PP No. 104/2015, Pemerintah Buka Peluang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 18 Januari 2016
Kategori: Berita
Dibaca: 30.543 Kali

HutanDengan pertimbangan dalam rangka percepatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, pemerintah memandang perlu dilakukan penyederhanaan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Atas dasar itu, Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Desember 2015, telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Dalam PP itu disebutkan, perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial, atau untuk wilayah provinsi. Perubahan secara parsial dilakukan melalui: a. tukar-menukar kawasan hutan; atau b. pelepasan kawasan hutan.

“Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan berdasarkan permohonan, yang diajukan oleh: a. menteri atau pejabat setingkat menteri; b. gubernur atau bupati/wali kota; c. pimpinan badang hukum; atau d. perorangan, kelompok orang, dan/atau masyarakat,” bunyi Pasal Pasal 8 ayat (1,2) PP tersebut.

Adapun perubahan peruntukan kawasan hutan melalui tukar-menukar, menurut PP ini, hanya dapat dilakukan pada: a. hutan produksi tetap, dan/atau b. hutan produksi terbatas.

Mekanisme tukar-menukar sebagaimana dimaksud, dilakukan untuk: a. pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen; b. menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan Kawasan Hutan; atau c. memperbaiki batas Kawasan Hutan.

“Tukar-menukar Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan ketentuan: a. tetap terjaminnya luas Kawasan Hutan paling sedikit 30% dari luas DAS (Daerah Aliran Sungai), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, dan b. mempertahankan daya dukung Kawasan Hutan tetap layak kelola,” bunyi Pasal 12 ayat (1) PP tersebut.

Lebih lanjut disampaikan bahwa tukar-menukar Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari: a. lahan bukan Kawasan Hutan; dan/atau b. kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi, dengan memenuhi persyaratan: a. letak, luas, dan batas lahan pengganti yang jelas; b. terletak dalam DAS, provinsi, atau pulau yang sama; c. dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional kecuali yang berasal dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang masih produktif; d. tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan e. mendapat pertimbangan  dari gubernur tentang informasi lahan pengganti.

Menurut PP No. 104 Tahun 2015 itu, permohonan Tukar-Menukar Kawasan Hutan diajukan oleh pemohon kepada Menteri. Selanjutnya, menteri akan membentuk Tim Terpadu yang akan menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi kepada Menteri.

Dalam hal Tukar-Menukar Kawasan Hutan dengan luas paling banyak 2 hektar (ha) dan untuk kepentingan umum terbatas yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, Menteri membentuk tim yang anggotanya berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

“Berdasarkan hasil penelitian Tim Terpadu atau tim sebagaimana dimaksud, Menteri menerbitkan persetujuan prinsip Tukar-Menukar Kawasan Hutan atau penolakan,” bunyi Pasal 13 ayat (5) PP tersebut.

Dalam hal rekomendasi Tukar-Menukar Kawasan Hutan yang disampaikan Tim Terpadu  menunjukkan, bahwa Tukar-Menukar Kawasan Hutan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, menurut PP ini, Menteri sebelum menerbitkan persetujuan prinsip Tukar-Menukar Kawasan Hutan, harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

“Persetujuan prinsip Tukar-Menukar Kawasan Hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun,” bunyi Pasal 15 ayat (1) PP ini.

Pelepasan Kawasan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 itu menegaskan, kawasan Hutan Produksi yang dapat dilakukan pelepasan berupa Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi yang tidak produktif, kecuali pada provinsi yang tidak tersedia lagi kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi yang tidak produktif.

“Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi sebagaimana dimaksud tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi dengan luas Kawasan Hutan sama atau kurang dari 30%, kecuali dengan cara Tukar-Menukar Kawasan Hutan,” bunyi Pasal 19 PP ini.

Menurut PP ini, pemegang keputusan Pelepasan Kawasan Hutan wajib: a. menyelesaikan tata batas Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan; dan b, mengamankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan. Tata batas sebagaimana dimaksud diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya keputusan Pelepasan Kawasan Hutan, dan tidak dapat diperpanjang. Kecuali dalam hal pemegang keputusan Pelepasan Kawasan Hutan merupakan instansi pemerintah, dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun.

“Pemegang keputusan Pelepasan Kawasan Hutan yang belum memenuhi kewajiban, dilarang memindahtangankan Kawasan Hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain,” bunyi Pasal 23 PP ini.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan  oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 28 Desember 2015.  (Pusdatin/ES)

Berita Terbaru