Sambutan Presiden Silaturahim Stakeholders Keuangan Syariah dalam rangka Satu Windu Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara), 23 Desember 2016, di Istana Negara, Jakarta
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin, wasshalaatu wassalamu ala asrafil anbiyaa iwal-mursalin,
Sayyidina wahabibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin, wa ala aalihi wa sohbihi ajmain amma badu,
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja, Pimpinan OJK, dan Dewan Komisioner OJK, Jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia,
Yang saya hormati Ketua MUI, seluruh pimpinan Ormas Islam yang hadir, para ulama dan Ahli Keuangan Syariah,
Hadirin dan tamu undangan yang berbahagia.
Kita tahu bahwa hakikat dari penggunaan APBN adalah mensejahterakan rakyat, mensejahterakan masyarakat. Yang artinya adalah memberantas kemiskinan, yang artinya adalah menekan angka pengangguran, yang artinya adalah mengurangi tingkat kesenjangan sosial.
Karena itu, pemerintah terus menggunakan berbagai cara untuk menguatkan dari sisi sumber pembiayaan APBN. Baik dengan menguatkan basis perpajakan kita, yang kita mulai kemarin dari amnesti pajak misalnya. Dan juga penguatan surat berharga syariah negara atau SBSN atau biasa kita sebut Sukuk Negara.
Dan kita patut berbangga bahwa saat ini Indonesia adalah penerbit Sukuk Negara terbesar di dunia dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Sampai dengan 30 November 2016, penerbitan SBSN kita di pasar internasional telah mencapai 10,15 miliar US Dollar, dengan outstanding sebesar 9,5 miliar US dollar. Artinya instrumen keuangan berbasis syariah di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dan peran penting dalam kegiatan pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Berarti, kita sekarang memiliki alternatif-alternatif dalam berinvestasi. Inilah kebhinnekaan negara kita. Yang ingin membeli sukuk silakan, atau SBSN silakan, tapi yang ingin membeli sukuk yang konvensional silakan. Inilah, sekali lagi, kebhinekaan keuangan di Indonesia. Dan data yang saya terima, untuk yang SBSN, investor individunya ada kurang lebih 48.444 individu. Ini sangat bagus sekali, yang memegang obligasi sukuk. Angka ini menurut saya sangat bagus sekali.
Oleh sebab itu, kita ingin, saya kira sudah beberapa kali saya sampaikan bahwa mengembangkan ekonomi syariah di negara kita yang sekarang ini persentasenya masih sangat kecil sekali, masih sangat kecil sekali, masih kurang lebih 5 persen. Padahal kalau kita lihat di Malaysia sudah di atas 30 persen. Dalam jumlahpun kita kalah dengan Inggris, dengan Korea Selatan.
Oleh sebab itu, space (ruang) yang masih besar itu akan terus kita kejar. Dan saya pernah menyampaikan kepada Pak Muliaman Hadad, Ketua OJK, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar apabila sebetulnya Jakarta ini bisa kita jadikan Pusat Keuangan Syariah Internasional. Dan saya dengar baru digodok di OJK, nanti akan disampaikan kepada saya. Karena memang potensi dan kekuatannya kita memiliki. Kenapa itu tidak dimanfaatkan, bukan hanya masalah yang berkaitan dengan keuangan syariah, bank syariah, asuransi syariah, saya kira banyak hal yang lain yang bisa kita kembangkan. Wisata syariah, restoran halal, industri syariah, masih sangat besar sekali. Karena memang potensi pasarnya kita memang terbesar di dunia,dengan penduduk muslimnya. Kenapa ini tidak menjadi fokus dan perhatian kita? Ini akan memberikan trigger kepada pertumbuhan ekonomi di negara kita.
Dan juga untuk menghilangkan isu-isu yang sering berkembang sekarang ini. Saya berikan contoh satu, isu yang banyak sekarang ini, akhir-akhir ini mengenai tenaga kerja dari Tiongkok. Yang katanya 10 juta, 20 juta. Saya enggak tahu yang ngitung siapa. Angkanya sampai begitu sangat besar sekali. Padahal di catatan kita hanya 21 ribu, 21 ribu. Yang lebih gede adalah Jepang dan Korea Selatan. Padahal tenaga kerja kita juga ada di Malaysia lebih dari 2 juta, yang di Arab Saudi juga lebih dari 1 juta, yang di Hong Kong 150 ribu, yang di Taiwan 200 ribu. Mereka juga diem-diem saja. Kenapa 21 ribu kita ribut kayak ada angin puting beliung saja. Itupun kan mesti, misalnya ada investasi, ada hal-hal yang kita belum menguasai, pasti harus diselesaikan oleh teknisi-teknisi mereka.
Enggak mungkin tenaga kerja mereka datang ke sini, enggak mungkin.Karena, ini kita buka-bukaan saja, gaji mereka di sana 3 (tiga) kali lipat kok UMP-nya dengan kita. 2,5-3 kali lipat. Masak datang ke tempat yang gajinya lebih murah? Kan enggak mungkin. Kita datang ke luar itu pasti di sana gajinya 5-10 kali lipat dari kita, pasti datang. Kalau sama saja, enggak mungkin mau. Karena habis di transportasi, habis di akomodasi. Logikanya kan seperti itu. Jadi ini sekaligus untuk klarifikasi.
