Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan Global Land Forum 2018, 20 September 2018, di Istana Negara, Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 20 September 2018
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 4.269 Kali

Logo-Pidato2Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Sebagai bangsa, kita sebetulnya mendapatkan anugerah dari Allah SWT sebuah lahan yang besar. Bayangkan, kita memiliki lahan di 17.000 pulau yang kita miliki. Ada lahan di 17.000 pulau yang kita miliki. Tapi memang dalam proses distribusinya, pembagiannya, yang ini sering dikeluhkan oleh masyarakat, oleh civil society, oleh LSM, “kok yang dapat lahan yang gede-gede yang gede-gede saja”. Pembagiannya yang belum berkeadilan.

Banyak yang protes kepada saya. “Pak masa yang dapat hanya yang gede-gede saja”. Saya jawab, “lho yang bagi siapa?” Kan  bukan saya yang bagi dulu. Masa, sering saya ditunjuk-tunjuk, ada yang demo, ada yang…, lho yang bagi itu siapa. Oleh sebab itu, inilah yang ingin kita luruskan, yang ingin kita betulkan. Agar yang namanya reforma agraria, yang  namanya pembagian sertifikat, yang namanya perhutanan sosial itu betul-betul bisa berjalan dengan baik. Sehingga struktur penguasaan lahan di tanah air itu betul-betul berkeadilan. Enggak apa-apa kok yang gede memiliki lahan, enggak apa-apa tapi bermitralah dengan yang kecil-kecil. Bermitra.

Saya mulai dengan sertifikat. Di Indonesia ini ada 126 juta bidang yang harus disertifikatkan. Tapi sampai awal 2015 yang lalu baru 46 juta bidang yang tersertifikat. Artinya masih ada 80 juta, 80 juta bidang yang harus tersertifikatkan. Padahal yang lalu-lalu, setiap tahun itu hanya keluar kira-kira 500 – 600 ribu sertifikat per tahun di seluruh tanah air. Kalau masih 80 juta, setahun hanya 500 ribu, berarti butuh berapa? 160 tahun menunggu sertifikat. Mau menunggu sertifikat itu 160 tahun?

Inilah yang ingin kita percepat. Sehingga status hukum atas tanah yang dimiliki masyarakat menjadi jelas semuanya. Dan itu nanti kalau sudah pegang sertifikat, bisa akses ke permodalan di perbankan ataupun di lembaga-lembaga keuangan. Larinya ke sana.

Oleh sebab itu, dimulai tahun yang lalu, telah diselesaikan setiap tahun. Pada tahun 2017 telah diselesaikan 5 juta sertifikat. Dari yang biasanya 500 ribu, di 2017 5 juta. Sudah 10 kali lipat dari yang biasanya. Tahun ini targetnya naik lagi, saya naikkan, menjadi 7 juta sertifikat tahun ini. Tahun depan 9 juta sertifikat.

Saya enggak tahu Pak Menteri Agraria/Kepala BPN kerjanya seperti apa. Bukan urusan saya, urusan Pak Menteri. Kantor BPN kerjanya seperti apa, urusan kantor BPN. Tapi yang jelas kita bekerja harus dengan target-target yang ada. Nyatanya 5 juta bisa. Ini tahun ini 7 juta insyaallah juga bisa. Bisa. Kita ini kalau sudah yang namanya bekerja, kalau sistemnya benar, diawasi benar, dikontrol benar itu bisa. Saya mempercayai itu.

Termasuk perhutanan sosial. Sampai saat ini sudah 1,9 juta yang kita bagikan, 1,9 juta hektar. Tahun depan target kurang lebih 3 juta. Saya kemarin minta 4,3 (juta), saya hitung-hitung. Ditawar 3 juta, ya sudah. Enggak apa-apa 3 juta tapi benar 3 juta harus terlampaui. 3 juta kan juga banyak lho. 3 juta hektar lho bukan meter persegi lho. Kalau meter persegi masih dikalikan lagi 10.000. Iya kan? Ini gede sekali.

