Pola Adat Ritual di Keraton-Keraton Jawa Tengah Selatan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 9 Oktober 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 153.017 Kali

kraton jawaOleh Kukuh Pamuji*)

Apabila kita menengok kembali ke dunia keraton Jawa Tengah Selatan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, disana Nampak jelas terdapat upacara pujian untuk mengambil hati (propitiation) dewi-dewi perkasa, seperti halnya Batari Durga dan Ratu Kidul. Seperti dimaklumi, sudah menjadi salah satu tugas pokok raja di Asia Tenggara adalah menjamin kemakmuran kerajaan mereka dengan mengadakan upacara-upacara khusus.

Upacara dimaksud, diselenggarakan di ibu kota kerajaan atau di tempat-tempat sakral yang berhubungan dengan dewi pelindung yang “membaureksa” kerajaan, melalui utusan khusus istana ke tempat tersebut. Dewi pelindung biasanya menjaga empat penjuru (mata angin), dan sifat baik atau buruknya sangat menentukan keselamatan kerajaan.

Grebeg Maulud, Akhir bulan Puasa, dan Hari Raya Haji, merupakan sederetan upacara yang  penting di pusat kerajaan Jawa Tengah Selatan. Di antara tiga perayaan ini, Grebeg Maulud atau yang sering disebut dengan Sekaten adalah upacara yang paling penting. Upacara perayaan Islam-Jawa ini diselenggarakan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW.

Alih-alih merayakan hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW, Grebeg Maulud pada hakikatnya merupakan perayaan hasil panen dan upacara untuk menjamin panen yang melimpah di tahun berikutnya. Salah satu simbol kunci dari upacara tersebut adalah pawai tumpeng raksasa/gunungan jaler (laki-laki) dan gunungan estri (perempuan) yang dibawa dalam prosesi dari Keraton ke Masjid Agung, untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat dan pengunjung.

Gunungan jaler biasanya terdiri atas sayur-mayur hasil bumi seperti kacang panjang, terong, wortel. cabai, sawo, dan tomat; dan yang estri rengginan. Kedua gunungan tersebut menurut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Puger dari Keraton Kesunanan Surakarta merupakan simbol tanda syukur seorang raja kepada rakyatnya.

Selain sebagai tanda syukur raja, terdapat kaitan yang erat dalam tradisi Jawa antara gunungan jaler dan estri dengan Dewi Sri dan suaminya, Joko Sadono (Wisnu). Hal ini menghubungkan Sekaten dengan upacara perayaan panen yang diselenggarakan di setiap desa di Jawa Tengah.

Pada zaman Pakubuwono XII  bertakhta (1945-2004), Setiap Grebeg Maulud tahun Dal (grebeg kelima dalam siklus sewindu), Sunan dan Garwa Ampeyan (selir) mengadakan upacara khusus dengan mengukus dandang beras bersama. Inilah yang menggarisbawahi makna Sekaten sebagai ritual panen tingkat kerajaan.

Dua utusan kerajaan mengunjungi tempat sakral paling penting bagi Keraton Surakarta yakni Alas Krendowahono (di utara Surakarta) dimana menjadi tempat bagi Batari Durga bersemayam, dan Parangtritis (di pantai selatan) yang dipercaya sebagai kerajaan Ratu Kidul. Konon Ratu kidul sendiri adalah seorang putri Raja Pajajaran yang memiliki nama asli Dewi Retno Suwido.

Melalui Sang Ratu Kidul, raja-raja di Jawa Tengah selatan mempunyai pertalian kekerabatan dengan penguasa baru di tanah sabrang di kota Betawi/Jawa Barat. Namun demikian, kekerabatan ini tidak memberikan hak kepada kedua belah pihak untuk mengklaim satu wewenang terhadap pihak lain. Penguasa Belanda di Betawi maupun raja di Jawa Tengah selatan sama-sama memiliki hak daulat, yaitu Pasundan untuk Belanda dan Kejawen untuk raja di Jawa Tengah selatan.

Pada sisi yang lain, Ratu Kidul adalah dewi pelindung kerajaan Mataram dan istri gaib bagi para raja. Dalam Babad Tanah Jawi, Panembahan Senopati dikisahkan berangkat dari Parangtritis  menemui Sang Ratu di Istana Bawah laut, yang hanya dihuni roh halus dan bersetubuh dengannya. Hubungan intim dan istimewa antara pendiri Mataram dan sang Ratu ini membawa kerajaan ke puncak kejayaannya pada awal abad ke-17 pada pemerintahan  cucu Senopati, Sultan Agung.

