Perlunya Audit dan Standardisasi Lembaga Penyelenggara Umroh

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 10 Maret 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 113.780 Kali

UmrohOleh: Eddy Soetjipto*)

Semenjak pemerintah memberlakukan secara total sistem kuota dalam penyelenggaraan ibadah haji, yang mengakibatkan waktu tunggu yang cukup lama bagi para ummat muslim yang ingin menunaikan ibadah haji, ibadah umroh menjadi pilihan bagi mereka yang menginginkan segera menuju Baitullah, di Mekkah Al Mukarromah.

Biaya perjalanan umroh antara Rp 17 juta – Rp 30 juta sepertinya tidak menjadi masalah bagi sebagian umat Islam di tanah air untuk bersegera melaksanakan Tawaf, Sa’i, dan melakukan Tahalul di Masjidil Haram. Karena itu, tidak mengherankan jika jemaah umroh asal Indonesia mendominasi tempat-tempat yang memiliki nilai sakral, baik di kota Mekkah maupun di Madinah sepanjang tahun sebelum masa ibadah umroh dihentikan untuk penyelenggaraan ibadah haji.

Besarnya dominasi jemaah asal Indonesia itu tidak saja bisa dilihat dari fasihnya hampir sebagian besar para pedagang di Mekkah, Madinah maupun Jeddah dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tetapi bisa juga dilihat dari diterimanya mata uang Rupiah dalam beberapa transaksi dengan para pedagang di kota-kota tersebut dengan kurs yang lumayan. Selain itu, di beberapa tempat juga banyak restoran atau warung yang khusus menjajakan makanan khas Indonesia, seperti Rumah Makan Makanan Indonesia di Madinah, hanya beberapa meter dari Masjid Nabawi; dan Bakso Mang Oedin di Ballad, Jeddah.

Kementerian Agama mencatat sejak 1 Januari hingga 7 Mei 2015 lalu, jumlah jamaah umrah mencapai 24.869 orang. Rata-rata setiap hari sebanyak 195 jamaah umrah berangkat ke Arab Saudi, tercatat rata-rata setiap bulannya mencapai 5.602 orang. Jumlah jamaah umrah ini diprediksi semakin banyak pada selama bulan puasa, awal Idul Fitri, dan hari-hari besar keagamaan Islam lainnya, serta hari libur sekolah. Bahkan Direktur Cabang Kementerian Haji Arab Saudi, Mohammed bin Abdulrahman Albejaoa, mengatakan Indonesia berada di urutan teratasdiikuti oleh Pakistan, Turki, Mesir, Iran, Malaysia dan India, dalam mengirimkan jemaah umrohnya ke Saudi Arabia.

Tidak Semua Tentang Cerita Indah

Besarnya minat umat Islam di tanah untuk melaksanakan ibadah umroh itu, tentu saja merupakan peluang bisnis yang menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan umroh. Mereka berlomba-lomba merebut peluang tersebut dengan menawarkan berbagai kemudahan, khususnya dalam hal biaya. Beberapa biro perjalanan bahkan berani memberikan penawaran ‘tidak masuk akal’ dalam soal biaya ini, misalnya hanya dengan membayar Rp 14,5 juta bisa berangkat ke tanah suci. Tidak masuk akal karena biaya tiket Jakarta – Jeddah PP saja paling murah sudah Rp 13,5 juta, belum biaya penginapan, konsumsi, dan perjalanan Jeddah – Madinah – Mekkah – Jeddah atau sebaliknya.

Tidak mengherankan jika disamping besarnya dominasi jemaah umroh asal Indonesia, besar juga masalah yang dibawah oleh jemaah umroh Indonesia di Tanah Suci. Bukan hal aneh jika banyak penyelenggara perjalanan umroh yang melepaskan begitu saja jamaahnya setibah di Madinah atau Mekkah, tanpa adanya muthowwif atau wakil biro perjalanan yang mendampingi mereka melaksanakan ibadah umroh. Tidak itu saja, jamaah pun harus siap merogok kocek sendiri untuk memenuhi kebutuhan makanan agar bisa memenuhi standar kesehatan, dan harus bersedia tinggal berdesak-desakan di penginapan yang tidak memenuhi standar.

Beberapa biro perjalanan bahkan memberikan tiket pulang ‘abal-abal’, seolah-olah tiket pulang sudah diissued, namun pas di Bandara King Abdul Azis Jeddah ditolak oleh maskapai karena belum ada pembayaran. Akibatnya, jamaah harus rela menunda kepulangan, yang terkadang bisa beberapa hari hingga biro perjalanan di Jakarta melunasi tiket penerbangan kembali ke Jakarta. Masih beruntung jika biro perjalanan menyediakan tempat penginapan selama ‘menunggu’ kepastian terbang kembali ke tanah air itu, karena ada beberapa yang ‘menelantarkan’ jamaahnya di Bandara King Abdil Azis.

