Sambutan Presiden Joko Widodo pada Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat, 31 Mei 2018, di Asrama Haji Bekasi, Bekasi, Jawa Barat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 31 Mei 2018
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 3.690 Kali

Logo-Pidato2Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
Wassalatu was salamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
Wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati  Pak Menteri ATR/Kepala BPN, Pak Sekretaris Kabinet, Pak Wali Kota Bekasi, Bapak Bupati Bekasi, Pak Wali Kota Jakarta Timur,
Bapak-Ibu sekalian penerima sertifikat yang pagi hari ini hadir.

Hari ini kita serahkan 3.026 (tiga ribu dua puluh enam) sertifikat. Silakan diangkat semuanya yang menerima sertifikat. Jangan diturunkan dulu mau saya hitung. Saya hitung dari luar itu, dari luar, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23,…, 3.026 betul. Banyak sekali ini, 3.026 (tiga ribu dua puluh enam) dari Kota Bekasi, Jakarta Timur, dan Kabupaten Bekasi.

Bapak-Ibu sekalian,
Kenapa sertifikat ini sekarang kita percepat, kita berikan kepada masyarakat. Dulu di seluruh Indonesia 1 (satu) tahun itu hanya kita bisa memberikan kurang lebih 400 (empat ratus) sampai 500 (lima ratus) ribu sertifikat per tahun seluruh Indonesia. Sekarang, tahun yang lalu tahun 2017, telah kita bagikan 5 (lima) juta sertifikat kepada masyarakat. Tahun ini, saya memberikan target ke Pak Menteri 7 (tujuh) juta sertifikat harus diberikan kepada masyarakat. Tahun depan target kita 9 (sembilan) juta sertifikat harus dibagikan.

Kenapa ini harus kita kerjakan seperti ini? Saya tahu Kanwil BPN, Kantor BPN banyak yang enggak tidur, Sabtu-Minggu kerja, ya itu sudah menjadi tugas untuk melayani masyarakat. Benar ndak? Melayani secara cepat, melayani tidak ada pungli di sana-sini, cepat memberikan kepada masyarakat. Dan saya mengucapkan terima kasih, karena saya tahu sekarang Kantor BPN kerja keras menyelesaikan yang namanya sertifikat untuk masyarakat. Kenapa ini, kenapa ini harus diberikan kepada masyarakat? Setiap saya pergi ke daerah, masuk ke kampung, masuk ke desa, ke provinsi di seluruh tanah air, bukan hanya di lingkungan Jakarta, Bekasi, Bogor, atau Tangerang, bukan, di seluruh provinsi di tanah air, baik di Sumatra, di Jawa, di Kalimantan, di Nusa Tenggara, di Sulawesi, di Papua, di Maluku, keluhannya adalah, kalau saya ke daerah, ke desa keluhannya adalah sengketa lahan di mana mana, sengketa lahan. Ada masyarakat dengan masyarakat, ada masyarakat dengan perusahaan, ada masyarakat dengan pemerintah, ada anak dengan bapaknya, dengan ibunya. Ya karena memang ini. Benar ndak? Ini fakta di lapangan.

Karena kita semua tidak pegang ini. Dulunya apa, sebelum sertifikat Bapak-Ibu pegang apa? Girik? Letter-C? Itu bukan tanda bukti hak hukum atas tanah. Tapi kalau sudah pegang yang namanya sertifikat, ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Jadi kalau ada orang ngaku-ngaku ini tanah saya, Bapak-Ibu sudah tenang banget ini, keluarkan saja sertifikatnya. “Ini, punya saya kok nich.” Di sini ada nama, namanya siapa, nama di sini, luasnya di sini, ada semuanya, sudah. Sampai di pengadilan pun enggak akan pernah menang yang menggugat itu, kalau kita sudah pegang ini, enak banget. Sudah, mau apa? Sehingga kita harapkan, sengketa-sengketa lahan itu tidak terjadi lagi nantinya kalau sudah semuanya dibagikan kepada masyarakat.

Yang kedua, saya titip ini agar seluruh sertifikat itu diberikan plastik seperti ini, disimpan di tempat yang baik. Kalau sudah ada plastiknya ini, kalau gentengnya bocor ya enggak merusak sertifikat. Ya ndak? Yang kedua, tolong difotokopi. Kalau aslinya hilang, masih punya fotokopi, mengurusnya ke Kantor BPN mudah. Difotokopi, sudah. Diberi plastik, yang kedua difotokopi.

Yang ketiga, yang ketiga, ini biasanya kalau sudah pegang sertifikat ini biasanya ingin menyekolahkan. Benar ndak? Ngaku saja. Ya enggak papa, sebetulnya. Memang ini adalah, apa yang kita miliki ini bisa dipakai untuk jaminan ke bank, bisa dipakai untuk agunan ke bank. Silakan, enggak apa-apa, tapi saya titip tolong dihitung. Kalau mau dipakai untuk agunan ke bank, jaminan ke bank dihitung, dikalkulasi, bisa nyicil ndak, bisa mengangsur bulanannya ndak. Kalau dihitung enggak bisa, jangan, sudah. Nanti sertifikat jadi malah hilang ditarik bank nanti.

