Pidato Presiden Joko Widodo pada Silaturahim dan Dialog dengan Petani di Lingkungan PTPN X, Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto, Jatim, 21 Mei 2015

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 21 Mei 2015
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 14.546 Kali

Logo PidatoBismillahirahmanirahim
Assalamualaikum Wr. Wb.

Yang saya hormati, para menteri yang hadir, Wantimpres, Dirut PTPN X, dan Bapak Ibu seluruh petani tebu, pengusaha, dan mohon maaf juga para ulama yang hadir pada sore hari ini.

Tantangan negara kita ini hampir di semua sektor itu ada, di minyak dan gas di situ ada yang main-main namanya mafia minyak dan gas. Di perikanan, di situ juga ada yang main-main namanya illegal fishing, yang kita kehilangan Rp 300 trilun per tahun. Di beras juga ada yang main-main, nekan-nekan agar kita memberi kuota untuk impor. Yang dapat untung siapa? Bukan petani, importirnya yang suka nekan-nekan tadi.

Bayangkan, saya berikan contoh beras, kita impor tiga juta ton misalnya. Harga beras saat bulan Januari sampai berapa? Sebelas ribu? Itu karena ditekan-tekan agar impor kita, Rp 11.000. Padahal kalau impor, nyuwun pinten? Dari Vietnam, dari Thailand, hanya Rp 4.000 berarti untungnya Rp 7.000 per kilo, yen ping tiga juta berarti Rp 21 triliun. Aku jane menehi tanda tangan yo entuk bagian (tertawa), iya toh? Menterine yo mesti entuk bagian, sok-sok nggih. Jangan suudzon.

Oleh karena itulah, tantangan-tantangan beras juga di gula sama saja, ada yang main-main. Ini bukan untuk konsumsi masyarakat, Pak. Ini untuk gula rafinasi untuk industri makanan minuman. Yang bener saja, memang saya nggak ngerti? Saya ini orang lapangan, dilapori iya iya saja. Siapa ini yang lapor, iya-iya saja. Saya mau tahu betul, iyakan saja. Saya mau ngerti siapa ini, yang main gula siapa, yang main-main gas siapa, yang main beras siapa, yang main ikan siapa? Saya mau tahu.

Itulah tantangan kita tapi tidak mungkin semua tantangan-tantangan seperti itu diselesaikan dalam waktu yang sama. Kulo mengki dikeroyok wong semono akehe, dikeroyok wong sing kehilangan selikur triliun. Kehilangan ratusan triliun di minyak dan gas, yang 300 triliun. Itu bisa menjadi berbahaya kalau tidak dikelola dengan baik.

Jadi jangan ada yang inginnya tergesa-gesa saja, gak mungkin. Gula ini hitungan saya baru mungkin bisa diselesaikan 2018, sebentar..maksud saya swasembadanya.

Tetapi tadi saya sudah diberi paparan, dipresentasi oleh Pak Dirut. Sudah disampaikan, Pak, kalau ditambah investasi sekian alan menjadi untung sekian, petani akan dapat sekian. Tadi saya diberi tahu, petani bisa dapat kurang lebih Rp 400-450 miliar kalau konsep ke petani itu betul, dan total membutuhkan uang tambahan untuk di PTPN X yang akan kita tambahkan tahun ini Rp 975 miliar, baru PTPN X,  belum yang lain-lain, total kita akan tambahin Rp 3,5 trilun.

Tapi saya tambahi, kita memberi anggaran kepada Menteri, Menteri memberikan ke PTPN itu ada tugasnya, Jangan main-main, itu ada goal-nya. Itu harus menyelesaikan masalah apa, itu ada semuanya. Tidak karena ada uang, bisa dipakai semaunya. Itu ada tugasnya, ada tugasnya. Kalau tidak selesai, awas..awas… Kerja dengan saya, tidak selesai ya awas karena janjiannya di depan. Saya beri, kamu selesaikan apa? Jelas Kerja dengan  saya pasti ada goal-nya, ada targetnya. Gampang kalau kerja dengan saya itu gampang, tidak rumit-rumit. Saya ingin tahun sekian swasembada beras, tahun sekian ingin swasembada gula ada hitung-hitungannya. Kekurangan berapa ini tapi target itu harus tercapai.

Karena dengan investasi itu nanti rendemennya akan naik. Karena apa? Mesinnya baik sehingga hasilnya tentu juga meningkat, kembalinya nanti ke petani tebu. Larinya pasti ke situ tapi ini perlu waktu, perlu waktu. Dan alhamdulilah duitnya kita, duitnya ada di APBN. Tapi sekali lagi, duit ada saya berikan ke Menteri Pertanian, ini sekian triliun tapi saya minta dua tahun swasembada beras. Bisa? Hitung hitung hitung hitung, saget, Pak. Benar? Hitungannya mana? Ini, Pak. Oke beri, tapi dilihat nanti kalau tidak swasembada. Awas! Langsung, maksud saya diganti. Sama saja kalau saya mengatakan itu kepada Menteri, Menteri mengatakan itu kepada Dirut. Dirut mengatakan itu ke bawahnya lagi, semuanya harus kerja keras.

Sekarang ini persaingannya bukan antar lembaga, bukan antar PTP, bukan antar provinsi, persaingan ini antar negara. Siapa yang efisien? Siapa yang lebih baik? Dialah yang menang. Misalnya, tadi di Brazil tebu bisa dibuat rendemen tinggi, plus di etanol, plus listrik, plus CO2 dan lain-lain. Income-nya lebih besar, harganya pasti bisa ditekan lebih murah. Harganya katakanlah kita harus sembilan ribu, Brazil keluar harga enam ribu. Sudah ditinggal kita, kalah. Tidak bisa menguasai pasar, semua harus efisien. Petaninya per hektar harus mengeluarkan sekian ton, harus bisa sama, pabriknya juga kalau bisa mengeluarkan rendeman sekian ton. Kalau tidak kelindes kita karena persaingannya antar negara.

Tahun depan kita sudah buka, sudah tidak ada batas negara di Asean. Sebelas negara ASEAN sudah nggak nggak ada batasnya, nggak pakai paspor, mlebu metu iso barang maupun orang. Saya belum bisa membayangkan akan jadi apa, persaingannya seperti itu antar negara, sekali lagi. Sebab itu, kita memang harus kerja keras. Segera kejar ya kejar, yang perlu bibit yang baik, carikan bibit yang baik. Yang perlu mesin yang baik, carikan mesin yang baik. Kalau tidak, kalau kita hanya normal-normal, ditinggal kita. Ditinggal betul, tahu-tahu kita bisa terpuruk. Inilah persaingan sekarang ini supaya Bapak, Ibu dan Saudara- saudara tahu, antar negara.

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya akan terus ikuti perkembangan revitalisasi di PTPN X juga saya akan selalu ikuti terus meskipun saya mungkin tidak bertemu dengan Bapak, Ibu, tapi saya punya orang-orang yang bisa mendengar Bapak Ibu semuanya. Sebetulnya keluhannya apa dan harus diselesaikan dengan cara apa.

Saya kira itu yang bisa sampaikan.
Wassalamualaikum wr. wb.

(Humas Setkab)

Transkrip Pidato Terbaru