Silaturahmi dengan para Kiai dan Habib se-Jadetabek, 7 Februari 2019, di Istana Negara, Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 7 Februari 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.220 Kali

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati Yang Mulia para Ulama, para Habib, Kiai, para Ustaz yang hadir, wabilkhusus Bapak Ketua MUI DKI Jakarta dan kota-kota se-Jadetabek yang pada siang hari ini hadir,
Yang saya hormati Bapak Menteri Agama, Bapak Kepala Staf Kepresidenan,
Bapak-Ibu tamu undangan yang berbahagia.

Pertama-tama saya ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, atas kehadiran, atas kedatangan Yang Mulia para Ulama, para Habib, para Kiai, para Ustaz di Istana Negara ini untuk bersama-sama kita bertemu, silaturahmi untuk memperkuat ukhuwah kita. Dan inilah yang sering saya sampaikan kalau ulama dan umara itu dekat dan sering saling silaturahmi, sering bertemu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan keumatan, insyaallah negara ini akan tetap adem-ayem, tenteram, dingin, sejuk karena saya meyakini apabila para ulama sudah memberikan tausiah dan wejangan pada umatnya, pada santrinya inilah yang selalu dijadikan panutan.

Yang kedua, saya berbicara apa adanya, bahwa akhir-akhir ini meskipun juga tidak hanya di Indonesia, tapi di negara-negara lain juga mengalami hal yang sama, terjadi banyak sekali berita-berita fitnah, semburan-semburan fitnah, hoaks yang tidak ada hentinya. Tapi ini juga terjadi di negara-negara lain karena adanya keterbukaan media sosial. Kalau dulu koran bisa diedit, bisa dikoreksi oleh redaktur oleh redaksi, sekarang semua masyarakat, individu, pribadi-pribadi bisa membuat berita dan opini koran sendiri-sendiri, ini bedanya.

Perdana Menteri Malaysia menyampaikan pada saya hal yang sama. Sultan Brunei juga menyampaikan hal yang sama, kemudian presiden, perdana menteri di  Eropa menyampaikan hal yang sama,  di Timur Tengah juga, emir, raja, presiden juga menyampaikan hal yang sama karena memang yang namanya media sosial itu betul-betul tidak bisa kita hambat dan kita larang.

Menurut saya yang paling penting bagaimana kita membentengi pribadi-pribadi yang ada di negara kita ini dengan sebuah budi pekerti yang baik, karakter ke-Islam-an yang baik, karakter ke-Indonesia-an yang baik, dengan tata krama yang baik,  dengan nila-nilai agama yang baik. Saya kira bentengnya seperti itu. Bukan dilarang, bukan diblok karena itu justru makin membuat lebih besar lagi, membuat kalau dalam istilah medsos malah lebih viral lagi.

Dan repotnya memang negara kita ini terlalu banyak peristiwa politik, ada pilihan bupati, ada pilihan wali kota, ada  pilihan gubernur, ada pilihan presiden. Enggak ada di dunia ini sebanyak Indonesia peristiwa politiknya. Dulu sebelum digabung yang namanya pilkada itu, hampir setiap hari di seluruh Indonesia pasti ada pilkada, entah pilihan bupati, pilihan wali kota, karena kita memiliki 514 kabupaten dan kota, 34 provinsi. Pasti ada pilihan gubernur. Sekarang ini digabung tetapi juga setiap tahun ada. Tahun yang lalu 171 pilkada, sebelumnya 101 pilkada, dan jumlah yang tidak sedikit. Inilah saya kira yang juga mempengaruhi situasi-situasi politik yang ada di  tanah air, baik di pusat, baik di Jawa maupun di daerah, baik juga di luar Jawa.

Saya ingin sedikit menyampaikan bahwa sebetulnya kalau kematangan dan kedewasaan kita dalam berpolitik itu sudah matang, yang namanya fitnah, yang namanya hoaks itu juga tidak menyebabkan masalah. Problemnya memang kita memang pada tahapan proses menuju ke sebuah kedewasaan dan kematangan dalam berpolitik. Sehingga, sering sekali berita-berita fitnah itu sangat mengguncangkan masyarakat, sangat mempengaruhi kenyamanan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.

Juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengan politik yang berkaitan dengan saya. Saya berikan contoh, saya kira  sudah empat tahun di bawah banyak yang bertanya pada saya mengenai Presiden Jokowi itu PKI. Ada lagi Presiden Jokowi itu antek asing. Ada lagi Presiden Jokowi antek aseng. Ada lagi Presiden Jokowi itu antiulama. Ada lagi, akhir-akhir ini Presiden Jokowi itu mengkriminalisasi ulama.

