Rachmat Witoelar: Iklim sudah Berubah, Indonesia Harus Segera Beradaptasi
Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (PPI), Rachmat Witoelar mengatakan, bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi pembangunan. Dunia, termasuk Indonesia, harus melakukan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi pembangunan. Dunia, termasuk Indonesia, harus melakukan langkah mitigasi dan juga adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang sudah terjadi.
Mitigasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengurangi peningkatan emisi gas rumah kaca. Sedangkan adaptasi perubahan iklim merupakan penyesuaian diri terhadap kondisi perubahan iklim, kata Rachmat saat menjadi pembicara kunci pada High Level Session pada 5th Asia-Pacific Climate Change Adaptation Forum, di Kolombo, Srilanka, Senin (17/10).
Menurut Rachmat, langkah adaptasi perubahan iklim ini penting karena iklimnya sudah berubah, dampaknya sudah banyak kita rasakan, sehingga manusia harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Ia menyebutkan, setelah Persetujuan Paris terkait pengendalian perubahan iklim global, dunia memiliki fondasi yang makin kuat untuk tidak hanya melakukan langkah mitigasi, tapi juga adaptasi.
Indonesia, lanjut Rachmat, memiliki visi untuk menjadi poros maritim dunia yang sejahtera dan berwibawa. Ia menegaskan, Indonesia sudah mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 2019. Sekarang tinggal pelaksanaannya agar benar-benar tercapai tujuan.
Semua pihak harus bekerja keras, tidak hanya pemerintah saja. Indonesia sebagai negara kepulauan rawan sekali terhadap bencana dan dampak perubahan iklim seperti banjir, kekeringan, gagal panen, kebakaran hutan, taifun, berkurangnya populasi ikan, dan lainnya. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kerjasama antar negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas dan transfer teknologi adaptasi, tutur Rachmat.
The 5th Asia-Pacific Climate Change Adaption Forum ini merupakan wadah pertemuan bagi berbagai pemangku kepentingan terkait adaptasi perubahan iklim yang mewakili pembuat keputusan, ilmuwan, lembaga donor, organisasi pemuda, sektor bisnis, dan komunitas. Sebanyak lebih dari 800 peserta hadir dari 50 negara mengikuti konferensi yang diselenggarakan di Bandaranaike Memorial International Convention Hall sejak tanggal 17 hingga 19 Oktober 2016.
Kegiatan ini merupakan program unggulan dari Asia-Pacific Adaptation Network (APAN) dan tahun ini Pemerintah Sri Lanka menjadi tuan rumah. Tema yang diambil adalah Beradaptasi dan Hidup di bawah 2°C: Menjembatani kebijakan dan praktik, serta akan menggali langkah konkret untuk meningkatkan kerjasama antara pemerintah, LSM, dan sektor bisnis.
Selain itu, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan awareness dan pemahaman tentang pontensi adaptasi di wilayah Asia-Pacific dan kemudian menjodohkan potensi-potensi tersebut dengan sumber pendanaan iklim yang tersedia, terutama dari sektor bisnis. (UKP Perubahan Iklim/ES)