Sepintas Mengenal Hukum Ekstradisi (Bagian Pertama)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 31 Januari 2023
Kategori: Opini
Dibaca: 21.374 Kali

Oleh: Rengga Damayanti, S.H., M.H.*)

Apa yang pertama kali anda pikirkan ketika mendengar atau membaca kata “ekstradisi”? Apakah ekstradisi bisa diartikan dengan tindakan memindahkan orang dari satu negara ke negara lain? Lantas apakah yang membedakannya dengan “deportasi”? Ekstradisi dan deportasi adalah dua hal yang berbeda, adapun perbedaan yang sangat mudah untuk ditandai dari kedua hal tersebut adalah ada atau tidaknya proses peradilan. Ekstradisi mensyaratkan adanya proses peradilan yang berujung pada penetapan pengadilan sedangkan deportasi tidak. Agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman baiknya kita melihat dasar hukum yang mengatur kedua hal tersebut.

Mengenai deportasi diatur khusus pengertiannya di dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) yaitu: “tindakan paksa mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia”. Deportasi juga merupakan salah satu bentuk tindakan administratif keimigrasian, yaitu sanksi administratif yang ditetapkan pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar proses peradilan, hal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 31 UU Keimigrasian. Salah satu penyebab orang dapat dideportasi adalah orang asing pemegang izin tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada di wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin tinggal dikenai tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dan penangkalan (Pasal 78 ayat 3 UU Keimigrasian).

Sedangkan mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (UU Ekstradisi). Khusus mengenai definisi disebutkan dalam Pasal 1 UU Ekstradisi yaitu: “penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.”

Dari pengaturan di atas terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut yaitu terkait:
– yurisdiksi wilayah suatu negara baik yang meminta maupun yang diminta;
– seseorang yang disangka atau dipidana; dan
– kewenangan untuk mengadili dan memidana.

Yurisdiksi meliputi wilayah hukum negara tertentu yang harus dihormati oleh negara lain, sehingga apabila terdapat seseorang yang melanggar hukum di suatu negara tertentu kemudian orang tersebut melarikan diri ke negara lain, maka pemerintah negara tempat pelaku melakukan tindak pidananya dapat mengajukan permohonan ekstradisi kepada negara yang dituju pelaku dan harus tunduk kepada kedaulatan hukum negara tujuan pelaku melarikan diri.

Seseorang dapat diekstradisikan karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, selain jenis pidana tersebut harus dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi (Pasal 3 UU Ekstradisi) atau yang lebih dikenal dengan istilah asas double criminality.

Adapun kejahatan-kejahatan yang pelakunya dapat diekstradisikan menurut lampiran UU Ekstradisi antara lain:
1. Pembunuhan.
2. Pembunuhan yang direncanakan.
3. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yang direncanakan dan penganiayaan berat.
4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.
5. Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur.
6. Penipuan.
7. Penyelundupan.
8. Pembajakan laut.
9. Pembajakan udara, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
10. Tindak Pidana Korupsi.
11. Tindak Pidana Narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya.

Kewenangan untuk mengadili dan memidana berada pada negara peminta ekstradisi, namun apabila orang yang dimintakan ekstradisinya telah diadili dan dibebaskan atau telah selesai menjalani pidananya di negara lain mengenai kejahatan yang dimintakan ekstradisinya maka permintaan ekstradisinya dapat ditolak (Pasal 11 UU Ekstradisi).

Masih ingat bagaimana proses ekstradisi pemulangan buronan pembobolan Bank Negara Indonesia Maria Pauline Lumowa ke Indonesia? (Kronologi Ekstradisi Maria Pauline, dari Beograd hingga Jakarta, www.nasional.kompas.com tanggal 9 Juli 2020). Dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Republik Serbia terkait kasus Maria Pauline Lumowa tersebut menggunakan dasar pada ketentuan Pasal 44 UU Ekstradisi yang mengatur: Apabila seseorang disangka melakukan sesuatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu kejahatan yang dapat diekstradisikan di dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia dan diduga berada di negara asing, maka atas permintaan Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden dapat meminta ekstradisi orang tersebut yang diajukannya melalui saluran diplomatik.”

Pada prinsipnya dalam hukum ekstradisi mengatur bahwa tindak pidana dilakukan haruslah berada pada yurisdiksi negara peminta.

