Puasa Ramadan Dan Upaya Meredam Sikap Radikal

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 30 Mei 2018
Kategori: Opini
Dibaca: 35.323 Kali

arif khOleh: Arief Khumaedy…*)

Radikal, apakah itu? Kata radikal menjadi terkenal saat ini setelah adanya kekerasan atau bom bunuh diri di berbagai tempat yang mengatasnamakan agama.

Terorisme di berbagai belahan dunia menunjuk para pelakunya, yaitu mereka yang berpaham radikal.

Radikal adalah sebuah pemahaman terhadap suatu ajaran yang dalam melaksanakan ajaran tersebut dilaksanakan secara ekstrem. Pelakunya  tindakan radikal di sebut sebagai seorang ekstrem atau ekstremis. Kelompok pelaku kekerasan ini tidak hanya dimonopoli agama tertentu saja. Pelaku teror berkedok agama ini dalam menjalankan aksinya seringkali mengatasnamakan Tuhan.

Misal, dalam kekerasan terhadap suku rohingya, pelaku dalam menjalankan aksi “kebencian” juga membawa identitas agama. Dalam hal ini, output dari tindakan terror yang dilakukan di Surabaya –(kota yang aman dan tidak bersalah tersebut)–, justru kontraproduktif dengan inti ajaran agama, yaitu sikap aslama (Islam dari akar kata Aslama) atau kedamaian.

Radikal sesungguhnya tidak hanya di monopoli oleh agama-agama di dunia saja, namun juga terjadi di hampir setiap ajaran atau ideologi dunia. Pendukung sebuah ideologi apabila tidak hati-hati dalam melaksanakan ideologi tersebut dapat terjebak pada paham radikalisme. Radikalisme dapat terjadi pada ideologi yang mengusung tema-tema yang ideal. Contoh ideologi dunia yang terjebak pada radikalisme adalah komunis.

Komunis yang berkembang secara massif sebelum era 90 an, sebagai sebuah ideologi yang mengusung tema ideal pada masa itu, yaitu kesetaraan dalam  masyarakat.  Dalam kondisi ideal, bangun masyarakat yang dimimpikan adalah masyarakat yang adil, masyarakat yang tidak ada ketimpangan antara golongan kaya dan golongan miskin. Kondisi masyarakat yang adil adalah masyarakat yang egaliter,  adanya kesamaan di dalam masyarakat, yang secara ekstrim dipahami dengan jargon “sama rata sama rasa.

Dahulu cita–cita “masyarakat adil” versi komunis ini tumbuh subur pada masyarakat yang mengalami ketimpangan social yang mencolok, yaitu sebuah kondisi masyarakat yang di tandai adanya jurang kesenjangan social yang menganga, terdapat sedikit kelompok elit yang kaya dan mayoritas masyarakat yang miskin. Struktur feodalistik membuat komunisme tumbuh di eropa timur dan juga di dunia ketiga atau negara-negara miskin dan tertinggal.

Kemiskinan telah menginspirasi penduduk negara yang mengalami ketimpangan tersebut untuk memperjuangkan kondisi ideal masyarakat komunis yaitu bangunan masyarakat yang adil tanpa kelas. Mereka yang terinspirasi terhadap masyarakat egaliter secara ekstrim memperjuangkan cita-citanya tersebut, termasuk melalui jalan kekerasan, terror, atau kudeta.

Di Indonesia upaya perebutan kekuasaan yang sah untuk mencapai tujuan komunisme tersebut dikenal dengan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), Pikiran radikal “masyarakat komunis” ini sulit untuk dihilangkan dalam mindset pengikutnya. Sehingga pada era saat orde baru terdapat kewaspadaan terhadap bangkitnya komunisme, yang terkenal dengan istilah bahaya laten komunis. Istilah bahaya laten ini muncul sebagai bentuk kewaspadaan karena sulitnya perubahan mindset pengikut komunis radikal ini. Mereka  tidak kenal putus asa berupaya dengan segala cara memperjuangkan ide masyarakat ideal tanpa kelas. Mindset yang terdapat pada pikiran radikal komunis  yang sulit berubah ini jangan sampai terjadi di kalangan radikal yang berbasis agama.