Sekarang kalau sudah dapat kredit dari bank, dapat pinjaman di bank, misalnya Rp300 (tiga ratus) juta dari bank, saya titip jangan sampai yang Rp150 (seratus lima puluh) juta itu untuk beli mobil. Biasanya kita seperti itu. “Wah, dapat Rp300 (tiga ratus) juta, Rp150 (seratus lima puluh) juta untuk beli mobil. Bisa muter-muter keliling kampung, gagah. Ya ndak? Gagah. Gagahnya 6 (enam) bulan, setelah 6 (enam) bulan, mobilnya ditarik ke dealer, sertifikatnya ditarik sama bank. Hilang semuanya, mobilnya hilang, sertifikatnya hilang. Hati-hati, hati-hati masalah yang berkaitan dengan sertifikat yang ingin kita pakai untuk jaminan ke bank, agunan ke bank. Hati-hati. Dapat Rp30 (tiga puluh) juta pinjaman, Rp15 (lima belas) juta untuk beli sepeda motor. Muter-muter kampung, gagah, ya 6 (enam) bulan paling-paling. 6 (enam) bulan ya sepeda motor ditarik dealer, sertifikat ditarik sama bank.

Jadi kalau dapat Rp300 (tiga ratus) juta, saya titip, gunakan semuanya untuk usaha, untuk modal kerja, untuk modal investasi, gunakan semuanya. Kalau untung, untung Rp5 (lima) juta silakan tabung, untung Rp10 (sepuluh) juta silakan tabung, untung Rp15 (lima belas) juta tabung. Kalau sudah terkumpul, mau beli mobil silakan, sudah. Mau beli apapun kalau dari keuntungan silakan tapi jangan dari pinjaman pokok dari perbankan. Itu yang ingin saya titipkan.

Yang terakhir Bapak-Ibu sekalian, saya titip saya ingin menyadarkan kepada kita semuanya bahwa negara kita Indonesia ini adalah negara besar. Indonesia adalah negara besar. Kita memiliki penduduk sekarang ini 263 (dua ratus enam puluh tiga) juta. 263 (dua ratus enam puluh tiga) juta yang tersebar di 17.000 (tujuh belas ribu) pulau yang kita miliki. Bandingkan dengan Malaysia, penduduknya 24 (dua puluh empat) juta, Indonesia 263 (dua ratus enam puluh tiga) juta. Singapura 5 (lima) juta, Indonesia 263 (dua ratus enam puluh tiga) juta. Betapa kita ini adalah sebuah negara besar.

Plus, masih ada plus, selain besar kita ini majemuk, berbeda beda, beragam. Kita memiliki 714 (tujuh ratus empat belas) suku, 714 (tujuh ratus empat belas)  suku. Singapura saya tanya, dubes kita yang ada di sana, “punya berapa suku,” “4 (empat).” Indonesia 714 (tujuh ratus empat belas). Coba dibayangkan, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Saya pulang dari Afghanistan, saya tanya, ada berapa suku di Afghanistan, 7 (tujuh) suku, 7 (tujuh), Indonesia 714 (tujuh ratus empat belas). Ini yang harus kita sadari  bahwa kita ini berbeda-beda. Berbeda-beda, beragam. Beda agama, beda tradisi, beda adat, beda bahasa daerah.

Bahasa daerah, kita memiliki 1.100 (seribu seratus) lebih bahasa daerah, bahasa lokal. Saya pernah ke Sumut, Provinsi Sumatra Utara, di sana batak kan. Setelah salam, mesti, ‘horas’. Ya ndak? Yang kita tahu kan, batak ya horas. Saya di sana sama, setelah ‘assalamualaikum’, ‘horas’. Sudah, di Medan bisa. Begitu masuk ke tengah, “horas”, “Pak, keliru Pak, bukan horas, di sini mejuah-juah Pak.” Beda. Agak ke timur lagi, saya. “horas”. “Pak Presiden keliru Pak, kalau di sini juah-juah Pak.” Ke selatan beda lagi, “horas.” “Keliru Pak, bukan horas kalau di Nias, di selatan itu ya’ahowu.” Itu di satu provinsi sudah beda-beda. Betapa dari Sabang sampai Merauke, bayangkan perbedaannya seperti apa.

Hanya negara seperti Indonesia ini yang memiliki keragaman, perbedaan, kemajemukan yang sangat besar. Beda agama, sekali lagi, beda adat, beda tradisi.

Oleh sebab itu, saya titip kepada kita semuanya, jangan sampai, karena ini akan memakan biaya yang sangat besar, jangan sampai karena pilihan wali kota, karena pilihan bupati, karena pilihan gubernur, karena pilihan presiden, kita menjadi retak gara-gara itu. Gara-gara pesta demokrasi setiap 5 (lima) tahun. Biayanya terlalu besar, rugi besar kalau seperti itu. Kalau ada pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden, silakan pilih pemimpin yang paling baik, setelah itu rukun kembali.