Tapi kalau pembagiannya ini tidak benar, ya sampai kapanpun enggak akan rampung-rampung. Sehingga 3 hal tadi, reforma agraria, perhutanan sosial, sertifikat ini betul-betul sekarang menjadi konsentrasi kita. Mengenai perpres-nya tadi yang ditanyakan oleh Pak Kiai, ditanyakan oleh Bu Dewi, pagi tadi saya cek, sudah muter tapi belum sampai meja saya. Sudah muter, sudah jadi, sudah muter tapi belum sampai ke meja saya.

Memang membuat perpres itu muter-muter dulu, nanti sampai meja saya. Tapi saya beri waktu tadi ke Pak Menko, saya bisiki, seminggu lagi harus selesai. Saya ikuti. Apalagi kalau sudah disampaikan Pak Kiai, disampaikan Bu Dewi tadi, pasti saya teleponin tadi. Siapa, sampai di mejanya siapa, saya ikuti terus.

Kita ini sebetulnya Bapak-Ibu sekalian, kalau bersatu kita ini memiliki potensi yang besar. Karena memang aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, adalah kerukunan, adalah persaudaraan. Ini aset terbesar bangsa Indonesia, kalau sudah bersatu itu kekuatannya luar biasa.

Ini bisa ditunjukkan kemarin di Asian Games. Iya ndak? Di Asian Games itu enggak ada yang namanya badminton itu agamanya apa, enggak ada orang tanya. Itu yang panjat tebing itu dari suku mana, enggak ada yang tanya. Artinya, dengan keragaman, dengan perbedaan-perbedaan yang ada, baik beda agama, beda suku, beda tradisi, beda budaya hilang semuanya saat kita ingin mengumandangkan Indonesia Raya, menaikkan/mengerek bendera merah putih kita di ajang Asian Games. Dengan persatuan itulah dan dengan kerja keras para atlet kita lihat bisa meloncat. Biasanya kita itu rangkingnya 17, 15, bisa rangking keempat. Ini kan loncatan yang sangat.

Tapi yang dimasalahkan pasti di pembukaan. Iya dimasalahkan. Urusan stuntman saja dimasalahkan sampai ramai sekali. Ya ini, yang dimasalahkan ini. Ya masa Presiden disuruh akrobat sendiri, yang benar saja. Meloncat gitu disuruh sendiri saya. Ya enggak mungkin. Enggak usah diramein, ya pasti itu stuntman gitu lho. Kita ini sering meramaikan hal-hal yang tidak substansial, hal-hal yang tidak perlu diramaikan, diramaikan.

Jadi kembali lagi, kita ini kalau bersatu, bisa menjaga kerukunan kita, kita ini mempunyai kekuatan besar. Bukan hanya di bidang olahraga, di bidang ekonomi juga sama. Tapi sekali lagi, kita harus bisa menjaga persatuan dan kerukunan kita. Jangan sampai kita ini sering gara-gara urusan pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur, pemilihan presiden yang itu setiap 5 tahun pasti ada, namanya pesta demokrasi, menjadi tidak rukun, menjadi merasa tidak sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Pilpres sudah 4 tahun masih dibawa-bawa terus. Kadang-kadang, aduh… Tapi memang itu pintarnya politisi di situ, mempengaruhi orang untuk dan terpengaruh.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya sangat menghargai kerja keras Bapak-Ibu semuanya dalam bekerja menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan, terutama yang berkaitan dengan sila kelima Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga nantinya dengan pemberian sertifikat, pemberian konsesi, baik pada masyarakat, baik pada masyarakat adat, baik pada organisasi-organisasi yang ada di seluruh tanah air, kita berharap semua lahan itu produktif, semua lahan itu produktif. Jangan sampai ada lahan yang tidak produktif.

Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya buka Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk keadilan sosial dan Global Land Forum tahun 2018, sekali lagi saya nyatakan dibuka.

Terima kasih,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Transkrip Pidato Terbaru