Pro Kontra Hukuman Mati (Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 9 Maret 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 431.653 Kali

RobiOleh: Roby Arya Brata*)

Dalam keadaan darurat narkoba seperti sekarang ini, ketika kejahatan narkoba telah membunuh dan merampas hak hidup sekitar 40 sampai dengan 50 warga dan generasi muda Indonesia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang pelaku kejahatan narkoba.

Hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkoba (drug-related criminals) kembali menjadi perdebatan publik. Kontroversi semakin tajam ketika Pemerintah RI berencana mengeksekusi terpidana warga negara asing yang terlibat kejahatan narkoba, khususnya warga Australia anggota “Bali Nine”. Lalu, apakah hukuman mati itu sendiri adalah hukuman yang adil, manusiawi, dan konstitusional? Kajian ini membahas argumen-argumen kelompok yang kontra dan yang pro-hukuman mati, khususnya terhadap pelaku kejahatan narkoba.

Hukuman mati telah lama, dan tampaknya akan tetap, menjadi topik debat klasik di antara para ilmuwan filsafat dan hukum. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis), mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat.

Argumen Kontra

Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.

Majelis Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding resolutions) yang mengimbau moratorium global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak terkait. Dasar argumen selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amendemen VIII Konstitusi Amerika Serikat.

Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia. Pada 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba, yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia anggota “Bali Nine”, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Rush, mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No. 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. Namun permohonan para pemohon ditolak oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia.

Kelompok abolisionis juga membantah alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan, karena itu, akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya kejahatan terkait narkoba. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif antara hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba.

Argumen pro

Kelompok retensionis tidak kalah sengit mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberi efek cegah terhadap penjahat potensial kejahatan narkoba. Bila menyadari akan dihukum mati, penjahat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan narkoba.

Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi, yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati, memiliki tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime pada 2012, misalnya, tingkat kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100 ribu orang. Bandingkan dengan Finlandia yang sebesar 2,2; Belgia 1,7; dan Rusia 10,2.

Kaum retensionis juga menolak pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap penjahat narkoba) bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, mereka berpendapat justru kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Kejahatan narkoba merupakan kejahatan kemanusiaan yang merenggut hak hidup tidak hanya satu orang, melainkan banyak manusia. Kelompok retensionis berpendapat, hukuman mati terhadap penjahat narkoba tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat pun, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus Gregg vs Georgia, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan, “The punishment of death does not violate the Constitution.”

Dari berbagai argumen yang dikemukakan kelompok abolisionis dan retensionis, sesungguhnya dapat diambil kebijakan sintesis hukuman mati bagi penjahat narkoba di Indonesia. Dalam keadaan darurat  narkoba seperti sekarang ini, ketika kejahatan narkoba telah merusak generasi muda dan merampas hak hidup banyak manusia di Indonesia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang penjahat narkoba. Jadi, pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga diterapkan untuk memberi peringatan keras bagi para penjahat narkoba potensial bahwa kita tidak akan berkompromi dengan kejahatan yang serius dan luar biasa itu.

Tetapi hukuman mati hanya dijatuhkan pada bentuk kejahatan narkoba yang paling jahat, seperti pemroduksi dan pengedar narkoba. Selain itu, hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana yang korup seperti sekarang ini, seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Bahkan di Amerika Serikat sekalipun yang sistem peradilan pidananya relatif cukup baik, dalam periode 1900-1987 23 orang telah dihukum mati karena kekeliruan peradilan.

Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice, terdakwa kejahatan narkoba harus diberi hak melakukan upaya hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang kasasi, terdakwa wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana Mahkamah Agung. Untuk mengumpulkan bukti-bukti baru yang meyakinkan (novum), ia pun diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas waktu.

Apabila terdakwa pada akhirnya dipidana mati, ia pun masih memiliki kesempatan mengajukan grasi atau permintaan ampun. Ia dapat mengajukan permintaan ampun kepada parlemen sebagai wakil rakyat yang telah dirugikan. Jika grasinya diterima, hukumannya diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun, bila ditolak, ia masih memiliki kesempatan memohon grasi kepada presiden.

Apabila Indonesia telah terbebas dari darurat narkoba dan kedaulatan hukum telah ditegakkan, hukuman mati terhadap penjahat narkoba sebaiknya dihapuskan. Dampak kejahatan narkoba dalam keadaan “normal” tidaklah seburuk seperti dampak kejahatan narkoba dalam keadaan darurat. Hukuman mati hanyalah salah satu cara untuk mencegah meluasnya kejahatan narkoba. Memberantas korupsi dalam proses penegakan hukum antinarkoba, mengurangi permintaan akan narkoba, dan merehabilitasi korban narkoba adalah beberapa cara lain yang efektif untuk memberantas kejahatan itu.

Selain itu, meskipun kita telah mendesain sistem peradilan pidana dengan baik untuk mencegah miscarriage of justice, kemungkinan menghukum mati orang yang tidak sepantasnya dihukum mati tetap ada. Kita tidak ingin menghukum mati anak manusia yang tidak bersalah. Sebab, seperti yang dikatakan ahli hukum abad ke-12, Moses Maimonides, “It is better and more satisfactory to acquit a thousand guilty persons than to put a single innocent man to death.” Membunuh satu manusia (yang tidak bersalah), sesungguhnya adalah seperti membunuh seluruh manusia, begitulah yang difirmankan Sang Maha Adil (QS. 5 : 32).

Pemerintah Indonesia di masa depan perlu mengkaji opsi kebijakan untuk memberikan hukuman pidana terberat bagi terpidana warga negara asing berdasarkan sistem pemidanaan negara asal warga negara itu (bisa hukuman mati atau seumur hidup). Misalnya, bila peradilan Indonesia menjatuhkan hukuman mati bagi warga negara asing yang di negaranya tidak ada hukuman mati maka Presiden RI dapat mengabulkan grasi warga negara asing tersebut dengan meringankan atau memberikan hukuman terberat menurut sistem pemidanaan di negaranya, misalnya hukuman seumur hidup.

Banyak warga negara Indonesia juga terancam hukuman mati di beberapa negara. Sebagai negara tentu kita akan berusaha melindungi mereka. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam piagam PBB dan hukum internasional kita memahami dan menghormati kedaulatan (hukum) negara lain.

Kita berharap penerapan hukuman mati oleh Indonesia terhadap penjahat narkoba yang telah merampas hak hidup banyak manusia tidak seharusnya merusak hubungan baik dan kerja sama bilateral antara Indonesia dan negara lain yang telah lama dan susah payah dibangun. Bila itu terjadi, tentu yang dirugikan adalah rakyat kedua negara. Sudah semestinya kita bersatu bergandengan tangan melawan kejahatan yang serius ini.

*) Penulis adalah analis hukum dan kebijakan. Penulis buku, “Good Governance dan Permasalahan Pemerintahan Strategis, 2015”. Tulisan ini adalah hasil adaptasi dari artikel penulis sebelumnya, dengan beberapa tambahan.)

 

Opini Terbaru