Sambutan Presiden Joko Widodo pada Pembukaan Konvensi Nasional Indonesi Berkemajuan, Senin, 23 Mei 2016 pukul 14.00 WIB, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang saya hormati Ketua MPR,
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,
Yang saya hormati Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta,
Yang saya hormati Ketua Umum PP Muhammadiyah Bapak Dr. Haidar Nasir, M.Si. beserta seluruh jajaran pengurus PP Muhammadiyah dan keluarga besar Muhammadiyah,
Yang saya hormati Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beserta seluruh keluarga besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Hadirin dan undangan yang berbahagia.
Saya baru saja berkunjung dari Korea Selatan minggu yang lalu, apa yang saya lihat di sana, cerita yang disampaikan kepada saya tahun 50, tahun 60, tahun 70 sedikit kesana Korea Sekatan kurang dan lebih dan mungkin lebih kurang dari kita, baik sisi kemiskinan, baik sisi kota, dan kalau kita lihat, misalnya dulu seperti itu tahun-tahun 60-an. Kemudian masuk ke tahun 70 mulai, tapi 70 agak-agak atas, mulai mereka masuk ke industri. Sebetulnya pada tahun itu Indonesia juga sudah memulai PT PAL itu tahun-tahun 70-an. Kemudian BUMN-BUMN besar kita juga sudah mulai tahun-tahun 70-an. Dan Korea pada tahun itu juga sudah memulai industrinya, kita juga sudah memulai.
Kemudian kalau kita lihat dari sejarah itu, apa yang bisa kita petik pelajarannya? Sama tadi di sini, di sana memulai di sini kita juga memulai, di sana pertanian di sini kita juga pertanian. Namun pada dekade berikutnya mereka menjadi, Korea menjadi raksasa ekonomi dunia dengan GDP yang sangat luar biasa kalau dibandingkan dengan kita. Menurut saya, ada dua kunci Korea Selatan meraih kemajuan itu. Yang pertama adalah keterbukaan dan yang kedua adalah keberanian inovasi. Mereka terbuka, mereka berlomba-lomba untuk berinovasi dan mereka berlomba-lomba untuk mengejar kemajuan, dan mereka karena terbuka mereka berani bersaing, mereka berani berkompetisi dengan negara-negara yang lain.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Indonesia adalah negara besar, kita adalah bangsa besar, dan kita adalah sebuah kapal besar. Dengan penduduk 252 juta, dengan 17 ribu pulau yang kita punyai, dengan anugerah yang diberikan Allah kepada kita,berlimpah ruah sumber daya alam kita, kenapa kita bisa ditinggal oleh mereka? Menurut saya, kita tidak berada pada konsistensi yang terus menerus untuk melakukan kerja keras, untuk selalu berpikir rasional, untuk selalu berpikir positif, untuk selalu bekerja produktif, untuk selalu bekerja dengan inovasi-inovasi yang baik. Kita selalu terjebak kepada tadi yang disampaikan oleh Bapak Ketua Umum PP Muhammadiyah, selalu membesar-besarkan masalah, berpikir yang tidak produktif, kemudian juga gampang sekali menjelekkan dan mencemooh yang lain, gampang sekali mengeluh. Oleh sebab itu, menurut saya tantangan-tantangan seperti itulah yang harus kita selesaikan.
Dan kondisi ini, kalau kita lihat, sekarang kalau kita lihat yang berkaitan dengan daya saing kita di ASEAN saja Indonesia berada pada posisi yang nomor 4, di bawah Singapura, di bawah Malaysia, di bawah Thailand. Posisinya nomor 4 dan nomor 37 secara global. Kalau kita lihat dalam kemudahan berusaha (ease of doing business), kita nomor 109 dari kurang lebih 180 negara, nomor 109 sebelumnya kita nomor 120. Singapura nomor 1, Malaysia nomor 18, Thailand nomor 49, Vietnam nomor 90, Brunei nomor 84, kalah semua kita dengan mereka.
