Sekretariat Kabinet Antikorupsi
Oleh: Eva Anas Tasia Turnip, S.E.*)
Praktik korupsi sangat melukai perasaan masyarakat. Hal ini terlihat dari viralnya kasus belakangan yang terkait indikasi tindak korupsi salah satu pejabat pemerintahan. Masyarakat geram karena tindak korupsi menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Sudah seharusnya, kasus tersebut membuat kita lebih memperhatikan dan membenahi sistem mitigasi risiko korupsi di lingkup instansi, sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Secara definisi, Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menyebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara/perekonomian negara. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk memberantas korupsi dilakukan demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
Salah satu wujud nyata dari upaya tersebut diprakarsai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki fungsi pencegahan korupsi. KPK menginisiasi pelaksanaan Survei Penilaian Integritas (SPI) sejak tahun 2016, bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memetakan risiko korupsi dan mengukur keberhasilan upaya pemberantasan serta pencegahan korupsi yang dilaksanakan di masing-masing kementerian/lembaga/pemerintah daerah (K/L/pemda). Secara tahunan, survei dilakukan terhadap 96 kementerian/ lembaga (K/L), 34 pemerintah provinsi, dan 504 pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia, termasuk Sekretariat Kabinet (Setkab).
Hasil SPI Tahun 2022
SPI tahun 2022 dihitung dengan skala interval 0-100. Semakin tinggi angka indeks menunjukkan tingkat integritas K/L/pemda yang semakin baik. Rata-rata indeks integritas dari seluruh peserta SPI adalah sebesar 71,94, dan Setkab mendapatkan skor sebesar 83.49. Nilai tersebut mencerminkan risiko praktik korupsi di Setkab telah dimitigasi. Secara umum, tidak ditemukan penyalahgunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, konflik kepentingan yang dipengaruhi oleh suku, agama, hubungan kekerabatan, almamater, dan sejenisnya.
Selain itu, kalangan eksternal meyakini bahwa risiko pemberian dalam bentuk gratifikasi/suap/pemerasan ketika berhubungan dengan instansi selama 12 bulan relatif rendah, pengelolaan pengadaan barang/jasa dinilai sudah cukup baik, serta rendahnya tingkat penyalahgunaan pengelolaan anggaran. Hal ini didukung pula oleh hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) selama 10 tahun berturut-turut.
Meskipun risiko korupsi relatif terjaga, risiko ini tetap perlu dimonitor agar tidak sampai terjadi di masa mendatang. Salah satu bentuk antisipasi yang perlu dilakukan yaitu sosialisasi antikorupsi. Sosialisasi tersebut perlu dirancang dan dilaksanakan agar berdampak terhadap pembentukan perilaku antikorupsi pada pegawai sehingga mampu menghindari konflik kepentingan, serta memiliki keberanian untuk melaporkan/menolak gratifikasi/suap dan melaporkan tindak pidana korupsi yang dilihat/didengar/diketahui.
Instansi dapat meningkatkan sistem antikorupsi melalui penyediaan media pengaduan/pelaporan masyarakat terkait korupsi. Selain itu, perlu pula dirancang suatu sistem perlindungan kerahasiaan dan keamanan data pelapor antikorupsi, serta memberi kepastian bahwa laporan tersebut akan ditindaklanjuti.
Sosialisasi Antikorupsi di Sekretariat Kabinet
Salah satu strategi dalam memerangi korupsi adalah dengan memberikan edukasi dan sosialisasi terkait antikorupsi. Edukasi dan sosialisasi tersebut akan mampu membangun sumber daya manusia yang baik dan berintegritas. Dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi, maka akan tercipta budaya antikorupsi dalam diri pegawai dan pada akhirnya akan mewujudkan clean government dan good governance di lingkungan kantor. Pentingnya sosialisasi antikorupsi ini sejalan dengan KPK yang memasukkan sosialisasi antikorupsi sebagai salah satu indikator dari tujuh variabel dalam penilaian internal pada SPI.
Sebagai wujud komitmen Setkab untuk meningkatkan kesadaran pegawai dalam mengimplementasikan budaya antikorupsi dan sebagai persiapan dalam menghadapi SPI yang akan segera dilaksanakan mulai bulan Juli 2023, maka pada hari Rabu tanggal 21 Juni 2023 telah dilaksanakan sosialisasi antikorupsi yang diikuti oleh seluruh pegawai Setkab. Penyelenggaraan sosialisasi diinisiasi oleh Inspektorat bekerja sama dengan Biro Sumber Daya Manusia, Organisasi dan Tata Laksana, menggunakan webinar Setkab yang bertajuk Bestie (Bulan E-Seminar Topik dan Isu Terkini). Bestie mengangkat tema Bestie Spin Off: Sosialisasi Survei Penilaian Integritas, yang menghadirkan narasumber langsung berasal dari KPK.
