PP Diteken, Kini Anak Korban Tindak Pidana Berhak Peroleh Restitusi
Dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71D ayat (21 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Oktober 2017 telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana (tautan: PP_Nomor_43_Tahun_2017).
Dalam PP ini disebutkan, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Sedangkan pengertian Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut PP ini, setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi. Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud meliputi: a. Anak yang berhadapan dengan hukum; b. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; c. Anak yang menjadi korban pornografi; d. Anak korban penculikan, penjualan , dan/atau perdagangan; e. Anak korban kekerasan fisik dan /atau psikis; dan f. Anak korban kejahatan seksual.
Restitusi bag Anak yang menjadi korban tindak pidana berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan; b. ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, bunyi Pasal 3 PP ini.
Adapun permohonan Restitusi, menurut Perpres ini, diajukan oleh pihak korban, yang terdiri atas: a. Orang Tua atau Wali Anak yang menjadi korban tindak pidana; b. ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana; dan c. orang yang diberi kuasa oleh Orang Tua, Wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana dengan surat kuasa khusus.
Dalam hal pihak korban sebagaimana dimaksud sebagai pelaku tindak pidana, menurut Perpres ini, permohonan untuk memperoleh Restitusi dapat diajukan oleh lembaga.
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai kepada pengadilan, yang diajukan sebelum putusan pengadilan, melalui tahap: a. penyidikan; atau b. penuntutan.
Selain melalui tahap penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud, permohonan Restitusi dapat diajukan melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bunyi Pasal 5 ayat (3) PP ini.
Adapun permohonan Restitusi yang diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut PP ini, dapat diajukan melalui LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut PP ini, pengajuan permohonan Restitusi yang diajukan oleh pihak korban, paling sedikit harus memuat: identitas pemohon; identitas pelaku; uraian tentang peristiwa pidana yang dialami; uraian kerugian yang diderita; dan besaran atau jumlah Restitusi.
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud harus melampirkan: a. fotokopi identitas Anak yang menjadi korban pidana yang dilegalisasi oleh pejabat pada tindak yang berwenang; b. bukti kerugian yang sah; c. fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika Anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan d. bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa Orang Tua, Wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana.
Dalam hal Anak yang menjadi korban tindak pidana lebih dari I (satu) orang, pengajuan permohonan Restitusi dapat digabungkan dalam I (satu) permohonan Restitusi, bunyi Pasal 8 PP ini.
Menurut PP ini, pada tahap penyidikan sebagaimana dimaksud, penyidik memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan Restitusi dan tata cara pengajuannya.
Selanjutnya, pihak korban sebagaimana dimaksud mengajukan permohonan Restitusi paling lama 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana oleh penyidik.
Permohonan Restitusi yang telah dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud, penyidik mengirimkan permohonan Restitusi yang terlampir dalam berkas perkara kepada penuntut umum.
Selanjutnya, pada tahap penuntutan, penuntut umum memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan Restitusi dan tata cara pengajuannya pada saat sebelum dan/atau dalam proses persidangan.
Pihak korban sebagaimana dimaksud mengajukan permohonan Restitusi pada tahap penuntutan paling lama 3 (tiga) hari setelah pemberitahuan mengenai hak Anak yang menjadi korban tindak pidana oleh penuntut umum, bunyi Pasal 15 PP ini.
Selanjutnya, penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi sesuai dengan fakta persidangan yang didukung dengan alat bukti.
Tata Cara Pemberian Restitusi
Panitera pengadilan, menurut PP ini, mengirimkan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang memuat pemberian Restitusi kepada jaksa. Selanjutnya, jaksa melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada pelaku untuk melaksanakan pemberian Restitusi.
Jaksa menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian Restitusi sebagaimana dimaksud kepada pelaku dan pihak korban dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima, bunyi Pasal 20 PP ini.
Pelaku setelah menerima salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, menurut PP ini, wajib melaksanakan putusan pengadilan dengan memberikan Restitusi kepada pihak korban paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal pelaku sebagaimana dimaksud merupakan Anak, maka pemberian Restitusi dilakukan oleh Orang Tua.
Selanjutnya, Pelaku atau Orang Tua sebagaimana dimaksud melaporkan pemberian Restitusi kepada pengadilan dan kejaksaan, dan pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian Restitusi, baik melalui media elektronik maupun non elektronik.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, bunyi Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 16 Oktober 2017 itu. (Pusdatin/ES)