Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Halaqah Nasional Hubbul Wathon dan Deklarasi Gerakan Nasional Mubalig Bela Negara (GN-MBN), 14 Mei 2018, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 14 Mei 2018
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 3.937 Kali

Logo-Pidato2Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu was salamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati yang mulia para ulama, lebih khusus Ketua Umum DPP Ikhwanul Muballighin Bapak Kyai Haji Mujib Chudlori serta Dewan Pembina Ikhwanul Muballighin Bapak Kyai Haji Nur Muhammad Iskandar dan Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Muballighin Bapak Rokhmin Dauhuri yang saya hormati,
Yang saya hormati para menteri Kabinet Kerja serta seluruh peserta Halaqah Nasional Hubbul Wathon yang siang hari ini hadir,
Hadirin dan tamu undangan yang berbahagia.

Sebelumnya saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya karena kemarin membatalkan hadir di acara ini. Tetapi memang sesuatu yang harus saya lihat, saya tinjau langsung karena adanya kemarin tiga bom di Surabaya. Dan malamnya, tadi malam masih ada lagi bom di Sidoarjo. Pagi tadi juga masih ada bom lagi di Surabaya.

Saya mengajak kita semuanya, utamanya kepada seluruh mubalig agar bisa dan bersama-sama kita menyampaikan mengenai betapa tidak bermartabatnya aksi teror tersebut. Saya lihat sendiri secara langsung bagaimana teroris membawa 2 (dua) anak kecil yang umurnya 9 (sembilan) tahun dan 12 (dua belas) tahun diturunkan oleh bapaknya, oleh ayahnya, digandeng oleh ibunya kemudian masuk di halaman gereja meledakkan diri di situ. Mayatnya saya masih lihat. Bomnya ditaruh di bom sabuk, anaknya diberi, anaknya diberi, ibunya juga diberi. Tadi pagi juga sama, membawa anak kecil lagi. Ini tadi saya baru mendapat informasi, ada anak yang dibawa lagi umur 8 (delapan) tahun, umur 15 (lima belas) tahun.

Inilah saya kira kewajiban kita bersama, para mubalig untuk mengingatkan kepada santri-santrinya, untuk mengingatkan kepada jemaah-jemaahnya, untuk mengingatkan kepada umat-umatnya bahwa agama kita Islam tidak mengajarkan seperti itu. Tidak mengajarkan sesuatu dengan kekerasan, enggak ada. Mengajarkan kita untuk lemah lembut, sopan santun, menghargai orang, menghormati orang lain, selalu tawadu, rendah hati. Saya kira itu yang diajarkan oleh Nabi Besar kita kepada kita.

Dan pada kesempatan yang baik ini saya juga ingin mengingatkan kepada kita semuanya tentang negara kita. Negara kita ini negara besar, yang memiliki sekarang penduduk Indonesia sudah 263 (dua ratus enam puluh tiga) juta, 263 (dua ratus enam puluh tiga) juta yang tersebar di 17.000 (tujuh belas ribu) pulau-pulau yang ada dari Sabang sampai Merauke dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. 263 (dua ratus enam puluh tiga)  juta itu hidup di 17.000 (tujuh belas ribu)  pulau. Kita juga memiliki, ini banyak mungkin yang belum tahu dan tolong disampaikan, agar disampaikan kepada santri, kepada umatnya, kepada jemaahnya, kita ini memiliki 714 (tujuh ratus empat belas) suku yang berbeda-beda adat, berbeda-beda tradisi, berbeda-beda agama, berbeda-berbeda.

Inilah anugerah Allah yang diberikan kepada kita bangsa Indonesia, memang beragam, memang berbeda-beda, dan memang majemuk. Ini anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa kita Indonesia.

Kita juga memiliki 1.100 (seribu seratus) lebih bahasa lokal yang berbeda-beda. Bapak-Ibu bisa bayangkan, bisa kita bayangkan, coba bandingkan dengan negara lain. Saya pernah bertanya ke Duta Besar Singapura ada berapa suku di Singapura, 4 (empat). 4 (empat), negara kita Indonesia 714 (tujuh ratus empat belas). Saya baru saja dari Afghanistan saya tanya ke Presiden Afghanistan Doktor Ashraf Ghani, ada berapa suku di Afghanistan, 7 (tujuh) suku. 7 (tujuh) suku, negara kita 714 (tujuh ratus empat belas).

Inilah perbedaan yang kita miliki, kebinekaan yang kita miliki, keragaman yang kita miliki. Yang sudah menjadi kewajiban kita semuanya atas izin Allah untuk merawat, untuk memelihara ukhuwah islamiyah kita, untuk memelihara ukhuwah wathaniyah kita, dan lebih besar lagi ukhuwah insaniyah dan ukhuwah basariyah. Menjadi kewajiban kita bersama.

Jangan sampai karena kepentingan politik kita ini menjadi retak. Jangan sampai gara-gara hanya pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, nanti ada pilihan presiden, kita menjadi merasa tidak sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Saya selalu sampaikan di mana-mana setiap bertemu dalam forum-forum besar, silakan kalau ada pilihan bupati, pilihan gubernur, pilihan wali kota, pilihan presiden silakan pilih pemimpin-pemimpin yang paling baik, dicoblos yang paling baik. Setelah itu rukun kembali sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Rukun kembali.

Di Afghanistan Doktor Ashraf Ghani cerita kepada saya. Konflik dan peperangan di sana dimulai dari bertikainya 2 (dua) suku, tidak segera diselesaikan. Yang satu membawa kawan dari luar, yang satu membawa kawan dari luar, akhirnya konflik membesar dan menjadi perang. 40 (empat puluh) tahun sampai hari ini belum bisa diselesaikan. Itu hanya 7 (tujuh) suku, hanya 7 (tujuh) suku, yang konflik dimulai hanya 2 (dua) suku. Kita, negara kita Indonesia ini sekali lagi 714 (tujuh ratus empat belas) suku dengan agama yang berbeda-beda.

Inilah tugas kita bersama, tugas mubalig, tugas para kyai, tugas ulama untuk mengingatkan, menyadarkan kepada kita semuanya bahwa kita ini beragam, majemuk. Ini sudah menjadi kehendak Allah. Ini anugerah, anugerah Allah yang diberikan kepada kita bangsa Indonesia. Jangan sampai, sekali lagi, gara-gara pilihan bupati, wali kota, gubernur, dan presiden kita antarsaudara saling menjelekkan, antarsaudara kita saling mencela, antarsaudara kita saling mencemooh, antarsaudara kita saling memfitnah. Jangan sampai. Itu namanya su’ul tafahum, hanya curiga, hanya gampang benci terhadap orang lain, gampang dengki kepada orang lain, kurang pengertian, berpikir jelek. Mestinya yang benar ini kita khusnul tafahum, berpikiran positif, berpikiran baik kepada orang lain, berpikir dengan penuh kecintaan terhadap orang lain, tawadu, rendah hati, selalu berprasangka (di sini berprasangka baik), mestinya seperti itu yang kita kembangkan dan memang itu adalah ajaran Islam.

Dan menjadi tugas kita bersama, para ulama, para kyai, para ustad, para mubalig di manapun kita berada untuk menjaga negara ini, untuk merawat negara ini agar ke depan negara ini lebih baik dan tetap bersatu. Tidak ada lagi yang namanya teroris di negara kita Republik Indonesia, yang melakukan bom bunuh diri dengan cara-cara yang kemarin kita lihat sangat tidak beradab.

Itulah saya kira tugas kita semuanya untuk menyelesaikan. Bahwa negara kita Indonesia ini masih kekurangan, banyak kekurangan, “iya”, harus diakui. Bahwa masih banyak yang harus kita benahi, mari bersama-sama kita membenahi. Ini negara besar, tidak semudah kita membalikkan tangan langsung menjadi baik. Butuh waktu, butuh proses, butuh kesabaran, butuh kerja keras kita semuanya karena sebuah negara di manapun untuk menjadi negara besar, untuk menjadi negara kuat pasti ada cobaannya, pasti ada ujiannya, pasti ada tantangannya, pasti ada hambatannya.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini dan saya sangat menghargai upaya DPP Ikhawanul Muballighin dalam Halaqah Nasional Hubbul Wathon dan juga deklarasi Gerakan Nasional Muballigh Bela Negara kali ini. Saya kira ini perlu diteruskan, dilanjutkan ke daerah-daerah sehingga kita semuanya menjadi sadar bahwa negara kita Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sangat-sangat penting untuk kita rawat dan kita jaga.

Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Transkrip Pidato Terbaru