Prioritas Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di ASEAN

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 15 September 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 3.819 Kali

Oleh: Kartika Puspitasari, S,H. *) dan Muhammad Iqbal, S.Sos. **)

Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 terdiri dari rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), yaitu KTT ke-42 di bulan Mei dan KTT ke-43 di bulan September. Dalam konteks Pilar Politik dan Keamanan (Polkam), terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), salah satu deliverables Keketuaan Indonesia adalah dokumen ASEAN Leaders’ Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology. Dokumen tersebut diadopsi pada KTT ke-42 ASEAN tanggal 10 Mei 2023 di Labuan Bajo. Dokumen ini menegaskan komitmen ASEAN untuk bersama-sama mengatasi TPPO, khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan teknologi, melalui implementasi ASEAN Convention Againts Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP), identifikasi pelaku dan calon korban, identifikasi faktor-faktor penyebab TPPO, joint cooperation di perbatasan, dan berbagi informasi mengenai TPPO.

Pada 27th ASEAN Political-Security Community Council Meeting sebagai bagian dari rangkaian KTT ke-43 ASEAN tanggal 4 September 2023, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengajak para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN untuk mendorong implementasi komitmen dalam Leaders’ Declaration, serta memastikan upaya pencegahan, persekusi pelaku, dan perlindungan korban. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia melihat adanya urgensi penanganan TPPO di kawasan ASEAN.

Tindak Pidana Perdagangan Orang di ASEAN dan Indonesia
International Labour Organization (ILO) melansir data bahwa dari 21 juta korban kerja paksa di dunia, 11 juta di antaranya adalah korban di Asia Pasifik. Mayoritas korban perdagangan orang yang terjadi di Asia Tenggara adalah 83 persen perempuan untuk eksploitasi seksual dan 82 persen laki-laki untuk kerja paksa. Global Report on Trafficking in Persons 2020, juga menyatakan bahwa di tahun 2018 dari setiap sepuluh korban TPPO yang terdeteksi, lima di antaranya adalah perempuan dewasa dan dua di antaranya adalah anak perempuan.[1] Dari korban perempuan dewasa tersebut, mayoritas merupakan korban eksploitasi seksual dengan persentase sebesar 77 persen, diikuti eksploitasi buruh sebesar 14 persen, dan eksploitasi lainnya 9 persen.[2]

Korban TPPO umumnya berasal dari negara-negara dengan tingkat literasi digital yang kurang, seperti India dan Bangladesh, sehingga mengakibatkan angka korban TPPO ke Singapura menjadi signifikan.[3] Remaja-remaja Thailand yang di masa pandemi COVID-19 mencari pekerjaan paruh-waktu secara daring banyak yang jatuh dalam perangkap penipuan berkedok agensi model. Korban-korban tersebut kemudian dijual sebagai pekerja paksa ke negara tetangga seperti Kamboja dan Laos.[4]

Satuan Tugas (Satgas) TPPO di Indonesia saja telah menerima 757 laporan selama periode 5 Juni-14 Agustus 2023, dengan modus yang bervariasi.[5] Korban dipaksa untuk menjadi pekerja migran ilegal, pekerja seks komersial, pekerja anak, dan anak buah kapal. TPPO dengan modus pegawai call center juga pernah terjadi pada tahun 2023, dengan negara tujuan Kamboja. Korban dipaksa bekerja sebagai online scammers dengan target menipu orang Indonesia.[6]

Masyarakat internasional memahami bahwa diperlukan langkah yang efektif dan terkoordinasi secara lintas negara untuk mencegah dan melawan perdagangan orang. Hal ini menjadi penting karena korban TPPO telah kehilangan hak asasinya, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bebas, sehingga perlu ditangani secara serius.

