Sambutan Presiden Joko Widodo Pada Acara Penganugerahan Adhi Karya Pangan Nusantara 2015, di Istana Negara, Jakarta, 21 Desember 2015

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 21 Desember 2015
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 14.689 Kali

Logo-PidatoBismillahirahmanirahim,

Assalamualaikum warahamatullahi wabarakatuh,

Selamat sore, salam sejahtera bagi kita semua.

Yang saya hormati para menteri kabinet kerja, yang saya hormati seluruh gubernur dan wakil gubernur, para bupati, yang saya hormati para penerima penghargaan Adhi Karya Pangan Nusantara tahun 2015, hadirin dan para undangan yang berbahagia.

Yang pertama, saya ingat waktu pemberian Adhi Karya Pangan Nusantara di Subang. Saat itu memang saya ingin melihat benih, ingin melihat padi di sawah yang ada di Subang dan sekitarnya. Oleh sebab itu, saya sampaikan ke Menteri Pertanian, nanti Adhi Karya Pangannya diberikan saja sekaligus di Subang, ternyata keliru. Itu kan pemberiannya dibuatkan tenda di dekat sawah. Semuanya protes, “Pak, kalau di sawah kami tiap hari pak, yang belum pernah ke Istana”, waduh ternyata keliru. Sekarang setiap tahun di Istana sudah.

Dan yang kedua, itu diingat-ingat terutama untuk para gubernur dan seluruh bupati kalau sudah dapat piala seperti itu minta anggarannya lebih ‘gede’ ke Menteri Pertanian. Gapoktan juga sama minta ke Menteri Pertanian apa yang bisa diberikan kalau sudah dapat piala. Masa hanya dapat piala itu saja, tambahin, enggak tahu tambahin untuk benihnya, entah pupuknya, entah bibitnya, terserah. Yang jelas harus ada program dari Kementerian Pertanian. Karena Bapak/Ibu yang hadir di sini yang dipilih memang dipilih dari yang baik-baik menjadi yang terbaik. Ya kalau tidak diberikan sebuah stimulus ya untuk apa. Jadi mintalah kepada menteri pertanian. Minta saja, nanti kalau tidak diberi ngomong ke saya.

Tadi itu kan Pak Menteri cerita sendiri anggarannya naik 100 persen. Benar naik 100 persen memang dan saya akan menunggu hasilnya 2-3 tahun akan saya tunggu. Apakah dengan anggaran yang sudah diberikan itu memberikan sebuah hasil. Apakah impor pangan akan semakin menurun, apakah produksi, entah padi, entah jagung, entah kedelai akan naik. Akan saya lihat. Saya tidak ingin tergesa-gesa. Baru setahun sudah minta sebuah hasil, tidak. Ini sebuah program jangka menengah, jangka panjang yang terus-menerus. Dan saya senang, Pak Menteri Pertanian ini orang lapangan, mengerti betul yang namanya pertanian, pestisida, jagonya, ini doktornya. Dan bukan doktor teori, tapi ini doktor lapangan, Pak Menteri Pertanian.

Banyak yang enggak mengerti jadi saya sombongkan sedikit. Kan enggak apa-apa, kalau cerita saya kan enggak apa-apa. Kalau cerita Pak Menteri ya keliru. Jadi sekarang ini kalau kita lihat, import sudah mulai turun. Kelihatan, jagung sudah drop turun, apalagi yang lain juga drop turun. Daging juga drop turun, bawang drop turun, sudah kelihatan angka-angkanya. Kelihatan, tetapi saya ingin melihat nanti 2-3 tahun lagi ini akan semakin kelihatan, karena kita ingin fokus kita berikan prioritas pada sektor pertanian. Tetapi juga jangan sampai produksi kita meningkat, tapi kesejahteraan petani tidak meningkat, untuk apa.