Sikap ekstrem ini adalah sebuah jebakan dalam memahami sebuah ajaran. Tepatnya, sikap yang tidak sabar dalam melihat realitas dunia yang di pandangnya tidak ideal dan berkehendak merubahnya dengan cara cepat dan bilamana perlu melalui jalan kekerasan.

Sesungguhnya agama menilai tindakan radikal ini sebagai tindakan yang tidak benar, dan dilarang. Dalam agama sikap radikal ini disebut sebagai sikap yang berlebih lebihan atau melampaui batas atau biasa disebut dengan ghuluw. Ghuluw sebagai sikap tercela, yang tidak mendatangkan kebaikan bagi pelaku dan tidak  menghasikan buah yang baik dalam berbagai urusan. Sikap berlebih lebihan atau melampau batas tersebut disebut sebagai tanathu’ atau sikap ekstrem.

Abdullah bin mas”ud ra meriwayatkan dari Rosulullah saw: “celakalah al mutahathi”un (HR Muslim No 2670).  Mutahathi’un atau tanathu’ adalah sikap berlebihan dan sikap keras baik dalam perkataan ataupun perbuatan. Sikap yang berlebih-lebihan dan sikap keras tersebut merupakan jalan menuju kehancuran. Dalam Quran surat al Maidah ayat 87 : Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah  halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampau batas.

Orang yang terjebak radikal karena tidak melihat realitas atau dunia nyata apa ada nya dan berkeinginan mengubah realitas tersebut secara cepat sesuai dengan keinginannya. Agama justru mengajarkan menghadapi realitas apa adanya dengan sabar namun tetap menjalankan amal kebajikan (amal shaleh). Agama tidak mengajarkan umat untuk mempersulit diri, sebaliknya untuk seimbang, berada posisi pertengahan dan tidak terjebak pada ekstremitas.

Agama mengajarkan individu untuk sabar menjalankan kebaikan, sedangkan hasil perkerjaan tersebut adalah urusan Allah SWT. Realitas dunia yang beragam, termasuk beragamnya agama (pluralitas) adalah ujian untuk tetap berbuat kebajikan. Realitas adalah ujian atau tantangan yang harus dihadapi dengan mengedepankan bersikap sabar dengan tetap menjalankan kebajikan (amal shaleh).

Dalam QS al Maidah, disebutkan: Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan, Hanya kepada Allah lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.

Agama mengajarkan untuk menghadapi realiatas kehidupan dunia ini sebagai batu ujian untuk tetap mengerjakan amal-amal kebajikan. Kondisi kehidupan dalam masyarakat adalah sunatullah sebagai cobaan atau batu ujian untuk tetap berbuat baik (amal saleh), dengan tanpa terjebak tindakan yang secara ekstrem.

Maka tepat dalam shaum ramadan ini, kita diingatkan dengan kandungan isi surat al Baqarah ayat 185: Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al Quran sebaga petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda  (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara  kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang di tinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu  dan tidak mengendaki kesukaran bagimu. Hendaknya kamu mencukupkan bilangannya dan menganggungkan Allah atas petunjuknya Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

Allah tidak mempersukar umatnya. Maka Rosullullah  tidak mengajarkan kita untuk tidak berlebih lebihan, termasuk  dalam berpuasa, seperti secara ekstrim berpuasa terus menerus setiap hari, atau berpuasa namun tidak berbuka puasa, atau sikap ekstrim pada waktu berbuka puasa, yaitu makan dengan melampuai batas.

Semoga dalam menjalankan ibadah shaum Ramadan ini, kita semakin dapat mengontrol diri, menjadi pribadi yang tidak berlebih lebihan dalam menjalani kehidupan, menjadi pribadi yang seimbang, tasamuh (lapang dada) dengan tidak bersikap ekstrem ketika berhadapan dengan kondisi kehidupan berbeda dengan keyakinan kita atau bahkan kondisi yang menyesakkan dada. Menjalankan ibadah puasa dengan iklas dan tidak berlebih lebihan, termasuk  dalam buka puasa. Semoga puasa ramadhan tahun ini dapat mengantarkan kita menjadi insan-insan yang bertakwa. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan 1439H Bapak/Ibu, Adik dan Kakak semua.

*) Penulis adalah Asisten Deputi pada Kedeputian Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet

Opini Terbaru