Apa yang menjadi persoalan di Indonesia? Menurut saya, kita tidak berani melakukan perombakan besar-besaran di jajaran pemerintah kita, kita tidak berani melakukan perubahan di dalam aturan-aturan, di dalam regulasi-regulasi yang ada di negara kita. Saya berikan gambaran, negara kita sekarang ini mempunyai kurang lebih 42.000 aturan regulasi, baik yang ada di undang undang, di perpres, di pp, di peraturan menteri, dan juga di perda. Sekarang ini ada 3.000 perda bermasalah yang ada di Kementerian Dalam Negeri. Apa yang harus kita buat sekarang ini dengan adanya persoalan-persoalan seperti ini? Berpikir saya sederhana, hal-hal seperti inilah yang harus kita potong secepat cepatnya. Dipotong, dibuang, disederhanakan, sehingga semuanya menjadi cepat. Karena kita berkompetisi, bersaing dengan negara-negara yang lain yang mempunyai kecepatan yang sudah mendahului kita. Kalau kita ingin mendahului artinya apa? Hal-hal seperti ini yang harus kita selesaikan.
Saya sudah perintahkan kepada Menteri Dalam Negeri maksimal bulan Juli 3.000 perda bermasalah ini harus hilang, harus dihapuskan. Tidak usah pakai dikaji-dikaji, tidak usah. Karena saya suruh, tahun yang lalu saya suruh mengkaji, sebulan hanya dapat 7, kalau 3.000 berarti butuh berapa tahun kita? Habis waktu kita. Sudah, enggak usah pakai kaji-kajian, langsung dihapuskan.
Kemudian peraturan-peraturan yang 42.000 juga lihat-lihat, dilihat-lihat, kalau kira-kira menambah ruwet, menambah panjang, merepotkan masyarakat, sudah, juga sama, dipilih langsung dihapus, dipilih hapus, dipilih hapus. Kalau undang-undang, kalau itu undang-undang, sudah kumpulkan semuanya segera revisi. Tidak usah menerbitkan undang-undang baru tapi ini yang direvisi sehingga mempercepat laju pembangunan kita.
Ada tiga hal yang menurut saya, apabila kita ingin mengejar negara-negara yang lain, yang perlu kita lakukan yaitu yang pertama mempercepat pembangunan infrastruktur, yang kedua deregulasi besar-besaran seperti tadi yang saya sampaikan, yang ketiga adalah pembangunan sumber daya manusia. Fokus, konsentrasi, prioritas ada di sana.
Percepatan pembangunan infrastruktur, kita sudah sangat ketinggalan dengan negara-negara di tetangga kita. Ongkos transportasi, biaya logistik kita 2,5 kali lipat mereka. Bongkar muat kapal di pelabuhan-pelabuhan kita bisa sampai 7 hari, bisa sampai 2 minggu, bisa sampai 3 minggu, rata-rata 7 hari. Padahal di Singapura hanya 1 hari, di Malaysia hanya 2 hari. Itu yang sering saya sampaikan dwelling time, itu yang harus juga kita potong agar paling tidak bukan 7, paling tidak di bawah 3, baru kita akan bisa bersaing dengan mereka. Kalau tidak sampai kapanpun kita tidak akan mungkin bersaing dengan mereka karena ongkos kita 2,5 kali mereka. Artinya apa? Harga-harga barang kita juga akan lebih mahal dari mereka.
Bandingkan Bapak/ Ibu sekalian, harga daging. Harga daging saja, saya sudah pegang invoice dan packing list-nya, di Singapura, di Malaysia harga daging itu hanya 50 ribu-55 ribu sudah di ritel, sudah di toko untuk dijual kepada konsumen. Kita berapa? 120-130. Kalau mau lebaran bisa nanti sampai 150. Sehingga kira-kira 3 minggu yang lalu saya perintahkan kepada Menteri, caranya saya tidak mau tahu, tapi saya minta sebelum lebaran harga daging harus di bawah 80. Kalau negara lain bisa di kita juga mestinya bisa. Tidak usah 55, enggak usah, dari 120, dari 130 sekarang di bawah 80. Nah ini menteri-menteri baru pusing semuanya mengurus urusan daging agar bisa di bawah 80.