ASEAN Convention Againts Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP)
Dalam kerangka regional, ASEAN memiliki ACTIP yang mulai berlaku pada tahun 2017, termasuk Indonesia yang mengesahkan ACTIP melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pengesahan ASEAN Convention Against Trafficking In Persons, Especially Women and Children (Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak). ACTIP memiliki semangat yang sama dalam memerangi TPPO. ACTIP mendefinisikan trafficking in persons (perdagangan orang) sesuai dengan Palermo Protocol, yaitu sebagai tindakan pemindahan orang dengan ancaman untuk mengeksploitasi korban. ACTIP dapat menjadi sebuah instrumen hukum regional yang efektif terhadap korban perdagangan orang. Terutama apabila proses penegakan hukumnya dapat diperkuat. Kompleksitas TPPO yang merupakan kejahatan terorganisasi oleh pelaku dan dengan domisili di bawah yurisdiksi yang berbeda-beda memerlukan koordinasi yang komprehensif di kawasan Asia Tenggara dalam penanganan kasusnya.[7]

ACTIP berupaya menangani hambatan penanganan TPPO, yaitu (i) mengurangi faktor-faktor penyebab TPPO; (ii) membuat badan legislasi untuk memberantas TPPO; (iii) meningkatkan kapasitas petugas-petugas di perbatasan; (iv) mengidentifikasi korban secara efektif; (v) meningkatkan hukuman kepada pelaku; (vi) meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara otoritas berwenang di negara-negara anggota ASEAN; dan (vii) membuat mekanisme legal kawasan.[8]

Dalam rangka memperkuat ACTIP, ASEAN juga telah menyusun ASEAN Plan of Action Against Trafficking in Persons, Especially in Women pada tahun 2016 yang bertujuan untuk memberikan rencana aksi spesifik dalam kebijakan dan hukum domestik negara-negara anggota ASEAN serta secara efektif menangani hambatan-hambatan bersama dalam memberantas TPPO.

Permasalahan Penanganan TPPO di ASEAN dan Indonesia
Leaders’ Declaration menyatakan bahwa pemberantasan perdagangan orang tidak dapat dipisahkan dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial, manajemen perbatasan, penegakan hukum, perlindungan tenaga kerja, dan penghormatan terhadap HAM. Leaders’ Declaration juga mendorong untuk meningkatkan kerja sama dan kolaborasi dengan ASEAN Dialogue Partners, UN Agencies, dan forum konsultasi yang relevan.

ASEAN menghadapi beberapa tantangan dalam memberantas TPPO. Pertama, dalam kaitan penanganan TPPO, prinsip nonintervensi di ASEAN dipandang justru menjadi hambatan dalam membuat kebijakan efektif secara cepat di antara negara-negara anggota. Kedua, ASEAN merupakan sebuah organisasi antarpemerintah yang cenderung longgar, sehingga proses adopsi prinsip-prinsip dan tindakan baru ke dalam hukum nasional negara-negara anggota cenderung lambat.[9]

Selanjutnya, ACTIP telah mengamanatkan pembentukan kerja sama dalam penegakan hukum dalam memberantas TPPO, misalnya melalui pembentukan jalur komunikasi di antara badan yang berwenang dan pembentukan badan koordinasi guna peningkatan kerja sama terhadap seluruh area dalam ACTIP. Namun demikian, karena adanya perbedaan sistem hukum antarnegara dan kurangnya persamaan persepsi dalam upaya kerja bersama penanggulangan TPPO, amanat ACTIP dimaksud menjadi sulit untuk diimplementasikan.

Indonesia sendiri juga menghadapi tantangan dalam memberantas TPPO ini. Berdasarkan data Trafficking in Persons Report July 2022 yang dirilis oleh Department of States Amerika Serikat, Indonesia dikategorikan dalam Tier 2 penanganan TPPO, karena tidak memenuhi standar minimum untuk pemberantasan TPPO, meskipun sebenarnya telah menunjukkan upaya signifikan dalam hal tersebut.[10]

Indonesia memiliki UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), yang pada intinya mendefinisikan TPPO sebagai tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan ancaman yang bertujuan untuk eksploitasi korban dan dilakukan di dalam maupun antar negara. Namun demikian, UU PTPPO dimaksud memiliki beberapa tantangan terkait kerangka pengaturan hukum TPPO dan kerangka hukum mengenai bentuk eksploitasi TPPO. Tantangan tersebut antara lain terkait cakupan definisi, lokus, dan rumusan delik pasal terkait TPPO dan bentuk eksploitasi TPPO. Dengan mempertimbangkan TPPO merupakan kejahatan lintas batas negara, maka diperlukan kerja sama dengan negara lain untuk menyelaraskan kebijakan nasional dengan konvensi internasional di kawasan. Salah satunya melalui kerja sama konkret antarpemangku kepentingan di ASEAN agar pemberantasan TPPO dapat berjalan dengan efektif.