Kalau enggak dijelasin nanti 21 ribu tambah nolnya, wong sekarang sudah 21 juta. Jadi sebuah kabar-kabar bohong, yang menghabiskan energi kita. Harusnya hal-hal seperti itu kita pakai untuk yang hal-hal yang produktif, jangan dipakai untuk hal-hal yang menyebarkan isu-isu bohong seperti itu.
Kembali ke Sukuk Negara, nanti kalau cerita seperti itu bisa jam-jaman nanti. Jadi keberhasilan Sukuk Negara bukanlah pada dana yang berhasil dihimpun tetapi pada manfaat yang bisa dihasilkan. Selama 2015 dan 2016, sebanyak 20,8 triliun dari Sukuk Negara sudah digunakan untuk membiayai berbagai proyek yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Pembangunan jalur kereta api, pembangunan jembatan, pembangunan jalan dipakai dananya dari sukuk yang tadi 20,8 triliun. Kemudian juga pembangunan gedung, sarana, dan fasilitas perguruan tinggi keagamaan Islam negeri serta pembangunan dan rehabilitasi berbagai gedung di balai nikah, dan juga yang dipakai untuk manasik haji.
Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan dukungan semua pihak yang turut andil mengembangkan dan mensukseskan kinerja Sukuk Negara ini. Dan saya berharap semua pihak dapat terus bekerja sama dengan pemerintah, ke depannya untuk terus mengembangkan dan menguatkan instrumen Sukuk Negara.Dengan gotong royong, insya allah Sukuk Negara, Surat Berharga Syariah Negara akan makin besar peranannya dalam mensejahterakan rakyat kita Indonesia.
Saya juga ingin sedikit tambahkan mengenai redistribusi aset. Ini penting, mumpung pas ketemu ini urusan-urusan ekonomi perlu disampaikan. Sampai saat ini, tidak pernah kita mengeluarkan yang namanya konsesi lahan satu meter persegi pun. Yang dulu biasanya diberikan kepada yang besar-besar konsesi-konsesi itu tetapi justru sekarang yang sudah diberi konsesi, tidak segera dikerjakan dan tidak diproduktifkan, justru kita cabut-cabut.
Kita sekarang sudah memiliki 9 juta hektar lebih yang sudah ada di kantong saya. Yang ini akan kita nantinya segera, sudah 1,5 tahun ini, bagikan kepada rakyat, kepada koperasi, kepada pondok pesantren. Dengan catatan mereka bisa menjadikan lahan-lahan itu menjadi produktif. Kemarin sudah saya coba di Pulang Pisau, di Kalimantan Tengah. Tapi yang dibagi baru 12.700, kecil sekali. Bagi tapi pada rakyat. Ditanami tanaman sengon. Ada yang dapat 1 orang 4 hektar, ada yang 10 hektar, ada yang 60 hektar beda-beda memang, tapi dalam sebuah kelompok. Yang nanti setahun lagi akan saya lihat. Kalau ini berhasil, tanah-tanah yang 12.700 hektar tadi produktif dalam 4 tahun mereka bisa menghasilkan, setiap hektar yang sudah dihitung adalah minimal 200 juta. Artinya kalau punya 4 berarti 800 juta, kalau punya 20 berarti tinggal mengalikan. Ini artinya tanah itu menjadi produktif, dan yang menikmati, yang memiliki adalah rakyat, baru yang 9 juta nanti akan saya bagi-bagi.
Saya tidak mau seperti yang dulu-dulu, sudah dibagi-bagi inti plasma-inti plasma. Dalam konsepnya bagus, dalam skemanya bagus tetapi akhirnya yang dibagi ke plasma tadi juga dibeli. Karena dia jual, rakyatnya menjual. Ini skema-skema seperti ini memang harus diubah. Jangan sampai nanti yang 9 juta saya bagi lagi, dijual lagi. Ndak, saya tidak ingin tergesa-gesa membuat kebijakan. Saya ingin memastikan di lapangan, bahwa yang kita bagi itu betul pada orang yang benar. Dan dalam business process-nya kita ikuti betul bermanfaat bagi rakyat, bagi masyarakat.
Setelah ada pohonnya, lahan itu produktif, silakan yang gede mau mendirikan pabrik untuk misalnya untuk pulp, silakan. Silakan yang gede mau membuat pabrik untuk industri kayu lapis, silakan. Silakan yang gede juga mau membuat pabrik untuk rayon, untuk pembuat tekstil, tidak apa-apa. Tetapi rakyatlah yang pertama menikmati lahan dari redistribusi aset yang kita lakukan yang ini kita sudah dapatkan kurang lebih 9 juta hektar. 9 juta hektar itu gede banget.
Jadi saya sampaikan di sini, untuk apa, agar yang memiliki keinginan dan mempunyai konsep dalam memproduktifkan lahan itu silakan datang ke saya. Kalau bagus pasti saya beri. Mau minta 10 hektar, mau minta 100 hektar. Mau minta 1000 hektar tapi tidak ratusan ribu hektar seperti yang dulu-dulu. Ndak, ndak akan kita berikan 1 juta hektar, 500 ribu hektar, ndak.
Yang paling penting lahan itu harus produktif, dan rakyatlah yang menikmati. Karena kita ingat, gini rasio kita, kesenjangan social economy kita, sudah pada angka 0,41, meskipun tahun yang lalu sudah turun menjadi 0,397. Tapi apapun itu harus dikurangi, dikurangi, dikurangi demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Terima kasih,
Saya tutup,
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.