Ratu Kidul, merupakan seorang dewi yang kecantikan dan kemudaannya bergantung pada tua-mudanya peredaran bulan, juga merupakan penjelmaan Batari Durga atau Dewi Uma. Sebagai Dewi Uma ia bisa membawa perlindungan dan kemakmuran dan sebagai Dewi Durga  ia bisa menimbulkan bencana dn penghancuran besar-besaran.

Untuk menjamin perlindungan Sang ratu dan memperkuat pertalian gaib antara keraton dan istana di bawah laut, setiap tahun diadakan upacara khusus di Parangtritis yang dikenal dengan upacara labuhan (lepas ke laut). Di Yogyakarta, sesajen labuhan berupa kain parang rusak awisan-Dalem, dengan kemben hijau (kain cangkring, sumekan gadung) yang menjadi warna favorit Sang Ratu dan batik pola hijau-putih bernama gadung mlati. Batik ini dipakai penari di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta dalam tarian suci Bedoyo Ketawang (Kesunanan) dan Bedoyo Semang (Kesultanan) guna mengundang roh halus Ratu Kidul agar bersetubuh dengan sang raja.

Sesajen dilabuh ke laut kidul yang berombak tinggi menggunakan rakit.  Sewaktu arus bawah kuat membawa sesajen itu  ke laut lepas, sesajen yang lebih intim dari para raja, seperti gunting kuku dan rambut, dipendam di pasir hitam di pantai Parangtritis di atas garis air.

Ketika sedang berlangsung acara labuhan di pantai selatan, utusan lain dari keraton bersilang dari Yogyakarta ke Gunung merapi di arah utara dan dari Surakarta ke Gunung Lawu di arah timur untuk membawa sesajen ke dewa pelindung, yaitu Kyai Sapu Jagad di Gunung Merapi dan Kyai Tunggul Wulung di Gunung Lawu. Hal ini dimaksudkan agar keseimbangan kosmik antara bumi dan air dapat dipertahankan.

Di Surakarta, tarian yang paling penting untuk menghormati dewi laut selatan adalah Bedoyo Ketawang. Tarian ini menampilkan Sembilan orang penari perempuan yang semuanya belia dan keturunan bangsawan atau raja. Tarian ini mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dan Senopati. Sang Ratu dipujikan dengan diberi sesajen berupa pakaian  dengan pola batik dan makanan khas kesukaannya. Bila tarian dilaksanakan dengan tepat, penarinya bersih jasmani (tidak menstruasi) dan hatinya tenang, Sang Ratu biasanya muncul dengan memasuki tubuh salah seorang penari. Sang penari yang kerasukan, dibawa ke Proboyekso (kediaman pribadi raja), dimana putri belia itu disetubuhi oleh Susuhunan dalam suatu ritual yang mengingatkan rayuan asmara antara Senopati dan Ratu Kidul.

Raja bisa langsung melihat siapa putri penari yang harus diambil, sebab ada semacam cahaya kehijau-hijauan yang menyala redup dari vaginanya, sesuatu yang mengingatkan kita pada simbol “gua garba yang bercahaya” seorang Ken Dedes atau Dewi Mundingsari putri dari Pajajaran.

Salah satu ritual Keraton Surakarta yang menarik dalam konteks ini adalah Maesa-Lawung, suatu upacara yang mengisahkan penusukan seekor banteng oleh seorang pangeran dari Puri Mangkunegaran atas Jasa Sri Susuhunan. Sasaran upacara tersebut adalah sang dewi maut Batari Durga yang dianggap memiliki keraton gaib di Alas Krendowahono di sisi utara Surakarta. Sebagai ratu dengan tenaga luar biasa yang tercermin dalam pepatah Jawa: nagari mawi tata, desa mawi cara, dimaksudkan untuk menjinakkan sang dewi agar kekuatan di bawah kendalinya tidak lolos, sehingga berdampak fatal bagi kerajaan dan masyarakat (semacam “tsunami” dari dunia gaib).

Makna kultus ratu Kidul dan Batari Durga yang merupakan pertalian antara penegakan kedaulatan kerajaan  dan perempuan dengan daya gaib yang luar biasa sudah sangat jelas. Kita harus berpaling dari dunia gaib ke dunia riil dan dari dunia mitos kepada sejarah untuk menyaksikan realitas peran perempuan perkasa yang membawa Jawa ke pintu zaman modern.

*) Widyaiswara Madya Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara

Referensi:

Arie Sunaryo, “Dua Pasangan Gunungan Sekaten Solo ludes sebelum didoakan”, 3 Januari 2015, http://www.merdeka.com/peristiwa/dua-pasang-gunungan-sekaten-solo-ludes-sebelum-didoakan.html.

KGPAA Hadiwidjojo, 1972. “Danse sacree a Surakarta; La Signification du Bedojo Ketawang” Archipel 3, hl. 117-126.

Peter Carey danVincent Houben, Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa abad 18 -19, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.

Opini Terbaru