Tetapi kalau negara, kalau saya, saya bodoh-bodohan saja, kalau di negara lain bisa kita juga harusnya juga bisa. Ini hanya mau atau tidak mau, niat atau tidak niat, hanya itu saja. Tetapi memang bukan persoalan yang gampang diurai karena sudah bertahun-tahun hal itu dianggap biasa, buat saya itu bukan hal biasa. Ini yang harus dibongkar dan dijungkir-balikkan. Tapi sekali lagi memerlukan sebuah kerja keras oleh kita semuanya.
Percepatan infrastruktur, kita sudah sangat, sangat-sangat ketinggalan sekali. Saya berikan contoh saja yang infrastruktur yang mempercepat arus barang dan arus manusia. Contoh di China, mereka sekarang sudah mempunyai kereta cepat itu 16 ribu kilometer, kereta cepat yang bergeraknya di atas 300 kilometer/jam. Sudah mempunyai 16 ribu kilometer. Kita ini mau nyoba, mau memulai baru 154 kilometer sudah ramainya setengah mati. Seperti yang disampaikan oleh tadi Bapak Ketua Umum PP Muhammadiyah, meramaikan sebelum kita melihat, sudah ramai dulu. Inilah hal-hal yang tidak produktif yang harus kita selesaikan.
Kemudian pembangunan jalan tol. Jalan tol di Sumatera itu sudah 30 tahun yang lalu direncanakan tapi tidak pernah dieksekusi, tidak pernah dimulai. Kalau saya berpikir saya sederhana sekali, sudahlah ayo ke Lampung groundbreaking, eksekusi. Tapi ada yang bisikin ke saya saat saya ke Lampung waktu groundbreaking masyarakat yang bisikin ke saya, Pak, jangan-jangan hanya groundbreaking saja Pak tapi tidak ada pelaksanaan. Saya kaget, ternyata dulu pernah di-groundbreaking tapi tidak dimulai-mulai sehingga masyarakat menjadi tidak percaya. Waktu kita groundbreaking juga jalur kereta api di Sulawesi, juga sama, Pak di tempat ini pernah di-groundbreaking pembangunan jalur kereta api tapi juga tidak dimulai-mulai sekian tahun yang lalu, Sehingga waktu saya datang kesana yang kedua, yang ketiga, yang keempat, yang kelima di jalan tol Trans Sumatera dan saat itu juga dengan Pak Ketua MPR juga melihat langsung baru kira-kira enam bulan semuanya kaget karena sudah diratakan dalam jarak yang sudah sangat panjang.
Kenapa saya datang sampai berkali kali seperti itu? Saya hanya ingin memastikan bahwa pembangunan itu berjalan dan ada progress-nya, ada perkembangannya. Di jalur kereta api di Sulawesi juga sama, kenapa saya datang karena saya ingin perkembangan itu ada, progress-nya itu ada. Bukan hanya groundbreaking bukan, memastikan itu yang paling penting. Dan yang paling penting juga, kalau saya datang kesana sekali menterinya pasti datang 2 kali. Kalau menterinya datang 2 kali, dirjennya pasti datang 4 kali. Jadi kalau saya datang kesana 6 kali, menterinya datang 12 kali, dirjennya datang 24 kali.
Jadi jalan tol dimulai, pembangunan jalur kereta api dimulai, pelabuhan-pelabuhan di Kuala Tanjung juga sudah dimulai. Ada yang selesai 30%, ada yang 40%. Di New Makassar Port juga sudah dimulai. Yang belum Sorong insya Allah tahun ini juga akan kita mulai. Artinya apa? Percepatan pembangunan infrastruktur itulah yang akan nantinya memberikan daya saing bangsa kita, memberikan daya saing produk-produk Indonesia. Juga airport, perpanjangan runaway, kemudian pembangunan terminal, di Wamena misalnya, di Rembele di Bener Meriah di Aceh misalnya. Semuanya dimulai, yang kecil, yang besar semuanya dimulai. Kita ini kalau tidak memulai, ini ragu-ragu terus, kapan-kapan-kapan, sudah kalau saya berpikir saya sudah dimulai, eksekusi dimulai. Kalau kita menunggu-nunggu kapan ini akan selesai? Negara yang lain sudah bergerak cepat seperti yang di depan tadi saya sampaikan.
