Selamat Idul Fitri 1438 H, Taqabballahu Minna wa Minkum

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 24 Juni 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 91.427 Kali

Screenshot_2017-06-24-10-02-08_1Oleh: M. Arief Khumaedy

Pengendalian diri pada setiap insan adalah kunci keharmonisan di dalam masyarakat. Pada Puasa Ramadhan 1438 H yang baru saja kita laksanakan, merupakan kawah atau tempat pendidikan (syahrul at tarbiyah) massal untuk melatih agar mampu mengendalikan diri terhadap hawa nafsu.

Puasa merupakan bentuk latihan lahir dan batin seorang muslim selama sebulan penuh, yang dilakukan dengan sabar dan iklas semata-mata mengharap ridha Allah swt, dengan tujuan agar kita menjadi pribadi yang semakin bertaqwa di hari-hari berikutnya.

Sebagai sarana latihan (tarbiyah) sebulan penuh, maka pengendalian hawa nafsu ini tidak hanya hanya berlaku di bulan puasa saja, tetapi di bulan-bulan berikutnya, dalam kehidupan riel pengendalian hawa nafsu ini diharapkan semakin meningkat kualitasnya. Seperti halnya ajaran agama umtuk memberi maaf tidak hanya dilaksanakan di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, tetapi wajiib dilaksanakan setiap saat tanpa batasan hanya pada hari raya atau di awal puasa.

Puasa adalah momentum untuk melatih diri untuk menahan hawa nafsu, juga media tarbiyah untuk berani meminta maaf dan iklas memberikan maaf. Semoga kita lulus, menjadi pribadi yang semakin bertaqwa seperti yang diperintahkan pada surat al Baqarah: 183. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).

Menahan diri dari hawa nafsu, — yang merupakan bahasa lain dari pengendalian diri — merupakan pokok dalam ajaran agama. Mereka yang berusaha semaksimal mungkin, berjihad untuk mampu menahan diri akan berada dalam kasih sayang Allah, bahkan di alam akherat nanti akan diselamatkan Allah dan ditempatkan ditempat yang paling lulia di sisi Allah yaitu di jannah.

Dalam surat An Naazi’at:37-41 disebutkan bahwa, Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).

Lebih jauh lagi seorang yang dalam hidupnya lebih mengedepankan hawa nafsu akan membahayakan diri sendiri. Hatinya akan tertutup dalam melihat realitas sesungguhnya, dirinya akan tertutup dalam melihat kebenaran. Dengan menjadikan hawa nafsu sebagai panglima maka Allah akan menutup mati pintu mata hatinya. Akibatnya akan tertutup dalam mendapatkan petunjuk Allah dalam kehidupannya.

Kehidupannya mengalami kegelapan, perasaan benar dalam dirinya menjadi dinding yang semakin menjauhkan diri dari petunjuk ilahi robbi. Dalam Quran surat Al Jaatsiyah:23, sebutkan: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Orang dengan cara hidup mengedepankan pemenuhan hawa nafsu sebagai panglima seperti ini, karena hidupnya berorientasi pada kehidupan duniawi semata, tidak mampu mengendalikan hawa nafsu ketika berhadapan dengan gemerlapan duniawi. Pengertian duniawi tidak semata harta benda, tetapi kenikmatan lainnya, dan juga harga diri, termasuk di dalamnya merasa benar sendiri. QS An Naazi’at:37, yaitu Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).

Semoga kita tidak terjatuh dalam kelompok mereka yang disebut ingkar (kufur), karena mementingkan kehidupan duniawi atau bahkan menolak keyakinan adanya akherat. Dalam Quran surat Al Jaatsiyah:24 di sebutkan : Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.

Yang sering terjadi, akibat ketidakpuasan terhadap duniawi, sesorang sering berfikir dan bertindak tidak terkontrol alias tidak mampu menahan hawa nafsunya. Seperti perilaku yang sering dinisbatkan dengan kata kepepet yang sering kita lihat sebagai tindakan kriminal. Kondisi kemiskinan yang menghimpit seseorang terkadang memancing untuk bertindak berlaku kriminal melakukan berbuat jahat seperti mencuri atau merampok.

Mereka yang beriman akan berusaha keras berjihad untuk mengendalikan dirinya sehingga benar-benar mampu menahan diri dari tindakan tersebut. Namun terdapat pula mereka yang tidak mampu menahan diri akibat situasi yang mendesak maka mereka melakukan tindakan yang tidak terpuji ini.

Kemiskinan berpotensi menyebabkan perilaku ingkar (kufur) terhadap ajaran Tuhan, yaitu larangan mencuri mengambil hak milik orang lain.
Pengendalian diri dan tidak emosi ini juga penting agar kita tetap jernih memahami ajaran agama yang termaktup dalam kitab suci. Emosional melihat kondisi social disekeliling, ketidakadilan, cobaan hidup yang diderita, janganlah sampai berpengaruh dalam memahani ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci. Dalam kaidah ilmu tafsir para ulama menyebutkan bahwa syarat untuk mentafsirkan Al Quran, antara lain: berakidah yang benar dan tidak mengikuti hawa nafsu.