Selain itu terdapat asas-asas ekstradisi yang diatur dalam UU Ekstradisi antara lain mengenai seorang warga negara asing (WNA) yang permintaan ekstradisinya dapat ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia yaitu jika:
1. kejahatan politik, pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik (Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) UU Ekstradisi);
2. menurut hukum Negara Republik Indonesia hak menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah kedaluwarsa (Pasal 12 UU Ekstradisi);
3. kejahatan yang dimintakan ekstradisi, diancam dengan pidana mati menurut hukum negara peminta sedangkan menurut hukum Negara Republik Indonesia kejahatan itu tidak diancam dengan pidana mati atau pidana mati tidak selalu dilaksanakan, kecuali jika negara peminta memberikan jaminan yang cukup meyakinkan, bahwa pidana mati tidak akan dilaksanakan (Pasal 13 UU Ekstradisi); dan
4. orang yang dimintakan ekstradisinya akan diserahkan kepada negara ketika untuk kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan sebelum ia dimintakan ekstradisi itu (Pasal 16 UU Ekstradisi).

Namun yang tidak kalah pentingnya adalah asas yang harus dipenuhi menurut hukum Indonesia yaitu ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, dalam hal belum ada perjanjian, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya (Pasal 2 UU Ekstradisi).

Dalam hal tidak ada perjanjian ekstradisi antara negara peminta dengan Negara Republik Indonesia, maka permintaan ekstradisi diajukan melalui saluran diplomatik, selanjutnya oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia disampaikan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia disertai pertimbangan-pertimbangannya, Menteri Kehakiman Republik Indonesia setelah menerima pertimbangan dari negara peminta dan pertimbangan dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia melaporkan kepada Presiden tentang permintaan ekstradisi tersebut, Presiden dapat menyetujui atau tidak menyetujui permintaan tersebut (Pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Ekstradisi).

Hal serupa juga berlaku terhadap negara lain yang mensyaratkan adanya perjanjian terlebih dahulu sebelum dilakukannya proses ekstradisi, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Pemerintah Republik Singapura untuk memberikan ekstradisi terhadap warga negara Indonesia (WNI) agar terlebih dahulu dilakukan perjanjian ekstradisi antardua negara. Faktanya banyak tersangka kasus korupsi yang menjadikan Singapura sebagai negara tujuan melarikan diri dari proses hukum di Indonesia. Kompas.com mencatat sebanyak 23 (dua puluh tiga) orang buronan korupsi yang melarikan diri ke Singapura (Daftar 23 Buronan Korupsi yang Pernah Melarikan Diri ke Singapura, www.kompas.com tanggal 16 Januari 2020).

Guna mengatasi hal tersebut di kemudian hari, Pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan (Treaty between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore for the Extradition of Fugitives) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6846).

Lantas syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu negara peminta ekstradisi? Sebagaimana disarikan dari Pasal 22 UU Ekstradisi antara lain harus ada surat permintaan ekstradisi yang diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk diteruskan kepada Presiden. Selain itu, surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahatan harus disertai antara lain lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta.

Setelah memenuhi persyaratan, Menteri Hukum dan HAM mengirimkan surat permintaan ekstradisi beserta surat-surat lampirannya kepada Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan (Pasal 24 UU Ekstradisi). Apabila kejahatan merupakan kejahatan yang dapat dikenakan penahanan menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dan diajukan permintaan penahanan oleh negara peminta, orang tersebut dikenakan penahanan (Pasal 25 UU Ekstradisi). Selanjutnya termohon ekstradisi akan dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan negeri dalam sidang terbuka.

Apabila telah menerima penetapan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU Ekstradisi, maka Menteri Hukum dan HAM segera menyampaikan penetapan tersebut kepada Presiden dengan disertai pertimbangan-pertimbangan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memperoleh keputusan dapat tidaknya seseorang diekstradisikan. Jika menurut penetapan pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman Republik Indonesia (sekarang Menteri Hukum dan HAM) memerlukan tambahan keterangan maka Menteri Hukum dan HAM meminta keterangan dimaksud kepada negara peminta dalam waktu yang dianggap cukup. Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi diberitahukan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia kepada negara peminta melalui saluran diplomatik.

Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi tersebut oleh Menteri Hukum dan HAM segera diberitahukan kepada Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Pasal 38 UU Ekstradisi).

Referensi:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130);
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); dan
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan (Treaty between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore for the Extradition of Fugitives) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6846) diakses dari jdih.setneg.go.id .

Website:
1. jdih.setneg.go.id
2. Kronologi Ekstradisi Maria Pauline, dari Beograd hingga Jakarta, https://nasional.kompas.com/read/2020/07/09/13055431/kronologi-ekstradisi-maria-pauline-dari-beograd-hingga-jakarta
3. Daftar 23 Buronan Korupsi yang Pernah Melarikan Diri ke Singapura, https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/16/132644665/daftar-23-buronan-korupsi-yang-pernah-melarikan-diri-ke-singapura

*) Analis Hukum Ahli Muda pada Asisten Deputi Administrasi Hukum, Deputi Bidang Perundang-undangan dan Administrasi Hukum, Kementerian Sekretariat Negara

Opini Terbaru