Sanksi Administratif Jadi Kewenangan Bawaslu dan KPU

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 9 September 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 3.180 Kali

Ketua Bawaslu saat menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) secara daring, Selasa (8/9).

Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), Abhan, menyampaikan bahwa ada 2 sanksi di dalam tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) yakni yang sifatnya administratif dan sanksi yang sifatnya pidana.

”Sanksi yang sifatnya administratif itu murni menjadi kewenangan Bawaslu dan juga bersama KPU. Jadi sanksi administrasi ini bisa berupa teguran atau menghentikan proses yang dilakukan oleh pasangan calon nantinya,” ujar Ketua Bawaslu saat menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) secara daring, Selasa (8/9).

Ia menjelaskan bahwa sanksi administratif tersebut sifatnya administrasi bisa teguran maupun saran perbaikan ataupun menghentikan sebuah proses yang sedang berjalan. Terkait dengan persoalan protokol kesehatan, Abhan menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Pilkada tidak mengatur mengenai sanksi pidana dalam soal protokol kesehatan ini, yang sanksi administratif diatur di PKPU, tapi yang terkait dengan sanksi pidananya  memang tidak diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016.

Menurut Abhan, dalam pilkada ada undang-undang lain di luar Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang bisa diterapkan manakala ada pelanggaran-pelanggaran terkait dengan tahapan pilkada ini.

Terkait dengan sanksi pidananya ketika ada pelanggaran protokol kesehatan, Abhan menyebutkan ada undang-undang misalnya di KUHP Pasal 212 yang menyebutkan misalnya bahwa Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seseorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberikan pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana paling lama satu tahun, atau di Pasal 218, “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana paling lama empat bulan. 

”Ada juga di Undang-undang Nomor 6 tahun 2018, yaitu soal tentang karantina kesehatan yang dalam Pasal 93 menyebutkan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan atau menghalangi-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan maksimal dipidana 1 tahun dan ada juga di Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular,” imbuh Ketua Bawaslu.

Hal ini. menurut Abhan, wilayahnya ada pidana umum maka menjadi murni kewenangan penyidik kepolisian beserta jaksa sehingga tugas Bawaslu adalah meneruskan persoalan tersebut kepada penyidik polisi untuk bisa melakukan tindakan.

Di dalam peraturan bupati/gubernur/wali kota, Abhan menyebutkan pada perda masing-masing yang jugmengenakan sanksi-sanksi administratif dan juga sanksi pidana. ”Tetapi menurut kami terkait dengan protokol kesehatan ini yang paling penting adalah upaya pencegahan. Karena apa artinya penindakan kalau sudah memang banyak kerumunan dan menyebabkan banyak orang tertular. Maka action yang harus kita lakukan bersama adalah agar jangan sampai terjadi kerumunan,” tambah Abhan.

Kalau ada kerumunan, Abhan menyebutkan, maka harus bersama-sama yang punya kewenangan untuk bisa membubarkan kerumunan-kerumunan massa ketika masa tahapan-tahapan pilkada itu. ”Terkait dengan soal kapolri, penundaan penyidikan saya kira ini tidak membatasi, artinya tidak berlaku untuk tindak pidana pemilihan. Jadi kalau tindak pidana pemilihan sepaham saya tetap berjalan, kalau tindak pidana yang terkait dengan persoalan pemilihan tetap jalan,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua KPU, Arief Budiman menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah tidak mengubah metode kampanye, tidak dibatalkan, ketentuan itu masih tertuang di dalam undang-undang.

”Maka KPU tentu tidak bisa menghilangkan metode-metode kampanye yang telah disebutkan di dalam undang-undang. Tetapi KPU kemudian mengatur seluruh metode kampanye yang diperbolehkan oleh undang-undang itu harus dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan pencegahan penularan penyebaran virus Covid-19,” jelas Arief.

Itulah, lanjut Arief, saat rapat umum KPU mengatur jumlah pertemuan fisik atau kehadiran fisiknya dibatasi bahkan seluruh kegiatan kampanye dan seluruh metode kampanyenya itu ketentuan awalnya itu agar dilakukan secara daring.

”Dalam hal tidak bisa dilakukan secara daring maka pertemuan fisik itu diatur dengan menerapkan protokol kesehatan, termasuk pembatasan kehadiran secara fisik hanya maksimal 100 orang kalau rapat umum, kalau pertemuan terbatas maksimal 50 orang. Jadi itu yang kemudian diatur. Dan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di tengah pandemi supaya tidak menyebar virus Covid-19, maka dibutuhkan kepatuhan dari seluruh pihak. Penyelenggaranya, peserta pemilunya, dan pemilihnya juga harus patuh,” kata Arief.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian juga menyampaikan jika ada yang melanggar peraturan misalnya Covid-19, pengumpulan massa dan lain-lain agar diberitakan oleh wartawan. ”Beritakan dan kemudian berikan ulasan negatif supaya mereka ngerem. Sebaliknya bagi para pasangan calon yang taat aturan, ini saya lihat ada hal yang kurang berimbang. Kemarin diberitakan banyak yang negatif, kerumunan ya, bad new is good news,” ungkap Mendagri.

Namun demikian, Mendagri menyebutkan banyak juga yang ikut aturan sesuai protokol dan ada selebaran calon agar pengikutnya/pendukungnya tidak usah hadir, namun para pendukung hadir sendiri dengan tim kecilnya ke KPU. ”Banyak, banyak juga terjadi tapi tidak diberitakan di media. Sehingga mohon beritakan juga yang positif-positif ini ke  media supaya paslon-paslon lain, masyarakat bisa menilai, bisa menilai ini paslon yang baik ini,” tandas Mendagri.

Pada bagian akhir jawaban, Mendagri menyampaikan bahwa kalau seandainya ada paslon yang melanggar peraturan kerumunan massa, maka dapat dipercaya pasangan calon tersebut nanti tidak akan bisa menangani pandemi ini ketika menjadi pemimpin.

”Baru mengendalikan ratusan/ribuan orang saja tidak mampu, menjadi kepala daerah nanti dia harus mengendalikan puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan masyarakat. Pandemi ini kuncinya adalah pengendalian massa, pengendalian masyarakat,” pungkas Mendagri seraya meminta bantuan Media memberitakan hal positif terkait Pilkada. (FID/EN)

Berita Terbaru