Sambutan Presiden Joko Widodo pada Pembukaan Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor Angkatan XII Tahun 2018, 8 Agustus 2018, di Gedung Tegar Beriman, Kabupaten Bogor

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Agustus 2018
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 4.080 Kali

Logo-Pidato2Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu was salamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati yang mulia para ulama, para habaib, para kiai ajengan, para ustaz-ustazah, wabil khusus Bapak Ketua MUI Jawa Barat, Bapak Ketua MUI Kabupaten Bogor,
Yang saya hormati Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Moeldoko, Bupati Kabupaten Bogor, Ketua DPRD,
Yang saya hormati Bapak Ir. Romahurmuziy, Pak Romi,
Saudara-saudara sekalian seluruh peserta Pendidikan Kader Ulama MUI Angkatan XII yang saya lihat wajahnya cerah ceria semuanya,
Bapak-Ibu hadirin tamu undangan yang berbahagia.

Pertama-tama, saya ingin mengingatkan kepada kita semuanya, menyadarkan kepada kita semuanya, bahwa negara kita ini adalah negara besar. Kita memiliki penduduk 263 juta. Dan di setiap konferensi-konferensi  internasional, saya selalu menyampaikan, di awal saya selalu sampaikan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kenapa selalu saya sampaikan? Karena banyak negara yang tidak tahu bahwa Indonesia adalah negara yang penduduk muslim terbesar di dunia. Banyak yang tidak tahu. Dari 263 juta penduduk kita, 220 (juta) lebih adalah muslim. Inilah saya lihat, sebuah kekuatan besar dalam politik internasional kita. Sehingga di setiap konferensi itu selalu saya sampaikan.

Indonesia juga dianugerahi oleh Allah berbeda-beda, bermacam-macam, majemuk, warna-warni. Suku-suku kita bermacam-macam. Ada 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa daerah yang berbeda-beda. Inilah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada bangsa kita Indonesia, berbeda-beda, berbeda-beda.

Mungkin banyak di antara kita kalau belum pernah ke Sabang kemudian langsung terbang ke Merauke atau dari yang paling utara, di Pulau Miangas  kemudian terbang langsung ke Pulau Rote, belum merasakan betapa perbedaan itu memang sangat banyak, sangat bermacam-macam di negara kita. Beda agama, beda tradisi, beda adat, beda bahasa, beda suku, beda-beda semuanya. Inilah, sekali lagi, anugerah yang diberikan Allah kepada kita bangsa Indonesia.

Saya pernah terbang dari Aceh, Banda Aceh menuju ke timur di Wamena, bukan di Jayapura, tapi di Wamena. Saya terbang langsung. Waktu yang ditempuh naik pesawat 9 jam 15 menit. 9 jam 15 menit itu naik pesawat. Bayangkan, Bapak-Ibu sekalian kalau jalan kaki.  Kalau dibandingkan, kalau kita terbang dari London di Inggris kita terbang ke timur itu sampai Istanbul di Turki, itu lewat 1, 2, 3, 4, 5, 6,  mungkin 7-8 negara. Artinya apa? Negara ini negara besar. Dan kita sering lupa bahwa pulau yang ada di negara kita ini  bukan hanya Pulau Jawa saja. Ada 17.000 pulau yang ada di Indonesia ini, 17.000 pulau.

Saya pernah ke Pulau Miangas, saya pernah Pulau Rote yang paling selatan. Miangas paling utara, Rote paling selatan. Betapa perbedaan itu sangat kelihatan sekali. Bahasa daerah saja, kalau di sini sampurasun, di sini, di Sunda. Saya contohkan lagi di Sumatra Utara, biasanya setelah salam, assalamu’alaikum di Medan ada horas. Horas itu di Medan. Begitu masuk ke tengah sudah beda lagi, itu masih di satu provinsi. Saya salah saat itu, saya horas, diberitahu, “Pak, di sini bukan horas, Pak, di sini mejuah-juah, Pak.” Beda lagi itu di tengah. Begitu masuk ke timur, beda lagi ke timur, “Pak, di sini bukan horas, Pak, di sini juah-juah.” Yang tadi mejuah-juah, yang di sini juah-juah, beda lagi. Begitu masuk ke selatan, beda lagi. Di Nias itu beda lagi. Di Nias itu bukan horas tapi ya’ahowu. Saya belajar ngomong ya’ahowu sulit banget. Jadi yang tadi di Karo beda, di Fakfak beda, di Medan beda, di Nias beda, ini baru satu provinsi.

Bayangkan Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian, 514 kota/kabupaten, 34 provinsi. Betapa perbedaan itu akan kelihatan sekali kalau Bapak-Ibu semuanya pergi dari provinsi ke provinsi,  atau kota, atau kabupaten ke kabupaten. Beda-beda semuanya, saya mengalami ini. Dan saya baru merasakan betapa negara ini betul-betul sebuah negara besar yang kita sering lupa menyadari itu.