Kesimpulan dan Langkah ke Depan
TPPO merupakan kejahatan yang bersifat melampaui lintas batas negara, sehingga membutuhkan penanganan secara bersama-sama di antara masyarakat internasional. TPPO telah menjadi perhatian khusus bagi negara-negara anggota ASEAN dan memerlukan penyelarasan kebijakan nasional agar ACTIP dapat terimplementasi dengan baik.

Berbagai penjelasan tersebut di atas telah membuktikan pentingnya penanganan TPPO secara bersama-sama di kawasan ASEAN dan perlunya perbaikan penanganan TPPO di Indonesia. Melalui keketuaannya di tahun 2023, Indonesia telah mengambil peran penting untuk memberantas TPPO dengan dikeluarkannya ASEAN Leaders’ Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology pada KTT ke-42 ASEAN tanggal 10 Mei 2023 di Labuan Bajo dan pernyataan Menko Polhukam pada 27th ASEAN Political-Security Community Council Meeting pada 4 September 2023.

Upaya Indonesia tidak berhenti saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN, tetapi terus berlanjut di tahun-tahun selanjutnya dalam mengawal dan memberikan gagasan pemikiran yang konstruktif dalam memberantas TPPO. Dampak nyata dan langsung dari pembicaraan mengenai TPPO di forum KTT ASEAN adalah cepatnya tindak lanjut dari Satgas TPPO dalam memberantas TPPO. Dalam kurun waktu 5 Juni-10 September 2023, Satgas TPPO Polri telah berhasil menangkap 998 tersangka dan menyelamatkan 2.608 orang.[11]

*) Kepala Subbidang Hubungan Regional Amerika dan Eropa
**) Analis Politik, Hukum, dan Keamanan pada Subbidang Hubungan Regional Amerika dan Eropa

[1] United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Global Report on Trafficking in Persons, hlm. 31.

[2] Ibid.

[3] Freedom Collaborative, Emerging Patterns in the use of Technology for Labour Trafficking in Southeast Asia, April 2023, hlm. 2.

[4] Ibid.

[5] Korban TPPO Lebih dari 2 Ribu Orang per Agustus 2023, Modus PMI Ilegal Terbanyak, diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/08/21/korban-tppo-lebih-dari-2-ribu-orang-per-agustus-2023-modus-pmi-ilegal-terbanyak, pada 08 September 2023 pukul 13.42.

[6] 11 WNI di Kamboja Diduga Menjadi Korban Perdagangan Orang, SBMI Pertanyakan Komitmen ASEAN, diakses dari https://sbmi.or.id/11-wni-di-kamboja-diduga-menjadi-korban-perdagangan-orang-sbmi-pertanyakan-komitmen-asean/, pada 08 September 2023, pukul 13.43.

[7] Respon Pencegaran Perdagangan Manusia di ASEAN Perlu Segera Ditingkatkan, diakses dari https://icjr.or.id/respon-dan-pencegahan-perdagangan-manusia-di-asean-perlu-segera-ditingkatkan/, tanggal 11 September 2023 pukul 15.40.

[8] Numtip Smerchuar dan Warach Madhyamapurush, The Puzzle of ASEAN Instruments to Combat Human Trafficking, WIMAYA, Vol.10 No.02, July-December 2020, hlm. 44.

[9] Ibid.

[10] Trafficking in Persons Report July 2022, United States of America Department of States, Juli 2022,hlm. 285

[11] Polri Selamatkan 2.608 Orang dan Tetapkan 998 Tersangka Kasus TPPO, diakses dari https://humas.polri.go.id/2023/09/11/polri-selamatkan-2-608-orang-dan-tetapkan-998-tersangka-kasus-tppo/ , pada 13 September 2023 pukul 13.11.

Opini Terbaru