Tiap bulan saya lihat, nilai tukar petani seperti apa, alhamdulillah, setiap bulan saya lihat naik. Naik. Jadi yang disampaikan oleh pak menteri tadi misalnya harga gabah yang naiknya dibanding tahun yang lalu, naiknya lebih dari 1.000, saya kira itu sebuah loncatan yang besar lagi. Tapi saya juga titip hati-hati, kalau kenaikannya terlalu tinggi juga yang beli beras juga teriak-teriak semuanya. Gabah kan itu larinya ke beras dan yang mendapatkan kenaikan itu seharusnya dan harusnya produsennya, siapa? Petani, bukan orang ketiga, orang keempat, orang kelima yang ada ditengah-tengah ini. Jangan sampai yang banting tulang dari pagi sampai malem pagi sampai malem pagi sampai malam petani, tetapi yang untung yang ada di tengah, enggak. Saya sampaikan kepada Menteri Pertanian agar didorong harga itu betul-betul dinikmati oleh petani.

Dari angka BPS yang saya terima, benar, memang nilai tukar petani bulan ke bulan ada kenaikan. Dan moga-moga Bapak/Ibu sekalian yang berada di bawah itu merasakan betul. Kira-kira benar enggak sih, betul? Benar? Ah, teriaknya setengah-setengah itu saya enggak yakin. Benar bahwa BPS memberikan angka kepada saya nilai tukar petani itu naik dari bulan ke bulan, Ibu dan Bapak sekalian merasakan ndak? Ah, ndak kompak, saya malah kurang yakin kalau seperti ini.

Jadi jangan sampai angka-angka , saya juga enggak mau angka-angka yang diberikan angka ABS (Asal Bapak Senang), tidak. Mau pasti nanti saya juga cek di lapangan, tapi Menteri Pertanian juga menyampaikan kepada saya bahwa memang harganya di penggilingan seperti itu. Saya juga tiap hari tanya ke Pasar Induk Cipinang, harga naik atau turun, harga turun atau naik, ini tanyanya bolak-balik itu saja. Saya ikuti terus karena ini menyangkut perut rakyat. Enggak bisa hal seperti itu dibiarkan.

Yang kedua yang berkaitan dengan jagung, sebetulnya kalau saya lihat. Saya melihat pertama yang ada di Nusa Tenggara Barat di Dompu saat panen jagung, kemudian di Ponorogo saat panen jagung. Saya lihat produksi per hektarnya sangat besar sekali kualitas jagungnya juga sangat baik sekali. Tapi sudah berpuluh-puluh tahun kita selalu impor jagung. Saya selau bertanya kenapa ini kita lakukan terus-menerus padahal kita bisa nanem sendiri padahal kita bisa produksi sendiri. Kenapa kita harus impor? Ternyata jawabannya adalah kalau impor itu bayarnya bisa belakangan. Jawabannya hanya itu, padahal kebutuhan jagung kita sangat besar sekali.

Kalau bisa diproduksi sendiri, Bapak/Ibu, Saudara sekalian, neraca perdagangan kita akan semakin baik. Kita tidak tergantung pada negara lain. Karena jagung ini sangat dibutuhkan sekali untuk makanan ternak. Kebutuhannya sangat besar sekali. Tetapi kadang-kadang distribusi dari sebuah pulau, dari sebuah provinsi untuk masuk ke pabrik itu bisa jauh sekali. Kadang-kadang informasinya di sana banyak tetapi di sini enggak tahu, ini yang sekarang ini akan kita hubungkan agar yang ada di sebuah provinsi di sebuah kabupaten terdengar oleh permintaan kebutuhan yang ada di pabrik-pabrik pakan ternak.

Yang ketiga masalah ketela pohon. Kebutuhan yang saya baca data, kebutuhan di dalam negeri saja ada 27 juta ton untuk tepung dan lain-lain. Yang bisa dipenuhi baru kira-kira 3 juta ton, masih kekurangan 24 juta ton. Peluang-peluang seperti ini kenapa tidak kita garap kita kerjakan. Ini baru berbicara kebutuhan dalam negeri, belum permintaan eskpor misalnya untuk Cina saja, untuk Tiongkok. Tepung cassava mau berapa pun mereka mau, tapi emang produksinya dalam negeri saja kurang.

Sebetulnya masih banyak kesempatan agar petani-petani kita sebuah produsen yang sejahtera, masih. Tapi memang kita harus fokus, harus memberikan prioritas kepada produk-produk yang memang memberikan keuntungan.