Yang kedua, di setiap konferensi-konferensi dunia Islam dan pada beberapa bulan yang lalu kita juga mengundang ulama-ulama besar dari seluruh dunia untuk konferensi di Bogor, kita menyampaikan sebuah paradigma Islam wasathiyah, Islam moderat, Islam Jalan Tengah, Islam yang penuh dengan toleransi, Islam yang penuh dengan kesejukan.

Hadir saat itu juga Grand Syeikh Al Azhar, Grand Syeikh dari Masjidil Haram dan ulama-ulama besar. Beliau-beliau ini sangat mengagumi Indonesia, setelah kita bercerita mengenai keragaman Indonesia yang berbeda-beda suku, berbeda-beda agama, berbeda adat, berbeda tradisi. Para ulama dunia menyampaikan betapa sulitnya mengelola bangsa dengan bermacam-macam seperti itu. Kekaguman itu yang selalu beliau-beliau sampaikan kepada saya, tetapi kita sendiri kadang-kadang tidak menyadari itu, tidak menyadari itu. Bahwa kita ini sering dipakai untuk rujukan-rujukan dunia Islam.

Dan oleh sebab itu, karena sering saya sampaikan, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sekarang ini kalau ada masalah-masalah, pasti yang ditelepon pertama adalah kita. Ada Masalah Palestina, langsung Presiden Mahmoud Abbas yang ditelepon pertama adalah Indonesia. Presiden Turki juga menyampaikan, “ini konferensinya di Turki saja Presiden Jokowi, di Turki saja, jangan di tempat lain. Kami siap.” Ya sudah, silakan di Turki, untuk konferensi mengenai Palestina kemarin. Kita datang, hadir ke sana. Ada masalah kemarin misalnya, Arab Saudi dengan Iran, kita juga ditelepon yang pertama untuk ikut mendinginkan suasana. Artinya, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kita mulai dilihat dan mulai diakui oleh negara-negara Islam yang lainnya.

Oleh sebab itu, kita sendiri harus mulai menyadari mengenai hal itu. Jangan sampai dengan aset terbesar kita… Selalu saya sampaikan, aset terbesar kita adalah persatuan, adalah kerukunan. Oleh sebab itu, saya selalu berpesan marilah jaga ukhuwah islamiah kita, marilah kita jaga ukhuwah wathaniyah kita, karena ini adalah aset terbesar kita. Jangan sampai justru karena pilihan presiden, karena pilihan gubernur, karena pilihan bupati, karena pilihan wali kota, yang itu setiap lima tahun ada terus, pilihan legislatif, ini setiap lima tahun ada terus, kita menjadi retak, kita menjadi tidak rukun, dan kita merasa tidak sebagai saudara. Inilah kekeliruan-kekeliruan yang harus kita luruskan.

Saya selalu sampaikan, silakan kalau ada pilihan bupati, pilih yang paling baik pemimpin di kabupaten itu. Pilih yang paling baik, setelah itu rukun kembali. Pesta demokrasi setiap lima tahun ada terus kok. Ada pilihan wali kota,  pilih pemimpin yang paling baik yang kita lihat memiliki prestasi, memiliki rekam jejak, setelah itu rukun kembali. Ada pilihan gubernur, silakan, mau pilih A silakan, mau pilih B silakan, pilih C, pilih D. Ini pesta demokrasi, tapi jangan sampai menjadikan kita ini tidak merasa sebagai saudara sesama muslim, saudara se-bangsa dan se-tanah air. Ada pilihan presiden, silakan. Mau dipilih siapapun silakan, ini pesta demokrasi, silakan.

Jangan sampai, sekali lagi, kita ini retak, kita ini menjadi tidak saling sapa antartetangga, tidak sapa antarteman, tidak sapa antarkampung, gara-gara pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan wali kota, pilihan Presiden. Salah besar kita, salah besar. Inilah saya kira yang perlu disampaikan terus kepada masyarakat, bahwa  yang namanya pilkada/pemilu itu setiap lima tahun itu pasti ada.

Dan juga jangan gampang kita ini, jangan sampai su’ud tafahum, gampang curiga, gampang berprasangka tidak baik, gampang berprasangka buruk, apalagi sudah sampai ke fitnah, sangat berbahaya sekali bagi bangsa sebesar Indonesia ini. Mestinya yang kita kembangkan, saya titip kepada kader-kader ulama, yang dikembangkan adalah khusnul tafahum, bagaimana kita berprasangka positif, berprasangka baik, berpikir penuh dengan kecintaan. Ini yang harus dikembangkan. Jangan sampai saling mencela, jangan sampai saling memfitnah, jangan sampai saling menjelekkan. Sedih saya kalau membaca di medsos, sedih. Banyak kabar bohong, banyak ujaran-ujaran kebencian.

