Rupiah dan Likuiditas Global
Oleh: Prof. Firmanzah, PhD
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan
Seperti halnya nilai tukar mata uang di hamper mayoritas emerging-market, nilai tukar rupiah berada dalam dua tekanan global yang saling berlawanan arah. Di satu sisi, Bank Sentral Amerika Serikat The Fed berjuang untuk mengurangi likuiditas global melalui pengurangan sampai pada akhirnya tercapainya program penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai quantitative easing (QE) III. Sementara di sisi lain, Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China justru mempertahankan dan bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut. Selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan baik dalam jangka pendek dan menengah terhadap nilai tukar rupiah.
Hal ini tercermin pada sesi perdagangan minggu lalu (minggu ke-3 September) ditutup dengan terdepresiasinya nilai tukar sejumlah mata uang negara-negara Asia. Depresiasi nilai tukar mata uang negara-negara di Asia ini merupakan respon dari hasil keputusanThe Federal Open Market Committee (FOMC) terkait dengan tahapan pengakhiran QE-III dan pengkahiran suku bunga murah. Pemangkasan pembelian obligasi yang menyisakan 25 miliar dollar AS ini direncanakan dilakukan pada bulan ini sebesar 10 miliar dollar AS dan pada bulan Oktober sebesar 15 miliar dollar AS sekaligus mengakhiri kebijakan QE. Hal yang sedikit melegakan terkait dengan rencana kenaikan sukubunga (the Fed rate), adalah pernyataan Yellen yang akan tetap mempertahankan sukubunga rendah untuk beberapa waktu (considerable time) setelah QE berakhir. Dalam rilis hasil rapatnya, The Fed juga menyampaikan kenaikan proyeksi sukubunga menjadi 1,375 persen di akhir 2015 dari proyeksi sebelumnya 1.125 persen. Dan pada tahun 2017 suku bunga ini ditargetkan menjadi 3,75 persen dengan sejumlah asumsi-asumsi dari proyeksi yang dihasilkan komite FOMC.
Optimisnya perkembangan ekonomi AS juga tercermin dari sejumlah proyeksi yang disampaikan The Fed. Dalam rilisnya paska rapat yang digelar minggu lalu, The Fed memproyeksikan pertumbuhan GDP akan meningkat di kisaran 2.6 – 3.0 persen pada tahun 2015, pada tahun 2016 di kisaran 2.6 – 2.9 persen dan pada tahun 2017 berada pada kisaran pertumbuhan 2.3 2.5 persen. Tingkat pengangguran AS juga diharapkan membaik ke kisaran 5.4 – 5.6 persen di tahun 2015 dan 5.1-5.4 persen di tahun 2016. The Fed juga memproyeksikan kisaran sukubunga pada level 3.75 persen di akhir 2017 dengan eskpektasi inflasi naik 1.9 – 2.0 persen.
Proyeksi ekonomi AS yang lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya setelah sejumlah data ekonomi makro AS menunjukkan perkembangan yang positif. Data pengangguran AS pada pertengahan September 2014 menunjukkan penurunan sebanyak 36.000 menjadi 280.000 di akhir 13 September. Dengan tren penurunan angka pengangguran ini, The Fed memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir 2014 berada di kisaran 5.9 – 6.0 persen atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di level 6.0 – 6.1 persen. Sementara itu tingka tinflasi diperkirakanakan berada di rentang 1.5 – 1.7 persen (yoy) tahun 2014 ini. Tingkat penjualan kendaraan juga meningkat tajam sebanyak 17,5 juta di bulan Agustus 2014 atau mencapai level tertinggi dalam 8 tahun terakhir. Kestabilan tingkat permintaan dan penawaran juga tercermin dari sejumlah aktivitas ekonomi dan belanja rumah tangga dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini memperkuat optimism pemulihan ekonomi AS sehingga prospek jangka panjang diperkirakan akan semakin membaik.
Sinyal pemulihan ekonomi AS yang tertuang dalam pengumuman hasil rapat komite FOMC minggu lalu ini kemudian mendorong sentiment penguatan mata uang Dollar AS (USD) terhadap mata uang negara-negara lain termasuk dengan Rupiah. Setidaknya hamper seluruh mata uang di Asia melemah terhadap USD pada sesi perdagangan minggu ketiga September 2014. Mata uang Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan dan juga Indonesia mengalami pelemahan terhadap USD. Nilai tukar Rupiah pada sesi perdagangan 18/9/2014 menembus batas psikologisnya di level Rp.12.025 per USD 1 atau melemah 0.46 persen. Pelemahan ini merupakan respon paska pengumuman hasil rapat The Federal Open Market Committee (FOMC).
Diperkirakan penguatan nilai tukar USD terhadap sejumlah mata uang negara lain dalam beberapa waktu ke depan akan terus berlangsung seiring dengan positifnya berbagai indicator makro perekonomian AS. Pada kondisi ini, para investor global akan cenderung mengubah orientasi investasinya dari jangka panjang menjadi jangka pendek. Aksi spekulatif akan cenderung mewarnai aktivitas perdagangan global dalam beberapa waktu ke depan melalui aksi relokasi investasi. Sentimen penguatan mata uang USD (dollar AS) ini telah memicu spekulasi adanya relokasi investasi yang selama ini tersebar di sejumlah Negara dengan prosepek ekonomi yang positif untuk kembali ke AS. Relokasi investasi dan aliran arus modal ini diperkirakan akan terus berlangsung sepanjang sinyal positif ekonomi AS tetap menunjukkan angka-angka yang positif.
Di sisi lain ekonomi-ekonomi besar seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang justru menunjukkan potret kebalikannya. Bank Sentral Eropa, Tiongkok dan Jepang saat ini justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan menempuh Quantititve Easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada industry perbankan di kawasan Euro dengan nilai sebesar 400 miliar euro (518 miliar dollar AS). Sedangkan Bank Sentral China mengeluarkan stimulus sebesar 81 miliar dollar AS pada 5 bank BUMN terbesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi China. Sementara itu Bank of Japan akan mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang lebih dalam. Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di ketiga wilayah tersebut masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target pemulihan ekonomi seperti yang diharapkan.
Bagi Indonesia, rencana pengakhiran QE III di AS dan masih berkontraksinya ekonomi zona Euro, Tiongkok dan Jepang merupakan factor penting yang perlu kita antisipasi bersama. Ketidakpastian dan volatilitas pasar keuangan dunia masih akan terjadi baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Dampak dari tekanan eksternal telah kita rasakan bersama saat ini dan dapat dipastikan gelombang ketidakpastian masih akan terus terjadi. Untuk memitigasi akan pengaruh ketidakpastian eksternal maka prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan dalam pengelolaan sector moneter, fiscal dan sector riil perlu terus kita jaga dan tingkatkan. Menciptakan formula yang tepat dan keseimbangan dinamis (dynamic-equilibrium) sangat kita perlukan antara nilai tukar rupiah, sukubunga, inflasi, cadangan devisa serta indicator sector riil. Melalui koordinasi antara BI, Pemerintah, LPS dan OJK maka kita akan tetap menjaga serta meningkatkan dayatahan (resiliency) dan dayasaing (competitiveness) perekonomian Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah.