Sambutan Presiden Joko Widodo Pada Silaturahmi dengan Penerima Penghargaan Adibakti Mina Bahari Tahun 2015, di Istana Negara, Jakarta, 11 Desember 2015

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Desember 2015
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 14.517 Kali

Logo-PidatoBismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum wr.wb.

Selamat siang, salam sejahtera bagi kita semua.

Yang saya hormati para Menko, para Menteri Kabinet Kerja, serta Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Bakamla, dan para penerima penghargaan Adibakti Mina Bahari Tahun 2015.

Hadirin dan undangan yang berbahagia,

Tadi saya ke sini terlambat, mau makan ternyata sudah didahului, “sudah makan semua, Pak” Aduh, saya lari-lari, tapi ternyata sudah ketinggalan. Makin kurus terus kalau gini.

Pertama, saya ingin ucapkan selamat terhdapat para penerima penghargaan. Saya bangga bisa bertatap muka dengan para nelayan, pembudi daya ikan, petani garam, pengolah, dan pemasar hasil perikanan, kelompok usaha, tokoh penggerak, serta pemerintah daerah, serta pemangku kepentingan yang lainnya.

Sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih atas prakarsa kepeloporan, kepemimpinan, sumbangsih Bapak/Ibu dan Saudara-saudara semua dalam membangun sektor kelautan dan perikanan Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,

Sebagai bangsa bahari kita perlu kembali ke lautan. Untuk apa? Untuk menggerakkan ekonomi nasional. Saya meyakini masa depan Indonesia itu ada di laut, ada di samudera. Karena di situlah nanti akan menyediakan lapangan pekerjaan, dari situlah nanti kita akan bisa meningkatkan income dan devisa bagi negara, dari situlah nanti kita mempunyai ketahanan pangan dan gizi nasional.

Pertama kita harus yakin itu dulu. Kalau nggak yakin, percuma saya berbicara masalah poros maritim dunia, percuma saya berbicara masalah melebihkan transportasi laut dengan tol laut daripada yang di darat. Itu harus diyakini. Karena kalau kita lihat sejarah, bangsa kita ini besar karena kita tidak memunggungi laut, tidak memunggungi samudera. Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, jaya karena mereka bisa menguasai lautan. Sejarah seperti itu harus menjadi pegangan kita.

 

Waktu konferensi di China, di Tiongkok, baru dilantik kurang dari sebulan, saya menyampaikan mengenai poros maritim dunia. Semuanya kaget, dan ingin gabung dengan poros kita. Misalnya kaya China, mereka punya gagasan Jalan Sutera laut, Jepang juga minta, Singapura juga. Artinya apa? Mereka melihat kita memang sangat penting di samudera, di laut. Lha kalau kita sendiri tidak memberikan penghargaan terhadap itu, kita yang keliru.

Saya senang sekali pada siang hari ini, saya melihat bahwa kepeloporan-kepeloporan seperti ini betul-betul nantinya akan memperkuat visi kompetisi kita. Sekali lagi, kita nantinya akan berada pada persaingan antar negara. Tinggal berapa hari kita sudah– nanti kita dengan Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, sudah kaya tidak ada batas. Karena memang masyarakat ekonomi Asean sudah dibukan nanti 1 Januari.

Artinya apa? Mau tidak mau kita harus berani bersaing, mau tidak mau kita harus berani berkompetisi, tidak ada cara yang lain. Kalau kita terlalu lama dimanjakan oleh kekayaan alam kita, terlalu dimanjakan oleh subsidi yang tidak produktif, terlalu lama diproteksi, terlalu lama dilindungi, daya saing kita, daya kompetisi kita menjadi lemah. Mau tidak mau kita harus bersaing, mau tidak mau, tidak bisa kita tolak. “Nggak, Pak.” “Maaf, Pak, saya mundur satu tahun.” atau “Saya mundur lima tahun.” “Saya mundur, minta mundur.” Sudah tidak bisa. Ini baru tingkat Asean, sebentar lagi kita harus buka lagi dengan negara-negara yang lain. Mau tidak mau, sehingga dibutuhkan kepeloporan-kepeloporan seperti ini.

Jokowi: Pak Rusidi, sini, Pak, nggak usah takut. Pak Rusidi kan wirausaha perikanan tangkap ya?

Pak Rusidi: iya.

Jokowi: apa sih yang, apa, sehingga Pak Rusidi ini jadi teladan. Apa sebetulnya yang dilakukan?

Pak Rusidi: saya melayani nelayan saya dari 24 jam, Pak.

Jokowi: apa itu? Melayani apa?

Pak Rusidi : Melayani penghasilan pendapatan nelayan, dari mulai pagi sampai pagi hari. Dan mendapatkan kualitas yang lebih baik sehingga pangsa pasarnya lebih baik untuk menunjang harga pada nelayan.

Jokowi: Diapain itu?

Pak Rusidi : Dibikinkan cumi supaya kualitas dan mutu yang lebih baik.

Jokowi: Diapain cuminya?

Pak Rusidi : Dibeku.

Jokowi: Oh, dibeku. Pakai apa?

Pak Rusidi : Pakai ABF. Air Blast Freezer. Abis itu baru kita packing, baru nanti dikirim.

Jokowi: Itu untuk pasar mana?

Pak Rusidi : Ke China, Thailand, Singapura, Malaysia.

Begini lho yang kita cari, ini yang kita cari. Tidak hanya pasar lokal. Pak Rusidi sudah mendahuliui untuk mengglobal. Sudah melihat visi ke China, Malaysia, Thailand, Singapura. Ini semua harus punya visi seperti itu. Bagaimana kualitas bisa baik, bagaimana kita tidak hanya menjual di lokal, tapi bisa menjual keluar. Mungkin sebentar lagi Pak Rusidi bisa mendorong lagi supaya masuk ke misalnya ke negara-negara Uni-Eropa. Kenapa tidak? Step-stepnya nanti seperti itu. Saya sangat menghargai sebuah kepeloporan seperti ini.

Ada juga yang “maaf, Pak, nanti kita kalah, Pak, masuk ke masyarakat ekonomi Asean, Indonesia nanti dikuasai oleh—“ ya masa kita diam saja sih? Coba, apa yang diceritakan tadi saya kira begitu sangat optimis Pak Rusidi menyampaikan bahwa dari Belitung bisa melakukan itu. Daerah yang lain juga sangat bisa. Ini masalah niat, mau atau tidak mau, niat atau nggak niat. Bisa, Insha Allah. Kita ini biasanya, bangsa kita kalau sudah dipepet menjadi meloncat. Tapi kalau dimanjakan, tipikal orang kita, iya kan? Batik dulu kan nggak pernah orang pakai, begitu negara lain pakai, langsung semua pakai. Iya nggak?

Makasih Pak Rusidi, silakan.

Bu Murwati dari Brebes ya? Sini, Bu. Sama, inikan kategorinya UKM pengolahan hasil perikanan terbaik kategori skala kecil. Apa yang sudah dilakukan?

Bu Murwati: saya pengolah abon ikan, ikan crispy, juga—

Jokowi: sebentar, sebentar. Pengolah abon, abonnya dari ikan, ikannya ikan apa?

Bu Murwati: Ikan mata goyang, Pak.

Jokowi: Mata goyang itu di mana?

Bu Murwati: Kalau di Brebes ada, Pak. Ikannya sebangsa kakap, tapi bukan kakap. Warnanya juga merah.

Jokowi: Namanya apa tadi?

Bu Murwati: Ikan mata goyang, tapi ada yang bilang juga ikan gemang.

Jokowi: Saya dikirim nanti kaya apa mata goyang itu, belum pernah, baru denger itu ikan mata goyang. Setahu saya ikan kan ikan mas, ikan mujair, ikan kerapu, ikan dorang.

Bu Murwati: Karena potensi nelayan di sana kan adanya ikan itu, Pak. Kalau kita bikin ikan tuna kan nggak ada juga di situ.

Jokowi: Oke dilanjutkan. Jadi yang diolah apanya tadi? Diolah jadi abon itu bagaimana sih? Kok kemudian mendapat yang terbaik.

Bu Murwati: Dari awal saya pengolah abon cuma sedikit, paling sehari lima kilo. Tapi setelah ada bantuan dari Dinas Perikanan Kabupaten Brebes, saya dapat PUMP (Pengembangan Usaha Mina Pedesaan) Rp 50 juta untuk pembelian alat berupa vacuum frying untuk penggorengan ikan basah menjadi crispy. Terus saya juga beli kompor, penggorengan, semuanya, Pak, itu dari uang Rp 50 juta itu.

Jokowi: Abonnya dijual kemana?

Bu Murwati: Abonnya saya pemasaran di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang, Pak.

Jokowi: Jauh bener. Bagaimana kok bisa abonnya sampai Jakarta, sampai Bogor, siapa yang membawa ke sini?

Bu Murwati: Ada yang mengambil. Umpamanya orang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), saya kenal dengan Pak Firdaus, dia ke Brebes, tertarik sama produk saya, dia juga ikut memasarkan, Pak.

Jokowi: Berarti tidak dipasarkan sendiri ke Jakarta, tapi ada yang mengambil. Kenapa mereka mengambil dari Bu Murwati? Karena kualitas atau karena kemasannya bagus?

Bu Murwati: Karena kualitas. Karena saya menjaga produk saya untuk sehat, tidak pakai bahan pengawet, tidak pakai MSG juga.

Jokowi: Saya tanya itu biar yang lain meniru, bahwa ada yang bisa dijadikan contoh, dijadikan model, mungkin tidak hanya di Brebes, nanti di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Maluku, di Papua, di NTT, NTB, semuanya bisa. Misalnya nelayan dari Sumatera mau nengok ke Brebes diajarin nggak?