Inilah saya kira yang menjadi tugas, harus disyiarkan terus. Bahkan coba, saya sendiri, coba, ditunjuk langsung, Presiden Jokowi itu PKI. Masyaallah. Gambarnya coba lihat, di medsos gambarnya. Ada yang namanya Ketua PKI Aidit tahun ‘55 pidato, saya ada di dekatnya, coba. Saya lahir tahun ‘61. Pidato ini tahun ‘55, saya belum lahir saya sudah di… Coba, gambar-gambar seperti ini. Gambar-gambar seperti ini banyak sekali di media sosial, dan ada yang percaya.

Saya sekarang ini kan setiap minggu, setiap bulan pasti masuk ke satu, dua, tiga pondok pesantren. Masuk untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kebangsaan. Saya pernah, saya tidak usah menceritakan di pondok pesantren mana, ada pimpinan pondok. Pak Kiai, bisikin kepada saya, “Pak Presiden, saya mau bicara empat mata, mohon maaf.” Saya sudah mikir ini pasti urusan PKI. Betul, setelah masuk ke kamar, Pak Kiai sampaikan, “Pak Jokowi, apa benar kabar bahwa Bapak itu PKI?” Saya sampaikan kepada Pak Kiai, “Pak Kiai, saya lahir itu tahun ’61, PKI itu dibubarkan tahun ‘65. Apa ada PKI  balita?” Pak Kiai langsung kaget, “betul Pak Jokowi ya, masyaallah.”

Seperti inilah yang terjadi di masyarakat kita. Saling melempar isu yang jelek, saling memfitnah. Ini yang harus dihentikan. Ini menjadi tugas nanti kader-kader ulama untuk menyampaikan kepada masyarakat. Jangan sampai kita itu berprasangka buruk, berburuk sangka, menyebarkan fitnah-fitnah seperti itu.

Sangat gampang sekali. Sekarang luput nembak ke saya, lari ke orang tua, sangat gampang sekali sebetulnya mau ngecek itu. Presiden Jokowi itu siapa, gampang sekali. Cek di masjid di dekat rumah saya di Solo, cek di masjid di dekat rumah orang tua saya, atau di dekat rumah kakek-nenek saya, siapa mereka. Gampang sekali. NU punya cabang di Solo, Muhammadiyah ada cabang di Solo, Al-Irsyad ada cabang di Solo, Parmusi ada cabang di Solo, PERTI ada cabang di Solo, LDII ada cabang di Solo, MTA ada pusatnya justru di Solo, cek saja di sana. Gampang sekali sekarang ini. Apa ada yang bisa ditutupi sekarang ini? Enggak ada. Ini zaman keterbukaan. Tapi kalau ada fitnah-fitnah seperti itu, kemudian ada yang percaya, ini yang membahayakan negara ini.

Kemudian yang berkaitan dengan antek aseng, antek asing. Jokowi itu antek asing, ini mumpung pas ketemu saya jawab sekalian. Ini baru pertama saya menjawab-jawab seperti itu, mumpung ini banyak ulama, dan banyak kader-kader ulama. Antek asing, bagaimana antek asing?

Yang namanya Blok Mahakam, yang dulu dimiliki oleh Perancis dan Jepang, 100 persen sekarang kita berikan kepada Pertamina. Kita ambil dan kita berikan kepada Pertamina. Blok Rokan, itu dikelola Chevron Amerika, sudah sekarang diambil oleh Pertamina 100 persen juga. Freeport, Freeport ini memang sulit banget. 40 tahun kita hanya diberi 9,3 persen dan kita semuanya diam saja. Tidak ada yang bersuara, diam, 9 persen. Saya negosiasi, menteri-menteri saya negosiasi, 3,5 tahun, alot sekali. Jangan dipikir negosiasi seperti itu mudah, sangat alot sekali. Untuk minta, saya sampaikan, jangan mundur minta mayoritas 51 persen. Saya sudah sampaikan, jangan mundur. Ditawar 30 persen, enggak! 51 persen, mayoritas. Sudah tandatangan yang namanya head of agreement, kesepakatan, kok malah suaranya kok jelek semuanya Saya enggak ngerti gimana kita ini sebetulnya. 40 tahun 9 persen pada diam. Begitu ada kesepakatan head of agreement 51 persen tidak didukung penuh. Mestinya seluruh rakyat mendukung penuh agar itu betul-betul nanti bisa dikelola oleh bangsa ini. Begitu dibilang antek asing.