Juga yang berkaitan dengan holtikultura, itu juga sama. Buah-buah kita itu juga sangat, buah-buahan misalnya sangat diminati oleh luar negeri karena kita punya buah-buah spesifik yang negara lain enggak punya. Permintaannya banyak tapi suplainya enggak ada. Supply-nya ada tapi kualitasnya tidak memenuhi. Nah ini kita biasanya tertinggal biasanya ada di sini, bisa mensuplai tetapi kualitasnya tidak memenuhi. Barangnya baik tetapi pengerjaan pasca panennya tidak baik.

Saya berikan contoh, saya juga baru tahu, misalnya mangga untuk ekspor, itu cara memetiknya tidak hanya langsung petik, tidak. Memetiknya itu getahnya tidak bertebaran kemana-mana. Ada tekniknya. Itu yang kadang-kadang, pasca panennya tidak dikerjakan dengan baik. Pisang juga sama. Pisang kita banyak yang kualitasnya baik, tapi cara memotong waktu panennya itu keliru, salah.  Sehingga dijual langsung harganya jatuh. Ini saya kira hal-hal kecil-kecil sepertii ini yang harus diberikan pelatihan, diberikan training sehingga pengerjaan paska panen itu betul-betul bisa dikerjakan dengan baik.

Saya melihat peluang-peluang yang ada. Saya pernah masuk sebuah hypermaket di Uni Emirat Arab, di Abu Dhabi. Saya masuk karena saya mendengar kalau semua buah-buahan Indonesia ada di situ, betul, saya masuk semuanya ada.

Dari nanas dari Lampung, Pepaya dari Jawa Barat, mangga dari Jawa Timur, kemudian beberapa kelengkeng dari Jawa Tengah, manggis dari Sulawesi. Banyak sekali seperti itu. Saya tanya, apakah, dia mempunyai 180 toko hipermarket seperti yang saya lihat itu besar sekali. Apakah semua hypermarket itu mempunayi buah-buahan seperti di sini? Enggak ada. Kenapa enggak ada? Di sini kan laris. “Barangnya di Indonesia enggak ada”, saya kaget.

Ternyata betul memang permintaan banyak supply-nya dari propinsi kabupaten, dari petani memang kurang. Barangnya ada tapi kualitasnya tidak memenuhi. Saya lihat entah sawo, entah manggis, entah pepaya, pisang, mangga, melon ada semuanya, nanas semuanya ada. Tapi jumlahnya tidak mencukupi, itu baru satu hypermarket, di dunia ini ada ribuan hypermarket.

Yang itu bisa kita masuki. Juga beras, dijual di situ saya lihat produk berasnya kok mahal banget ini ternyata beras organik. Yang kalau mau ekspor memang harus bagus yang punya peluang besar ya beras organik. Sekarang kalau dijual sudah berapa pak beras organik? 20.000-25.000 beras organik. Pasarnya juga masih banyak sekali.

Masih banyak sekali. Ini peluang-peluang yang bisa kita masuki dan merupakan kesempatan bagi kita semua untuk kita semua untuk masuk kepasar-pasar itu. Enggak usah jauh-jauhlah, pasar Asia, pasar Timur Tengah. Enggak usah pasah Eropa, enggak usah Amerika. Belum masuk ke misalnya pasar Cina juga yang berapa miliar orang ada di sana. Pasar yang kecil-kecil saja kita belum bisa memenuhi dari permintaan yang ada.

Inilah saya kira problem dan masalah yang perlu kita pecahkan bersama-sama. Di sini ada yang menanam nanas enggak? Di mana Pak? Di Kalimantan Timur. Coba maju Pak (Presiden meminta salah satu undangan maju ke depan).

Ada yang jualan pisang? Produksi maksud saya, produksi pisang ada? Tidak ada? Ada yang produksi atau jualan beras organik? Silakan Bu, maju (Presiden meminta satu undangan maju ke sebelahnya).

Ini yang belakang kok pada lihat-lihat apa itu? Pengen maju?

