Revisi Untuk Penyempurnaan, Menag: Aturan Pendirian Rumah Ibadah Tetap Diperlukan
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa aturan tentang pendirian rumah ibadah tetap diperlulkan. Jika akan direvisi, maka itu dalam kerangka penyempurnaan, bukan peniadaan.
Di tengah Indonesia yang religius dan majemuk, perlu aturan yang merupakan kesepakatan bersama tentang tatacara pendirian rumah ibadah. Sebab, jika tidak ada aturan, maka dikhawatirkan akan terjadi tindak anarkis karena tidak ada acuan kepala daerah atau pihak-pihak terkait mengenai izin rumah ibadah, kata Menag di Jakarta, Selasa (10/11).
Sebagaimana diketahui, aturan terkait pendirian rumah ibadah itu tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya disebut PBM).
Aturan yang ditetapkan pada Maret 2006 itu, lanjut Menag, merupakan hasil kesepakatan para tokoh agama melalui wakilnya yang ada di majelis agama, antara lain dari unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Geraja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi).
Mereka telah melakukan serangkaian pertemuan yang akhirnya mencapai titik kompromi yang kemudian tertuang dalam PBM. Sesungguhnya isi dari rumusan itu adalah kesepakatan bersama antar wakil majelis agama, tegas Menag.
Soal revisi, Menag memastikan, Pemerintah akan menangkap aspirasi yang berkembang. Sebab, bagaimanapun juga peraturan dibuat untuk masyarakat sendiri demi menjaga ketertiban bersama. Karenanya, Pemerintah wajib mendengar aspirasi masyarakat.
Revisi PBM rumah ibadah untuk menyempurnakan, bukan dalam rangka meniadakan, tegas Menag.
RUU Perlindungan Umat
Dalam kesempatan itu Menag Lukman Hakim Saifuddin juga menyampaikan, bahwa Pemerintah melalui Kemterian Agama saat ini sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Umat Beragama, yang salah satu isinya terkait pendirian rumah ibadah.
Menag meyakinkan, bahwa Pemerintah akan mendengar dari semua pihak bagaimana sebaiknya aturan terkait hal itu dituangkan.
Namun demikian Menag meyakini, persyaratan terkait pendirian rumah ibadah tetap perlu diatur. Sebab, menurutnya konsep tempat ibadah dan rumah ibadah itu berbeda.
Kalau tempat ibadah, lanjut Menag, maka setiap umat beragama bebas menjalankan ibadah. Berbeda dengan itu, rumah ibadah terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan lainnya, juga dari sisi sosial. Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan itu adalah bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu.
Ruko tidak dalam pengertian rumah ibadah. Itu adalah masuk kategori rumah ibadah sementara sesuai ketentuan PBM. Kalau sudah berbicara rumah ibadah maka dia sudah permanen, spesifik, memiliki syarat tertentu sebagaimana lazimnya rumah ibadah setiap agama, terang Menag seraya menyebutkan, rumah ibadah juga menjadi tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai ratusan orang.
Karena itu, lanjut Menag, langsung atau tidak langsung rumah ibadah akan terkait dengan persoalan sosial di lingkungan sekitarnya. Itulah alasan perlunya persetujuan dari warga supaya masyarakat punya kesiapan mental dan sosial bahwa di tempatnya akan dibangun rumah ibadah dengan segala konsekuensinya. Ini yang perlu ada aturan, pungkas Menag. (Humas Kemenag/ES)