 Jangan heran pula, jika terkait tiket ini kemudian jamaah harus siap berganti maskapai, tidak sesuai yang dijanjikan penyelenggara umroh sebelumnya. Ujung-ujungnya perjalanan ke tanah air pun bisa menjadi panjang, karena beberapa maskapai tidak terbang langsung dari Jeddah ke Jakarta, tapi transit terlebih dahulu di Dubai (UEA), Doha (Qatar), Brunai Darussalam, dan bahkan Kolombo (Srilangka), entah beberapa jam lamanya.

Jangan dibayangkan lagi betapa tersiksanya para jamaah, yang sudah kehabisan tenaga melaksanakan ibadah umroh dan menghadapi cuaca yang tidak bersahabat selama tinggal di Madinah dan Makkah. Selain itu, karena sudah tahap perjalanan pulang, sebagian besar jamaah sudah tidak memiliki bekal uang yang cukup, karena telah mereka habiskan untuk belanja selama di Tanah Suci.

Sungguh menyedihkan, disamping kebanggaan melihat dominasi jamaah umroh Indonesia di tanah suci, di saat yang sama harus menyaksikan banyaknya jamaah Indonesia yang terlantar di beberapa tempat. Padahal bagaimanapun mereka adalah duta-duta bangsa yang membawa nama bangsa di manapun mereka berada.

Audit dan Standardisasi

Beberapa perusahaan penyelenggara perjalanan umroh memang tidak melakukan hal seperti itu, terutama perusahaan-perusahaan yang sudah punya nama, yang biasanya  menarik biaya sedikit lebih mahal, setidaknya di atas US$ 1600 atau sekitar Rp 25 jutaan. Namun meski sedikit lebih mahal, mereka bisa memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang dijanjikan, mulai pesawat tepat waktu, penginapan yang sesuai dengan jarak yang terjangkau, dan menu catering yang memenuhi standar kesehatan.

Tidak seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara umroh yang menawarkan biaya sekitar Rp 14 juta – Rp 19 juta. Perusahaan-perusahaan ini biasanya tidak memberikan jadwal yang pasti tentang jadwal keberangkatan, kepulangan, dan selama perjalanan di Madinah atau di Mekkah. Tempat penginap pun biasanya ditulis, misalnya hotel bintang tiga/setaraf. Namun sesampai di Mekkah atau Madinah, yang dipilih bukan hotel yang ditulis, tapi yang dikedepankan adalah yang “setaraf”. Bahkan rencana perjalananpun bisa berubah mendadak, dari yang semula Jeddah – Madinah – Mekkah menjadi Jeddah – Mekkah – Madinah.

Karena ini menyangkut 195 ribu jemaah yang berangkat setiap hari, yang berarti 6 juta lebih per tahunnya, sudah sewajarnya negara harus hadir menata dan memberikan perlindungan kepada warganya yang menunaikan ibadah umroh. Tidak sepantasnya negara membiarkan urusan berjuta-juta warganya kepada perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan yang tidak berorientasi bisnis semata, namun juga lebih besar unsur spekulasinya dibandingkan dengan perhitungan bisnis yang rasional.

Kehadiran negara bisa dilakukan dengan menetapkan standarisasi dalam penyelenggaraan perjalanan umroh, mulai dari kekuatan modal, ketersediaan tenaga pendamping yang berkualitas, hingga pelayanan minimal, serta biaya minimal (batas atas dan batas bawah). Soal modal minimal harus ditekankan untuk menghindari upaya spekulasi dari perusahaan penyelenggara perjalanan umroh, dan menjamin kenyamanan jamaah dalam melaksakanakan ibadah umroh. Jika memang perusahaan tersebut tidak memiliki modal minimal, pilihannya hanya dua, mundur teratur atau bergabung (merger( dengan perusahaan lain.

Jika standarisasi sudah dilakukan, maka selayaknya pemerintah melalui Kementerian Agama melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan umroh, dan memberikan sanksi keras bagi perusahaan yang terbukti tidak bisa memberikan pelayanan terbaik pada jemaahnya. Tidak ada pilihan bagi perusahaan-perusahaan yang secara rasional tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, maka mereka harus mundur, dan memberikan kesempatan kepada mereka yang mampu. Soal kemungkinan munculnya perusahaan-perusahaan yang dominan, hal ini tidak bisa dihindari karena pemerintah harus menomorsatukan perlindungan bagi calon jamaah umroh.

Dengan audit dan pemberlakuan standarisasi, maka bisa dijamin hanya perusahaan-perusahaan yang memenuhi persyaratan saja yang bisa masuk dalam bisnis penyelenggaraan umroh. Meskipun mungkin tidak ada lagi tarif yang ‘merakyat’, namun dengan standarisasi maka jamaah umroh akan memperoleh jaminan pelayanan yang baik, dan potensi keterlantaran mereka selama di Tanah Suci akan bisa diminimalisir.

Selanjutnya, dengan pelayanan yang baik dan minimalnya potensi keterlantaran jamaah, maka jamaah umroh dan perusahaan penyelenggara umroh akan bisa menjaga nama baik bangsa dan negara selama di Tanah Suci.

                                                —————————–

*) Asisten Utusan Khusus Presiden bidang Perbatasan Maritim RI – Malaysia. Namun tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.

Opini Terbaru