Bu Murwati: Untuk berbagi ilmu saya terbuka, Pak.

Jokowi: Terbuka, nggak tertutup? Nggak dirahasiakan ilmunya?

Bu Murwati: Nggak, Pak. Karena saya ingin semua kelompok juga produknya seperti itu, jangan pakai MSG, jangan pakai pengawet.

Ini ya, tipikal orang yang terbuka Bu Murwati ini, artinya dia berani bersaing. Yang saya tangkap dia berani bersaing. Kalau orang nggak berani bersaing, gorengnya pakai apa itu ditutup-tutupi. Itu tipikal seperti itu. Saya juga dulu juga sama, saya buka. Karena apa? Desain mebel setiap enam bulan saya ganti kok. Ditiru, enam bulan lagi saya ganti. Ditiru lagi, finishing saya udah saya ganti. Ditiru lagi, kemasan saya, packaging saya sudah saya ganti. Saya buka, silakan mau lihat, paling enam bulan juga saya ganti. Artinya mendorong kita untuk maju. Saya kira beliau keterbukaan seperti itu yang membikin kita maju. Tidak ditutup-tutupi. Tapi ada yang harus  ditutupi, jangan dibuka 100 persen, yang kunci juga harus dipegang. Tapi kalau teman sendiri ya dibisiki nggak apa-apa.

Begitu ya, Bu Murwati? Terus dijual berapa?

Untuk 1 pcs saya jual Rp 12 ribu per 70 gram.

Mahal banget ya?

Ngga, Pak. Kemasan kan juga sudah bagus, kita tidak pakai plastik.

Tadi mestinya kalau ke sini bawa satu, saya bayar. Tapi saya ngga bisa bayangin kaya apa abon ikan mata goyang.

Nanti sekali-kali, Pak, kalau pulang ke Solo.

Terima kasih, Bu Murwati.

Bu Menteri, yang gini-gini itu yang harusnya memang diberikan suntikan. Kita nggak tahu suntikan alat, suntikan modal, suntikan sarana prasarana. Sehingga misalnya kaya Bu Murwati tadi, sebulan omsetnya berapa? (jawaban tidak terdengar) omsetnya kan gede banget. Untungnya jangan diberitahu, rahasia. Tidak boleh orang usaha ditanya untungnya berapa.

Sekali lagi kita perlu memperkuat visi kompetisi kita, visi untuk berani bersaing, dan persaingan kita bukan antar kita dengan kita, tapi kita dengan negara yang lain. Kita harus melihat itu. Tetapi saya melihat, saya baru berbicara dengan Pak Rusidi, dengan Bu Murwati, saya merasa optimis bahwa kita memang mampu dan bisa bersaing. Kita harus meyakini itu. Dan sumber daya kelautan kita yang luar biasa besar itu harus menjadi keunggulan kita, harus kita pegang sendiri.

Itu mungkin yang sudah dilakukan oleh KKP, oleh Bu Menteri Susi, saya kira memang ini adalah tidak berpikir kita jangka sebulan dua bulan, tapi dalam jangka tengah, jangka panjang, karena kita memang ingin betul-betul menguasai laut kita sendiri. Tahun depan buat berapa kapal, Bu? 3.500, itu dibagi nanti. Tahun kemarin berapa? 125. 125 meloncat menjadi 3.500. Tapi yang sudah punya jangan minta.

Saya kira hal-hal seperti ini sekarang yang fokus kita lakukan, sehingga kekuatan kita di laut betul-betul, baik kekuatan Bapak/Ibu dan Saudara-saudara sendiri tetapi pemerintah juga memberikan dorongan ke arah itu dengan memberikan injeksi. Memang kita tidak bisa semuanya kita lakukan dalam waktu setahun, dua tahun, tetapi saya meyakini bahwa dengan cara-cara seperti ini, kita akan mampu nantinya bersaing dengan nelayan-nelayan dari luar, produsen-produsen dari luar.

Untuk memenangkan kompetisi dan persaingan itu, syaratnya kita harus mau bekerja keras, harus berani berkompetisi. Dan untuk memenangkan kompetisi, kuncinya harus bekerja sama meningkatkan sinergi, kerja sama antar pemangku kepentingan, baik yang ada di laut maupun yang ada di darat. Ini juga termasuk pemerintah daerah, Ibu Bupati, Bapak Bupati, Gubernur, semuanya, akademisi juga membantu, dari perguruan tinggi dan semua pelaku usaha dari atas-bawah, hulu-hilir, nelayan, masyarakat, semuanya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan perikanan.

Sekali lagi saya mengucapkan selamat dan memberikan penghargaan yang tinggi, kepada seluruh penerima Adibakti Mina Bahari. Tetap semangat dan terus menjadi pelopor memajukan maritim Indonesia.

Terima kasih.

Wassalamualaikum wr.wb.

(Humas Setkab)

 

 

Transkrip Pidato Terbaru