rentan dengan penguatan mekanisme pelaporan kasus kekerasan perempuan dan anak melalui perpesanan daring, program asimilasi narapidana untuk mengurangi kepadatan di lapas, fasilitasi repatriasi bagi pekerja migran Indonesia, dan pemenuhan hak kesehatan mental melalui pusat panggilan telepon “Sejiwa” yang melayani edukasi, konsultasi, dan asistensi psikologi terkait dampak pandemi.

Di luar penanganan pandemi, Indonesia juga mendapat pujian pada sesi dialog interaktif tinjauan UPR atas inovasi produk-produk kebijakan yang berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar, kelompok rentan, dan kemanusiaan. Salah satu produk kebijakan dimaksud adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) terkait Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan upaya reformasi hukum untuk menggantikan KUHP yang merupakan produk kolonial. Isu lain yang juga mendapat tanggapan positif adalah perlindungan perempuan dan anak melalui pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di antaranya mengatur batas usia pernikahan anak.

Berdasarkan tema, terdapat 19 kelompok isu dari 269 rekomendasi yang disampaikan oleh 108 negara anggota PBB. Tiga tema teratas yang menjadi topik hangat dalam Sesi Reviu UPR Indonesia adalah pertama, kesetaraan gender dan perlindungan dan pemajuan hak perempuan dan anak mencapai 64 rekomendasi (23,79 persen). Kedua, penguatan kerangka hukum dan kelembagaan sebanyak 38 rekomendasi (14,13 persen). Ketiga, penguatan dan kerja sama dengan instrumen dan mekanisme HAM internasional sebesar 37 rekomendasi (13,75 persen). Keseluruhan isu tematik UPR Tahun 2022 dapat dilihat pada gambar matriks di bawah ini.

Matriks Isu Tematik Universal Periodic Review (UPR) Indonesia Tahun 2022

Meskipun tidak mendominasi materi dialog interaktif, beberapa tema perlu mendapat perhatian. Pertama, terdapat 28 rekomendasi terkait isu kebebasan berekspresi dan beragama, serta isu pembela HAM yang ramai diperbincangkan di kalangan organisasi masyarakat sipil di dalam negeri. Kedua, isu Papua yang mengalami peningkatan kuantitas masukan dari 3 rekomendasi pada tahun 2017 menjadi 10 rekomendasi. Ketiga, di dalam rumpun tema instrumen dan mekanisme HAM internasional, isu ratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Melawan Penyiksaan (OPCAT) menjadi atensi negara-negara anggota PBB. Sedangkan di dalam rumpun penguatan kerangka hukum dan kelembagaan, isu hukuman mati menjadi topik hangat yang diangkat ke permukaan. Di dalam pleno interaktif UPR, Pemerintah melalui Delegasi RI (Delri) berkesempatan menyampaikan tanggapan untuk menjelaskan situasi aktual, prakarsa yang telah diupayakan, serta tantangan yang dihadapi di tanah air.

Terkait isu perlindungan pembela HAM,  Delegasi menyampaikan bahwa perlindungan HAM dijamin oleh konstitusi secara setara tanpa memandang latar belakang. Komnas HAM telah mengesahkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Pembela HAM sebagai panduan kewajiban pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pembela HAM. Panduan tersebut sekaligus menegaskan bahwa pegiat HAM dan organisasi masyarakat sipil adalah mitra Pemerintah yang memiliki satu tujuan untuk bersama-sama mengupayakan promosi dan pemajuan HAM.

Delri juga menyampaikan tanggapan terkait isu Papua dalam pidato pembukaan oleh Menkumham dan dalam sesi tanya jawab. Poin penting yang disampaikan adalah akselerasi pemajuan dan perlindungan HAM melalui pembangunan afirmatif dengan pendekatan kesejahteraan. Pemerintah RI dalam rangka pembangunan infrastruktur dasar dan peningkatan sumber daya manusia telah melakukan terobosan di antaranya dengan melakukan pemekaran provinsi baru, mengalokasikan anggaran, memberikan asistensi kepada pemerintah daerah, dan menyelenggarakan otonomi khusus di Papua di tengah tantangan keamanan oleh kelompok separatis.

Di samping itu, terkait isu hukuman mati dan ratifikasi OPCAT, Delri menyampaikan bahwa Pemerintah saat ini membuat rumusan hukuman mati sebagai alternatif terakhir dalam R-KUHP dan istilah “penyiksaan” dalam R-KUHP telah disesuaikan dengan definisi dalam United Nations Convention Against Torture (UNCAT).

Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah mekanisme UPR seyogianya tidak dapat dilihat sebagai ajang diplomasi mencari pujian dengan memaparkan pencapaian aksi HAM untuk kepentingan politik luar negeri semata. Sebaliknya, tinjauan berkala universal membuka peluang bagi Indonesia untuk secara akuntabel menjelaskan berbagai dinamika persoalan HAM yang menjadi ujian sekaligus mengonfirmasi relevansi isu-isu sensitif di tingkat global dengan konteks hukum, norma, dan praktik di dalam negeri. Lebih lanjut, komentar dan rekomendasi yang disampaikan oleh negara-negara anggota PBB yang didasarkan pada laporan nasional Pemerintah RI, laporan bayangan kelompok masyarakat sipil, atau informasi media dan stakeholder terkait menjadi masukan berharga dalam rangka pemajuan HAM di Indonesia.

HAM adalah Kata Kerja
Tidak dapat dipungkiri bahwa sederet permasalahan HAM masih menjadi pekerjaan rumah menunggu untuk diselesaikan. Namun demikian, jika merunut jauh kebelakang sejak siklus pertama UPR tahun 2008, terdapat indikasi peningkatan kapasitas HAM.  Berturut-turut pada tahun 2008 Indonesia hanya mendukung 9 rekomendasi, tahun 2012 mendukung 150 dari 180 rekomendasi, dan tahun 2017 mendukung 167 dari 225 rekomendasi. Data tersebut menunjukkan komitmen pemerintah dan pemangku kepentingan bahwa secara historis sejak UPR siklus pertama, kerja-kerja promosi dan perlindungan HAM sudah banyak mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik.

Alih-alih menjadikan UPR sebagai validasi untuk mengadili situasi HAM yang dihadapi oleh Indonesia, ada baiknya mengonstruksi tinjauan periodik ini sebagai sebuah proses kerja berkesinambungan untuk menjamin agar setiap individu dan kelompok mendapat perlindungan terhadap hak dan kebebasan yang asasi. Dengan demikian dibutuhkan upaya dari semua pihak baik pemerintah, kelompok masyarakat sipil, institusi bisnis, dan komunitas madani untuk bersama-sama mengupayakan formula terbaik dalam rangka penghormatan dan penghargaan HAM. Pada akhirnya tidak ada kerja kemanusiaan yang berproses secara instan dan tidak ada negara yang sempurna bebas dari persoalan kemanusiaan.

*) Analis Hukum pada Subbidang Penegakan Hak Asasi Manusia, Kedeputian Bidang Polhukam)

Opini Terbaru