Jangan mau dikompor-kompori, sehingga dengan tetangga enggak saling sapa, dengan teman enggak saling sapa, antarkampung menjadi tidak saling rukun. Gara-gara ada yang mengompor-ngompori ini, ini, ini. Pilih pakai hati nurani, dipilih mana yang paling baik, sudah, setelah itu sudah. Itu pesta demokrasi, pilihan politik berbeda enggak apa-apa tapi jangan sampai meretakkan hubungan kita sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Setuju ndak Bapak-Ibu?

Jangan dikompor-kompori para politisi mau. Pakai akal jernih kita. Rugi besar kita. Karena kita dilihat oleh negara lain itu bangsa yang sangat rukun, bangsa yang sangat santun, bangsa yang sangat ramah. Jangan sampai karena pilihan politik kita menjadi tidak rukun.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan kita bisa rukun seperti ini dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kita memiliki Pancasila sebagai ideologi negara kita.

Nah yang hafal Pancasila silakan tunjuk jari, yang luar juga boleh. Yang hafal Pancasila silakan tunjuk jari. Itu di luar yang ibu-ibu itu, silakan maju. Ibu-ibu, ya itu ibu-ibu, ibu-ibu yang tunjuk jari di sana. Ibu-ibu, tadi agak sana tadi. Itu, itu yang sana, yang agak belakang itu. Silakan ke panggung, tasnya dibawa enggak apa-apa. Maju Bu, sini Bu, kok di sana.

Satu lagi, saya tadi menyampaikan negara kita memiliki 17.000 (tujuh belas ribu) pulau, silakan tunjuk jari yang bisa menyebutkan nama-nama pulau sebanyak 17.000 (tujuh belas ribu) yang kita miliki. Enggak ada? 1.000 (seribu) ada ndak? 100 (seratus)? 10 (sepuluh) ada yang mau maju? 10 (sepuluh). 10 (sepuluh) nama-nama pulau yang kita miliki. Sebentar, sebentar, sebentar, ya di belakang. Sini Pak silakan maju. Masa 17.000 (tujuh belas ribu) enggak hafal sih?

Tadi saya juga menyampaikan,negara kita ini beragam, kita memiliki suku 714 (tujuh ratus empat belas), 714 (tujuh ratus empat belas) suku. Silakan yang hafal, enggak usah banyak-banyak, 7 (tujuh) saja, 7 (tujuh). Yang ini, suku 7 (tujuh). Ya silakan Bu, dari tadi kok tunjuk jari semangat banget. Ini kalau tidak bisa awas.

Silakan dikenalkan Bu namanya.

(Dialog Presiden RI dengan perwakilan penerima sertifikat)

Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Terakhir saya ingin menyampaikan mengenai isu-isu. Ini memang sekarang kalau pas pilihan bupati, pilihan  wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden itu banyak isu-isu, banyak sekali. Dulu di pilpres 2014, sekarang menjelang juga pilpres, pasti isu-isu di bawah banyak sekali.

Contoh mengenai isu Presiden Jokowi itu PKI. Saya dengar di bawah masih seperti itu, dan ada yang percaya, ada yang percaya. Coba, saya itu lahir tahun ’61, PKI dibubarkan tahun ’65. Saya kan masih balita, masa ada PKI balita? Ini logika-logika seperti ini masyarakat harus tahu. Jangan sampai isu-isu seperti itu dikembangkan hanya untuk membunuh karakter seseorang, baik di pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden, enggak lah.

Para politisi harusnya mencerdaskan masyarakat sehingga pilihan-pilihan politiknya itu jernih, sehat. Jangan dibawa kemana-mana, pakai isu ras, agama.

Masih juga isu di bawah menyampaikan Pak Jokowi itu anaknya orang Tionghoa dari Singapura, namanya Oey Hong Liong. Bapak saya itu orang Karanganyar, orang desa betul, orang desa di Karanganyar. Ibu saya orang desa di Boyolali. Jadi kalau diisukan seperti itu ada yang percaya, sedih kita.

Itu adalah proses-proses pesta demokrasi yang tidak mencerdaskan kita. Mestinya di dalam pesta demokrasi pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden itu apa? Adu program, adu gagasan, adu ide, adu prestasi, rakyat diajak kesana. Jangan memakai isu-isu yang seperti itu. Tapi yang saya heran masih rakyat kita ini juga 1, 2, 3 ada yang percaya. Tapi yang saya liat sebagian besar memang sudah dewasa dan matang dalam berpolitik.

Oleh sebab itu, sekali lagi, karena ini di Jawa Barat ada pilihan gubernur, di Bekasi juga ada pilihan wali kota, saya titip itu saja. Silakan dipilih siapapun, tapi pilihlah yang baik sebagai pimpinan di daerah kita, di kota kita, di kabupaten kita, di provinsi kita, silakan. Karena memang itu adalah kebebasan yang diberikan oleh konstitusi kepada kita semuanya, hak  memilih dan hak untuk dipilih.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi hati-hati menggunakan sertifikat yang sudah kita serahkan pada pagi hari ini.

Saya tutup.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 

 

Transkrip Pidato Terbaru