Maksud berakidah yang benar adalah dalam menafsirkan Al Quran tidak menyimpang dari akidah yang benar. Seorang penafsir yang berakidah menyimpang diikhawatirkan akan mendistorsi ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan akidah kelompok yang menyimpang tersebut. Syarat penting lainnya dalam menafsirkan Al-Quran adalah harus terbebas dari Hawa Nafsu. Seorang mufassir tidak diperkenankan menggunakan hawa nafsu yang berujung pada kepentingan pribadi atau kelompoknya ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Seperti dalam melakukan penafsiran tidak didorong oleh dendam, dengki, trauma dan perasaan-perasaan lain yang membuatnya menjadi tidak objektif. Seorang penafsir harus jernih dalam melakukan penafsiran, meninggalkan subjektifitas diri dan golongannya serta memastikan objektifitas, profesional dan memperhatikan kaidah-kaidah yang baku dalam melakukan penafsirannya.
Dalam konteks kondisi politik global, ketika kita berhadapan dengan kondisi Palestina, Syiria, Iraq atau Afganistan dan negara-negara yang dihuni mayoritas muslim lainnya, yang menghadapi gejolak politik yang dasyat, penafsiran terhadap kitab tetap perlu dilakukan secara jernih.

Begitu pula ketika menghadapi realitas kehidupan bahwa mayoritas umat Islam berada di kategori dunia ketiga dan bekas negara terjajah, dalam memahami agama tetap jernih, tidak terpengaruh oleh perasaan rendah diri atau sejenisnya. Dalam menafsirkan ayat suci, tetap menjaga akal budi tetap jernih yang jauh dari penafsiran yang terpengaruh hawa nafsu.

Penafsirkan ayat suci tetap dijaga dari hawa nafsu amarah ketika merasa ada perlakuan yang tidak adil. Tetap menjaga emosi, tidak kehilangan akal sehat dan tetap mengendalikan hawa nafsu, sehingga terhindar dari perbuatan merusak bahkan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
Tindakan teror juga bom bunuh diri di berbagai tempat atas nama agama justru bertentangan dengan ajaran agama sendiri.

Jihad, istilah mulia yang terdapat dalam ajaran agama Islam, sering di salah pahami oleh kelompok tertentu dengan tindakan terror dan bom bunuh diri dengan mengatasnamakan agama Islam. Tindakan teror ini membuat nottah buruk terhadap kemuliaan agama Islam. Mengurangi kepercayaan terhadap Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Islam yang mulia, yang hadir di kehidupan manusia sebagai pembawa rahmat lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta namun ditampilkan dengan potret kekerasan dan pembunuhan yang tidak memperhatikan rasa kemanusiaan.

Ledakan bom bunuh diri di Kampung Melayu (24/5/2017) bukanlah tindakan jihad yang layak dianggap sebagai tindakan mulia seorang mujahiddin.
Pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, telah ada penghormatan terhadap non muslim. Masa itu telah terjadi interaksi atau hubungan antar agama baik dalam komunitas maupun melalui perdagangan. Nabi melarang membunuh atau berbuat zalim terhadap kaum non-muslim ketika berinteraksi dengan kaum non-muslim baik dalam pergaulan sesama anggota masyarakat maupun melalui interaksi dalam perdagangan.

Barangsiapa yang membunuh kafir muahad, maka ia tidak akan mencium bau surga, dan sesunggunya bau surga tersebut tercium dari perjalanan 40 tahun. (HR. Al-Bukhari).

Perlakuan terhadap non-muslim harus adil dan setara, serta tidak semena-mena, seperti yang dijelaskan dalam hadis nabi: Ingatlah, siapa yang menzalimi seorang kafir muahad, merendahkan, membebani di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya, tanpa keridhoan dirinya, maka saya adalah lawan bertikaiannya pada hari kiamat (HR Abu Dawud).

Tindakan bom bunuh diri (yang dianggap syahid oleh pelakunya) merupakan tindakan bunuh diri yang justru di larang oleh ajaran agama. Bunuh diri ini di karenakan sikap emosional yang tidak mampu menahan nafsu amarah. Al-Qur’an surat An-Nisa:29, disampaikan Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah maha penyayang kepadamu“. Dalam sebuah hadist di jelaskan bahwa Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di didunia, maka kelak dia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari kiamat (HR Bukhari dan HR Muslim).

Akhirnya, kami mengucapkan selamat berlebaran, selamat hari raya Idhul Fitri 1438 H, taqabballahu minna wa minkum, semoga Allah swt menerima puasa dan amal kami dan bapak ibu sekalian.
____
Penulis : Staf Sekretariat Kabinet RI

Opini Terbaru