Pada kesempatan tersebut, narasumber yang merupakan Tenaga Ahli Madya dan Tenaga Ahli Muda KPK memberikan paparan terkait teknis dan persiapan SPI. Namun, pada sesi tanya jawab, peserta webinar begitu aktif berdiskusi terkait implementasi antikorupsi, terutama gratifikasi, baik pengertian maupun bentuk-bentuknya. Kemudian dijelaskan bahwa KPK telah menerbitkan Peraturan KPK Nomor 02 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi. Setkab juga telah memiliki Peraturan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia (Perseskab) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Sekretariat Kabinet. Perseskab tersebut begitu rinci menjelaskan terkait gratifikasi bahkan telah mencantumkan lampiran form yang dapat digunakan oleh pegawai Setkab untuk membuat Laporan Penerimaan Gratifikasi dan Laporan Penolakan Gratifikasi.
Terdapat keragaman pemahaman tentang gratifikasi. Secara umum gratifikasi berarti pemberian, namun gratifikasi menjadi sesuatu yang terlarang ketika pihak penerima adalah pegawai negeri/penyelenggara negara dan penerimaan tersebut berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan tugas dan kewajiban penerima. Hal ini tertuang pada Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Tipikor.
UU Tipikor juga menyatakan bahwa delik gratifikasi mengatur ancaman pidana bagi setiap pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima segala bentuk pemberian yang tidak sah dalam pelaksanaan tugasnya, atau yang diistilahkan sebagai gratifikasi yang dianggap suap dan tidak melaporkannya pada KPK dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja. Dalam sistem pelaporan ini, untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana suap tersebut, penerima gratifikasi yang nilainya Rp10 juta atau lebih, wajib membuktikan bahwa pemberian bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Sedangkan untuk yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi sebagai suap dilakukan oleh penuntut umum.
Bagi pegawai negeri/penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi, selanjutnya akan dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Namun, hukuman tersebut dibebaskan bagi pegawai negeri/penyelenggara negara yang telah melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK. Jaminan pembebasan hukuman ini akan memberikan rasa aman bagi pegawai negeri/penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Di sisi lain, bagi pemberi gratifikasi, baik dalam kondisi penerima gratifikasi melaporkan maupun tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, secara hukum dapat diancam pidana sebagai pemberi suap. Ancaman pidana bagi pemberi suap adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Untuk memutus potensi terjadinya gratifikasi, KPK menghimbau agar masyarakat berani melaporkan setiap indikasi gratifikasi yang terjadi. Yang termasuk penerimaan gratifikasi yang wajib dilaporkan, antara lain: (1) pemberian karena hubungan keluarga, yaitu dari kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu, besan, paman/bibi, kakak/ adik/ ipar, sepupu, dan keponakan yang memiliki konflik kepentingan; (2) penerimaan uang/barang oleh pejabat/pegawai dalam suatu kegiatan seperti pesta pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara agama/adat/tradisi lainnya yang melebihi Rp1 juta per pemberian per orang; (3) pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima, bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima gratifikasi yang melebihi Rp1 juta per pemberian per orang; (4) pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet giro, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi nilai yang setara dengan Rp300 ribu per pemberian per orang dengan total pemberian Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama; (5) pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet giro, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi Rp200 ribu per pemberian per orang dengan total pemberian maksimal Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama;1
Media Pengaduan/Pelaporan Masyarakat dan Perlindungan Pelapor Antikorupsi
Setiap masyarakat Indonesia berpotensi menjadi agen perubahan antikorupsi. Dengan kolaborasi bersama, bukan tidak mungkin korupsi akan musnah dari negeri ini. Diharapkan setiap masyarakat memiliki kesadaran untuk menolak gratifikasi dalam pemberian layanan kepada masyarakat dan selalu melaporkan penerimaan gratifikasi yang terpaksa diterimanya, serta tidak takut untuk melaporkan praktik penerimaan gratifikasi yang dilihat/didengar/diketahui. Namun ada indikasi kekhawatiran di masyarakat untuk melapor, karena takut keselamatannya terancam. Kekhawatiran itu seharusnya dapat ditepis karena KPK akan melindungi keamanan dan kerahasiaan identitas pelapor.
Pemerintah RI telah membentuk Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N)-Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) yang dapat diakses melalui beberapa kanal pengaduan, yaitu website www.lapor.go.id, SMS 1708 (Telkomsel, Indosat, Three), Twitter @lapor1708 serta aplikasi yang dapat diinstal pada mobile (Android dan iOS).
SP4N-LAPOR! dibentuk untuk menjamin hak masyarakat agar pengaduan dari manapun dan jenis apapun akan disalurkan kepada penyelenggara pelayanan publik yang berwenang menanganinya. Dalam sistem SP4N-LAPOR!, identitas pelapor dijamin kerahasiaannya karena terdapat fitur anonim yang bisa dipilih oleh pelapor yang akan membuat identitas pelapor tidak diketahui oleh pihak terlapor dan masyarakat umum.
Sistem ini diharapkan dapat disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang tersosialisasi terkait media pelaporan ini, maka diharapkan semakin banyak yang berani melaporkan sehingga rantai korupsi dapat diputus. Salam Antikorupsi!
Catatan kaki :
- Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 02 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi
—-
*) Auditor Ahli Pertama pada Sekretariat Kabinet