RUU Cipta Lapangan Kerja, Upaya Tingkatkan Kualitas Ekonomi Melalui 11 Klaster Perbaikan Regulasi
Oleh Humas    
Dipublikasikan pada 25 Januari 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 848 Kali
Pada saat ini, Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% per tahun dengan realisasi investasi sebesar Rp601,3 triliun (data kuartal 3 – 2019).
Di sisi lain masih terdapat tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, pemberdayaan usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) yang masih belum maksimal, dan juga angka pengangguran masih tercatat sebesar 7,05 juta orang, dengan adanya tambahan angkatan kerja baru sebanyak 2 juta orang setiap tahun, dan sejumlah 57,26% atau 74,1 juta orang dari total angkatan kerja adalah pekerja di sektor informal. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita setiap bulannya tercatat sebesar Rp4,6 juta.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun ditargetkan mencapai 6% per tahun untuk dapat menampung dua juta pekerja baru. Hal ini memerlukan investasi baru sebesar Rp4.800 triliun (1% pertumbuhan ekonomi diperkirakan memerlukan Rp800 triliun). Investasi tersebut bersumber dari pemerintah, BUMN, swasta, penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan penanaman modal asing (PMA).
Maka itu, pemerintah mencetuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dengan metode Omnibus Law.
Tujuannya untuk menyederhanakan dan mengharmonisasi regulasi dan perizinan, meningkatkan kualitas investasi, menciptakan lapangan kerja yang lebih berkualitas, sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja, serta makin memberdayakan UMKM dalam peningkatan ekonomi rakyat. Juga untuk menuju target PDB per kapita sebesar Rp7 juta per bulannya.
Hal ini sejalan dengan visi “Indonesia Maju 2045” yaitu masuk dalam lima besar perekonomian dunia, dengan tingkat kemiskinan ekstrem nol persen, serta lapangan kerja yang sangat berkualitas. PDB per kapita per bulan pun ditargetkan sebesar Rp27 juta per bulan.
Omnibus Law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut UU atau beberapa ketentuan dalam UU yang diatur ulang dalam satu UU (tematik). Sebelumnya, sudah ada beberapa UU yang sudah menerapkan konsep tersebut, seperti UU No. 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU yang mencabut beberapa pasal dalam beberapa UU.
Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM (per 23 Januari 2020) terdapat 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah. Hal ini menggambarkan kompleksitas dan obesitas regulasi di Indonesia. Jadi, dengan adanya RUU Cipta Lapangan Kerja, akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan (PUU); efisiensi proses perubahan/pencabutan PUU; dan menghilangkan ego sektoral.
Sesuai hasil pembahasan terakhir per 24 Januari 2020, telah diidentifikasi sekitar 81 UU yang terdampak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dalam 11 klaster yaitu Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi.
Sejak 22 Januari 2020, RUU Cipta Lapangan Kerja sudah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Minggu depan, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) akan menghadap Presiden Jokowi untuk membahas progres terbaru Omnibus Law, dan kemungkinan akan dilakukan dengan Rapat Terbatas guna pemberian paraf dari Presiden dan menteri-menteri terkait dalam draf dan naskah akademik RUU tersebut.
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono mengatakan, “Begitu sudah diparaf dan dikirim Surat Presiden (Supres) kepada DPR, kemudian akan dibahas dalam sidang paripurna, baru akan dibahas ke publik. Jadi, dijamin yang beredar (sekarang) tidak benar, karena masih ada di kami,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Bambang Hendroyono menjelaskan bahwa Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) akan tetap ada dan termasuk dalam izin berusaha, khususnya untuk usaha yang berisiko tinggi terhadap lingkungan.
“Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja itu bagaimana kami mendukung investasi yang takkan lepas dari basis lingkungan, selain ekonomi dan sosial. Kita tekankan basis yang sudah berubah konsepnya jadi risk based approach, dan UU No. 32/2009 (tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) tetap jadi filosofi dan yurisdiksi yang diselaraskan tanpa mengubah prinsip lingkungan. Ini sesuai dengan prinsip reformasi birokrasi,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Himawan Arief Sugoto menerangkan, dengan RUU Cipta Lapangan Kerja, salah satu hal penting yaitu kecepatan pengadaan lahan akan makin dipercepat, kemudian akan dibentuk bank tanah untuk menjamin ketersediaan tanah untuk penciptaan lapangan kerja baru. “Jadi, ini banyak potensi untuk kepentingan umum, sosial, dan mendukung reforma agraria,” ujarnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Khairul Anwar mengungkapkan bahwa penghitungan pesangon untuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) masih sama seperti yang sebelumnya. Pegawai kontrak juga akan diberikan kompensasi seperti halnya pegawai tetap, namun memang dengan penghitungan yang berbeda dari pekerja tetap.
Upah minimum pun akan tetap diterapkan dan tidak dapat ditangguhkan, khususnya untuk pekerja di bawah setahun. Sementara, yang sudah lebih dari itu akan disesuaikan dengan skala pengupahan di perusahaan masing-masing. Sedangkan, upah per jam akan berlaku untuk pekerjaan khusus, misalnya di bidang ekonomi digital atau konsultansi.
“Pemerintah berkomitmen ingin memperluas dan membangun kesempatan kerja, sehingga angkatan kerja akan mudah mendapat pekerjaan,” tuturnya.
Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum dan Keamanan Kemenko Perekonomian Elen Setiadi juga menuturkan bahwa RUU Cipta Lapangan Kerja tidak mencantumkan pasal yang menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri bisa memecat pimpinan daerah, melainkan ini memang sudah diatur di Pasal 68 UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Sedangkan, jaminan produk halal masuk ke klaster penyederhaan izin berusaha, dan ini diatur dengan mempermudah sertifikat halal, dan tidak menghilangkan (persyaratan) ini,” pungkasnya. (Humas Kementerian Perekonomian/EN)