Kemudian yang kedua, yang berkaitan dengan deregulasi. Tadi sudah saya sampaikan di awal bahwa aturan-aturan yang menghambat kita, aturan-aturan yang menjadikan birokrasi kita berbelit-belit itu yang harus dipangkas total, dihilangkan total. Tidak bisa lagi kita mengurus izin sampai bertahun-tahun, mengurus izin usaha sampai berbulan-bulan. Saya kira di keluarga besar Muhammadiyah banyak sekali saudagar-saudagar yang saya kira juga merasakan itu betapa sangat sulit yang namanya mengurus izin, tidak di pusat tidak di daerah. Inilah yang harus disederhanakan, diperbaiki, dibenahi, kalau tidak ditinggal betul kita, ditinggal, ditinggal. Paket-paket ini apa? Paket-paket deregulasi I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII untuk apa? Memudahkan, menyederhanakan, mempercepat, tujuannya hanya itu, tidak ada yang lain.
Yang ketiga yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia, di sinilah kita yang sangat terlambat. Oleh sebab itu, untuk mempercepat, untuk mempercepat kita memang harus mengembangkan sekolah-sekolah vocational training-training vocational, dan dimagangkan dengan industri-industri yang ada di daerah-daerah. Kalau itu tidak dilakukan secara besar-besaran, ya sekali lagi, akan ditinggal kita. Karena kalau hanya training-nya lewat misalnya yang masih gaya lama lewat BLK ya setahun hanya dapat berapa? Dapat 100, dapat 200 orang. Padahal kebutuhan kita adalah jutaan. Pengangguran kita masih 7,6 juta yang memerlukan lapangan pekerjaan. Tapi kalau ini tidak dilakukan perbaikan training dengan cara-cara magang… Saya kira Jerman bisa kita contoh, Jerman itu training-nya tiga hari teori tiga hari di pabrik, tiga hari teori tiga hari di industri, dan dititipkan kepada industri-industri yang telah bekerja sama dengan pemerintah. Saya kira ini juga akan kita copy dan kita tiru untuk negara kita sehingga peningkatan produktivitas sumber daya manusia itu betul-betul bisa kita punyai.
Dan yang paling penting dalam pembangunan sumber daya manusia ini adalah, yang pertama mengembangkan standarisasi untuk kompetensi di semua bidang. Ada standarnya yang jelas, kualifikasinya jelas sehingga orang akan mengejar kesana semuanya. Saya berikan contoh saja misalnya, contoh di Jerman lagi, untuk pelatihan masang jendela itu hanya dikhususkan masang jendela saja. Untuk pelatihan masang pintu hanya khusus masang pintu. Fokus dan subfokusnya ada di situ. Tidak semuanya dikerjakan, masang jendela satu, masang pintu juga diajari, masang batanya diajari, tidak, hanya ngajari satu bidang saja. Setelah itu sertifikat dikeluarkan sehingga standarisasinya jelas, kompetensinya setiap yang sudah keluar dari training menjadi jelas, dan tidak terlalu umum tetapi fokus, subfokus, dan kalau bisa superfokus. Ini akan kita kembangkan di bidang-bidang pertanian, industri, manufaktur, dan juga di industri jasa. Oleh sebab itu, kerja sama antara pemerintah dengan asosiasi, kerja sama pemerintah dengan manufaktur, kerja sama pemerintah dengan industri ini sangat diperlukan kedepan.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati,
Sekali lagi untuk maju dan menjadi bangsa pemenang kita perlu bersatu. Persatuan Indonesia adalah modal sosial kita untuk membawa kapal besar ini memenangkan kompetisi, memenangkan persaingan. Jangan mau kita di adu domba, jangan mau kita dipecah belah untuk kepentingan yang sempit, untuk kepentingan yang sebetulnya tidak produktif bangsa kita. Musuh kita jelas kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, dan kita sekarang ini pada posisi bersaing dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa yang lain untuk meraih kemajuan itu. Marilah kita bersatu untuk bangkit menjadi bangsa pemenang.
Akhir kata dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim saya nyatakan Konvensi Nasional Indonesia yang Berkemajuan dibuka dan dimulai.
Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.