Ya, kalau saya blak-blakan kok, saya jawab apa adanya. Ya kalau saya memang pas namanya manusia kurang dan khilaf, ya saya akan meminta maaf, tetapi kalau enggak ya saya ini sudah hampir empat setengah tahun ya diam dan sabar saja. Enggak pernah jawab, enggak pernah komentar, tetapi sekarang saya perlu jawab. Menjawab itu bukan marah lho ya, menjawab. Tolong dibedakan.

Mengenai Presiden Jokowi itu PKI, itu sudah sering saya jawab tapi saya ulang-ulang juga enggak apa-apa, biar. Saya lahir itu tahun ‘61, PKI dibubarkan tahun ‘65/’66, umur saya masih empat tahun. Sudah, jawabannya itu saja. Logikanya jadi  enggak masuk. Tetapi kalau enggak pakai logika seperti itu, bisa menjadi masuk. Artinya enggak ada yang namanya PKI balita. Karena pernah saya, saya enggak usah saya sebutkan pondok pesantrennya di mana, saya berkunjung, begitu mau pamit, “Pak Presiden,” Pimpinan Pondok, “mohon maaf saya ingin berbicara empat mata.” Saya sudah mikir pasti ini PKI. Pasti ini urusan PKI, benar. Begitu masuk ke ruangan, omong-omong berdua, “Apa betul Bapak, ini karena yang di bawah banyak bertanya Pak.” Saya jawab ya itu tadi, “Pak Kiai, saya itu lahir tahun ‘61, PKI itu dibubarkan tahun ‘65/’66, jadi umur saya saat itu masih empat tahun.” Beliau juga langsung kaget. Tersadar dan kaget, ya sudah ceritanya seperti itu.

Yang kedua antek asing, ini juga perlu saya jawab kalau enggak nanti juga antek asing. Saya enggak mengerti dari mana ini dimulai kok bisa antek asing, juga enggak mengerti saya. Tapi perlu saya sampaikan bahwa di 2015 yang namanya Blok Mahakam, itu blok besar, minyak besar yang sudah lebih dari 50 tahun dikuasai oleh yang namanya Inpex dan Total, ini dari  Jepang dan dari  Perancis, sudah lebih dari 50 tahun, tahun 2015 telah kita ambil alih 100 persen dan saya serahkan kepada Pertamina. Tapi saya kan dari dulu tidak pernah cerita mengenai ini. Saya  anggap itu sebuah hal yang memang kewajiban kita untuk melakukan itu, jadi saya anggap biasa. Tapi karena ada tuduhan antek asing, ya saya jawab sekarang. Jawabnya ini, antek asingnya di mana kalau sudah mengambil alih seperti itu?

Kemudian Blok Rokan, Blok Rokan ini sudah lebih dari 90 tahun dikelola oleh yang namanya Chevron dari Amerika, lebih dari 90 tahun. Ya untungnya minyaknya masih melimpah, Alhamdulillah tahun kemarin juga sudah dimenangkan 100 persen oleh Pertamina, alhamdulillah. Enggak mudah. Kalau mudah sudah dari dulu diambil alih. Jawaban saya ya gampang saja. Terus pertanyaan saya, antek asingnya di mana?

Terakhir, akhir 2018 kemarin, alhamdulillah yang namanya Freeport yang sudah dikelola, dikuasai oleh yang namanya Freeport McMoran, dari Amerika Serikat. Ini adalah tambang emas, tambang tembaga terbesar, termasuk yang terbesar di dunia. Saya suruh lihat, “coba masih enggak sih deposit kandungan emas dan tembaganya di dalam?” “Oh, masih banyak sekali, Pak.” Ini kalau dihitung mungkin kurang lebih masih ada 2.400 triliun lagi yang ada di bawah tanah. Alhamdulillah belum habis.

Sehingga empat tahun yang lalu, saya juga enggak banyak bicara, empat tahun yang lalu saya perintahkan kepada menteri, negosiasi kita harus dapat di sini mayoritas. Masa kita 40 tahun hanya diberi 9 persen diam saja? Begitu kita ambil alih 51,2 persen malah saya yang dituduh antek asing, antek asing, antek asing. Dipikir mengambil alih Freeport ini barang gampang? Mudah? Gampang? Kalau mudah dan gampang sudah diambil alih dari dulu.

Saya kira para ulama tahu kita berhadapan dengan siapa, dipikir  tidak ada intrik politik. Yang menekan kita dari kanan, dari kiri, dari depan, dari belakang. Ya untungnya, untungnya saya kurus, didorong dari sini, dorong dari sini, dorong dari sini, ya saya diam saja, kurus kok. Jadi terus antek asingnya di mana pertanyaan saya?