Urusan TKA juga dijadikan isu. Katanya ada 10 juta tenaga kerja dari China, masuk ke Indonesia, 10 juta. Padahal yang ada adalah kira-kira 23.000, iya. Saya blak-blakan 23.000 iya, tenaga kerja mereka kerja di sini. Tapi juga hanya, tidak kerja terus-menerus juga enggak. Itu masang turbin, saya cek kok. Mereka masang turbin, masang smelter, yang kita memang belum siap untuk melakukan itu, sehingga mereka harus di sini 4-6 bulan untuk memasang ini, 23.000. Tapi orang kita yang kerja di Tiongkok 80.000. Orang kita yang kerja di Malaysia 1,2 juta, Malaysia diam saja. Itu yang legal 1,2 yang ilegal mungkin hampir 2 juta.

Saya kemarin ketemu Tun Mahathir Muhammad, “Presiden Jokowi, ini banyak tenaga kerja ilegal Indonesia di Malaysia, seperti apa ya?”  Saya ngomong apa adanya. Ya itulah, sudah terjadi bertahun-tahun dan saya minta kepada Tun Mahathir untuk ada perlindungan, ada proteksi, ada legalisasi, sehingga semuanya menjadi gamblang, sebetulnya tenaga kerja kita yang ada di Malaysia berapa, biar jelas. Malaysia enggak ribut.

Tenaga kerja kita yang di Arab Saudi katanya 500.000 yang legal, yang ilegal enggak mengerti saya, lebih dari itu pasti. Coba dilihat, tenaga kerja asing yang ada di Indonesia dibandingkan dengan penduduk itu hanya 0,03 persen. 1 persen saja enggak ada. Sekarang harus angka-angka yang kita sampaikan jangan sampai nanti isunya kemana-mana. 0,03 persen, 1 persen saja enggak ada. Bandingkan coba, tenaga kerja asing ada di Uni Emirat Arab, 80 persen itu asing semuanya. Dan mereka senang-senang saja, enggak ada masalah. Di Arab Saudi, 33 persen itu adalah tenaga kerja asing, kita 1 persen saja enggak ada.

Kenapa investasi kita datangkan? Untuk membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk rakyat, bukan yang lain-lain. Ini saya baru buka-bukaan juga baru pagi ini, mumpung bertemu. Jadi jangan sampai fitnah-fitnah seperti itu terus berkembang. Saya kira tidak baik untuk negara ini.

Ada lagi.  Presiden Jokowi itu tidak pro-Islam. Bagaimana, saya itu muslim, tiap hari, tiap minggu, hampir tiap bulan juga dengan Pak Kiai Ma’ruf Amin ke mana-mana. Sering dengan Imam Besar Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar juga ke mana-mana. Hampir setiap minggu saya masuk ke pondok pesantren. Untuk apa? Saya ingin melihat secara langsung sebetulnya problem dan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi ini apa.

Kita juga telah membuka 40, memang baru 40 tapi akan terus kita koreksi dan kita perbaiki, bank wakaf mikro di pesantren-pesantren yang kita beri modal 8 miliar per setiap bank wakaf mikro ini. Akan lebih banyak yang akan kita buka untuk bank wakaf mikro dan juga yang berkaitan dengan kemitraan, misalnya kayak NU kemarin dengan GarudaFood menanam kacang berapa ratus hektar di Jawa Timur. Kemitraan-kemitraan seperti ini yang akan memperbaiki ekonomi umat kita. Tanpa pendekatan-pendekatan ekonomi seperti itu, gap antara yang kaya dan yang miskin akan semakin lebar.

Inilah upaya-upaya yang terus kita lakukan. Jangan sampai ada suara-suara Presiden Jokowi tidak pro-Islam. Yang membuat Perpres Hari Santri Nasional itu siapa? Masak sudah kayak gitu dibilang tidak pro-Islam. Ya kalau saya biasa, waktu jadi wali kota dimaki-maki, waktu jadi gubernur sama saja, waktu presiden lebih-lebih. Tapi apakah itu nilai-nilai agama yang kita anut? Tidak. Apakah itu nilai-nilai etika yang kita punyai? Tidak. Apakah itu nilai-nilai budaya yang kita miliki? Tidak. Ndak. Ini harus kita mulai bersama-sama. Jangan sampai kita terjebak pada isu-isu politik. Ini penyebabnya urusan politik tadi sebetulnya. Urusan pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan wali kota, pilihan presiden. Ini dimulai dari situ. Jangan diterus-teruskan. Setop. Ini pintarnya orang-orang politik, sebetulnya, pintarnya orang-orang politik dalam mempengaruhi, dan kita terpengaruh. Artinya yang pintar orang-orang politik. Pak Romi ini pintar banget.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI Angkatan XII pagi hari ini saya nyatakan dibuka.

Saya tutup.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Transkrip Pidato Terbaru