Terima kasih Bu, terima kasih (Presiden mengucapkan terima kasih kepada yang sudah maju dan berdiri di sebelahnya)

Enggak tahu ya, saya setiap bertemu dengan, kemarin minggu yang lalu saya bertemu dengan nelayan-nelayan. Ada yang ekspor, “Pak saya sudah ekspor ke Jepang, ke Taiwan, ke Singapura, ke Malaysia”, saya kok optimis sekali bahwa kita ini memang bisa begitu loh. Bisa melakukan itu. Tanya ikan hias, ikan hias di mana jual, jualnya ke mana? Di singapura, kaget saya. Saya kira hanya di pasar-pasar. Kaget saya. Tanya lagi, nelayan-nelayan pembudi daya ikan. Ini kan apalagi sekarang nanti, seminggu lagi kita sudah terbuka Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sudah ndak ada batasnya lagi Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Brunai Darussalam, Vietnam, Laos, sudah tidak ada batasnya lagi.

Bapak/Ibu semuanya hanya ada dua pilihan, kita diserbu produk-produk mereka atau kita menyerbu produk-produk kita ke mereka. Pilihannya hanya itu. Tapi saya meyakini dengan kemampuan–kemampuan seperti tadi yang disampaikan, nanas, beras organik, mungkin yang lain-lain. Saya optimis kita akan bisa menyerang dan menyerbu dengan produk-produk kita ke negara tetangga kita. Jangan ada rasa pesimisme.

Ada banyak kita ini, kita ini terlalu lama ya dijajah oleh pemikiran-pemikiran yang pesimis. Pemikiran-pemikiran yang negatif, tidak mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif yang optimis. Etos kerja kita memang harusnya ke sana. Saya paling tidak senang ada keluhan-keluhan yang menyebabkan kita ini menjadi pesimis, ndak. Waah, waduh kita nanti diserbu pak, produk-produk mereka akan datang dan kita diserbu. Loh loh loh loh loh belum belum kok sudah takut, belum-belum sudah ragu-ragu.

Perlu Bapak/Ibu ketahui, setiap saya bertemu kepala negara ASEAN mereka itu bisik-bisik ke saya. Entah presiden entah perdana menteri, Presiden Jokowi nanti produk-produk Indonesia bisa masuk negara saya. Ketemu perdana menteri juga mengatakan hal yang sama, ketemu presiden juga mengatakan hal yang sama.

Mereka itu takut produk-produk Indonesia, takut. Lah kok kita ragu-ragu. Kok kita ikut-ikutan takut. Kan keliru, benar enggak? Keliru. Bagaimana kita efisien, bagaimana kita mempunyai harga yang baik, bagaimana kita punya harga yang keompetitif, serbu produk-produk mereka ke sana, harusnya optimis seperti itu. Jangan ragu-ragu, jangan takut. Mereka takut kok kita ikut-ikutan takut, gimana sih. Kalau perlu mereka kita takut-takuti gitu loh. Kok malah takut sih, mereka bisik-bisik ke saya itu takut. Takut itu loh.

Jadi jangan ada rasa itu, bagaimana memproduksi sebanyak-banyaknya nanas. Bagaimana memproduksi sebanyak-banyaknya pepaya, bagaimana memproduksi sebanyak-banyaknya mangga, banyak-banyak beras organik, supaya kita bisa datangi pasar-pasar mereka dengan harga yang kompetitif, dengan kualitas yang baik. Jangan kebalik-balik. Kita diserbu oleh produk mereka.  Saya yakin harga-harga kita sangat kompetitif.

Saya tanya yang tadi dibawa ke Uni Emirat Arab, saya gimana harganya dengan barang-barang dari beras itu dari Thailand yang biasanya mereka dipajang di hypermarket-hypermaket, di supermarket-supermarket. Enggak Pak, harga Indonesia sangat kompetitif, mereka menyatakan itu, manajer penjualannya menyatakan itu. Barang kita kompetitif, kualitasnya beberapa sudah baik, tetapi jumlahnya yang masih kurang.

Itu yang menjadi tugas Bapak/Ibu dan Saudara-saudara sekalian baik gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati dan semuanya jajarannya sampai ke petani-petani kita, tugas kita semuanya. Gapoktan semuanya, perguruan tinggi untuk riset-risetnya.

Tugas kita semuanya. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi selamat kepada yang menerima penghargaan dan dengan kerja keras kita semuanya saya yakin bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang akan menjadi bangsa yang berdaulat di bidang pangan. Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

(Humas Setkab)

Transkrip Pidato Terbaru