Tangkapan layar pidato Presiden Jokowi secara virtual pada ASEAN Business dan Investment Summit, di Hanoi, Vietnam (13/11)
Presiden menyampaikan, saat ini dunia mengalami krisis yang sangat hebat akibat pandemi COVID-19, termasuk negara-negara ASEAN. Lebih dari 30 juta masyarakat di ASEAN terancam kehilangan pekerjaan, dan semua kalkulasi ekonomi dan bisnis harus dihitung ulang. Hal tersebut disampaikannya saat menjadi salah satu pembicara kunci dalam Pertemuan ASEAN Business and Investment Summit 2020 (ABIS 2020) bertema “Digital ASEAN: Sustainable and Inclusive” yang dilaksanakan di Hanoi, Vietnam, Jumat (13/11).
Lebih lanjut, Presiden menekankan pentingnya optimisme, karena di tengah tantangan tersebut, masih terdapat peluang, salah satunya adalah percepatan perkembangan digitalisasi di berbagai bidang, di saat banyak aktivitas kerja, bisnis, dan pendidikan harus dilakukan secara virtual.
“Di saat masa sulit seperti sekarang ini kita percaya masih ada peluang dan kesempatan, kita harus tetap optimis. Di tengah pandemi ini justru kita melihat percepatan perkembangan digitalisasi,” ujarnya.
Presiden mengatakan, sesuai laporan Sekjen PBB, jaringan seluler telah menjangkau lebih dari 95 persen populasi dunia. Pada Juni 2020, terdapat 441 juta orang atau sekitar 65 persen populasi ASEAN adalah pengguna internet.
“Ketergantungan dunia terhadap teknologi digital semakin tinggi. Lebih dari 1,5 milyar anak harus belajar dari rumah, ratusan juta orang harus bekerja dengan platform virtual, online shopping meningkat tajam. Kondisi ini tentu memberikan peluang besar untuk mempercepat transformasi digital.” ujarnya.
Potensi ekonomi digital ASEAN yang ditaksir mencapai US$ 200 milyar pada tahun 2025, baru dapat dipenuhi jika ASEAN mampu melakukan transformasi digital. Transformasi tersebut dihadapkan pada sejumlah tantangan yang harus diantisipasi dan dimitigasi.
“Banyak jenis usaha lama yang tutup, banyak jenis pekerjaan lama yang tutup. Sekitar 56 persen pekerjaan di lima negara ASEAN terancam hilang akibat otomatisasi. Kedua, digital gap di negara ASEAN juga masih sangat besar. Penetrasi internet belum merata di seluruh negara ASEAN. Dari 10 negara, hanya 3 negara yang memiliki penetrasi internet di atas 80 persen,” ungkap Presiden.
Menghadapi tantangan tersebut, ujarnya, perlu dilakukan berbagai terobosan. “Business as usual bukanlah pilihan. Kita harus mempercepat transformasi digital. Apalagi saat ini kegiatan ekonomi digital ASEAN masih kecil, hanya sebesar tujuh persen dari total PDB (Produk Domestik Bruto) ASEAN,” ujarnya.
Untuk menanggulangi hal tersebut, Presiden menyampaikan 3 hal utama yang penting untuk didorong dalam percepatan transformasi digital di ASEAN.
Pertama, revolusi digital yang inklusif. “Revolusi digital yang inklusif membutuhkan 3A (Access, Affordability, dan Ability). Tiga hal ini harus terus kita upayakan agar demokratisasi akses digital dapat berjalan,” ungkapnya.
Penyiapan infrastruktur digital yang memadai dan merata di seluruh kawasan harus menjadi agenda utama, bukan saja untuk masyarakat di perkotaan, namun juga ke desa-desa, dengan harga yang terjangkau dan disertai dengan peningkatan digital literacy melalui upskilling dan reskilling dari sumber daya manusianya.
Kedua, perlunya ASEAN harus menjadi pemain besar dalam ekonomi berbasis digital. “Ekonomi digital harus menjadi kekuatan ekonomi ASEAN. Kita tidak boleh sekadar menjadi pasar tetapi harus menjadi pemain besar,” ujar Presiden.
Ekonomi digital, imbuhnya, harus membantu UMKM kawasan ASEAN untuk masuk dalam rantai pasok global. UMKM adalah tulang punggung ekonomi ASEAN karena UMKM mewakili 89-99 persen dari seluruh perusahaan di ASEAN.
“Saya yakin percepatan transformasi digital UMKM akan mendorong bangkitnya roda perekonomian kawasan. Pemerintah masing-masing negara ASEAN harus punya andil yang lebih besar dalam mendorong transformasi digital. Ini penting untuk menjadikan ASEAN menjadi kawasan yang digital friendly,” tegasnya.
Ketiga, penguatan sinergi untuk menciptakan ekosistem digital yang kondusif di kawasan. “Kita harus bekerja sama untuk mengeliminasi hambatan perdagangan digital; membangun kepastian hukum; penyederhanaan prosedur dan sistem perizinan; membangun regulasi sinergi perdagangan digital, e-commerce, dan konektivitas digital; serta memperkuat kemitraan antara pemerintah dan swasta (PPP) untuk memperkuat konektivitas digital,” ujarnya.
Sinergi tersebut harus bersifat inklusif, tidak ada satupun yang boleh tertinggal. “Itulah prasyarat jika kita ingin menjadikan kawasan ASEAN sebagai pemenang dalam era transformasi digital ini. No one is left behind,” pungkas Presiden.
Acara ini diselenggarakan Pemerintah Vietnam dan KADIN Vietnam dalam rangkaian KTT ke-37 ASEAN. Hadir dalam acara itu lebih dari 350 orang peserta yang berasal dari kalangan pemimpin dunia usaha, perwakilan pemerintah dan organisasi internasional, baik di tempat acara maupun secara daring. Selain Presiden Joko Widodo, beberapa kepala negara lain tampil sebagai pembicara dalam acara ini antara lain Perdana Menteri Vietnam, Malaysia, Australia, Thailand, dan Premier RRT.
ABIS merupakan forum bisnis dan investasi tahunan yang diselenggarakan oleh ASEAN Business Advisory Council (ABAC), dengan mengundang Kepala Negara ASEAN, mitra, think-tank, scholars, dan para CEO dari berbagai sektor usaha.
Pertemuan secara umum membahas isu-isu global dalam rangka mencari solusi terhadap tantangan dunia terutama yang mempengaruhi dunia usaha saat ini. (HUMAS KEMLU/UN)