Ini jangan politik bolak-balik. Politik dibolak, dibalik hanya untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Ini empat tahun kita lakukan ini, bukan barang mudah, bukan pekerjaan mudah, bukan negosiasi yang mudah. Menteri saya bertanya ke saya bukan hanya sekali dua kali, “ini betul Bapak perintah ini? Perintah ini Bapak sudah kalkulasi? Perintah ini Bapak sudah perhitungkan?” Saya sampaikan, “kalau saya memerintahkan sesuatu, sudah saya hitung, sudah saya kalkulasi, dan risiko-risiko yang ada itu menjadi tanggungan saya.” Saya sampaikan seperti itu.

Saya tahu banyak yang enggak suka, saya tahu, banyak yang enggak senang, saya tahu tapi ya saya hadapi. Saya memang tidak pernah banyak omong. Sebelum sesuatu itu berhasil saya diam saja. Karena tahu-tahu kita sudah negosiasi, tahu-tahu kebalik kita enggak dapat, kan ya juga malu juga kita. Ini bukan sesuatu yang mudah. Jadi saya enggak berani omong selama empat tahun karena ini bukan sesuatu yang mudah.

Kemudian mengenai kriminalisasi ulama atau anti-Islam. Bagaimana anti-Islam, antiulama, tadi sudah disampaikan oleh Bapak Ketua Umum MUI, yang tanda tangan Hari Santri itu siapa? Mohon maaf enggak riya, enggak sombong, enggak. Saya hanya ingin mengingatkan saja bahwa yang tanda tangan hari santri itu siapa, saya juga bertanya.

Kita juga telah mengembangkan beberapa hal yang berkaitan dengan ekonomi keumatan. Bank Wakaf Mikro, ini kita terus berjalan, kita dirikan di pondok-pondok pesantren yang memiliki lingkungan komunitas bisnis yang baik sehingga berkembanglah ekonomi umat. Karena saya juga cek langsung ke beberapa pondok yang sudah berjalan ini, alhamdulillah sangat baik. Yang dulunya misalnya di lingkungan itu ada orang jualan bakso di gerobak, setelah dapat pinjaman dari Bank Wakaf Mikro bisa jualan di warung, memiliki warung. Yang dulunya jualan gorengan, setelah mendapatkan bantuan dari Bank Wakaf  Mikro bisa jualan gorengan dan nasi uduk. Ya memang ini ekonomi super mikro, ekonomi mikro yang ingin kita tuju memang ke sana.

Tahun ini juga insyaallah kita juga akan membangun kurang lebih 1.000 balai latihan kerja khusus di pondok-pondok pesantren yang kita miliki. Memang baru 1.000, tapi 1.000 itu juga jumlahnya banyak, anggarannya juga gede. Karena kita akan bangun bangunannya plus isinya. Misalnya sebuah pondok ingin skill yang mau di-upgrade garmen, ya berarti kita berikan di situ peralatan yang berkaitan dengan garmen atau pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan garmen. Ada yang ingin untuk IT, ya siapkan peralatan yang berhubungan dengan IT. Atau yang ingin berkaitan dengan industri kreatif ya kita siapkan. Tetapi kalau yang 1.000 ini nanti kita evaluasi, kita koreksi, insyaallah semuanya sudah benar, sudah betul ya baru tentu saja dari 28.000 pondok pesantren yang ada di tanah air, itulah yang nanti akan kita sasar dengan program ini.

Kenapa kita lakukan ini? Saya itu hampir setiap minggu, setiap hari masuk keluar pesantren, semakin masuk semakin saya tahu, semakin masuk semakin saya mengerti apa yang harus kita kerjakan. Karena masukan dari pimpinan pondok, masukan dari para santri, keluhan dari pimpinan pondok, keluhan dari para santri saya dengarkan betul.

Dan kebetulan saya adalah Ketua KNKS. Saya sendiri saya meminta ketuanya saya. Ketua Nasional Keuangan Syariah saya ketuanya. Kalau negara-negara lain biasanya ketuanya menteri, di sini saya ambil alih, saya sendiri. Kenapa saya sendiri? Karena saya melihat Indonesia sebagai sebuah negara dengan  penduduk muslim terbesar di dunia, ekonomi syariah kita baru berkembang lima persen. Malaysia 23 persen, Saudi 51 persen, Uni Emirat Arab 19 persen, kita baru lima persen. Padahal Indonesia adalah pasar yang besar bagi ekonomi syariah, bagi keuangan syariah. Kita kalah, dengan Korea kalah, kita kalah dengan Inggris, kita kalah dengan Perancis. Lho lho lho lho. Ini ada sesuatu yang memang harus kita benahi, kita perbaiki. Hanya lima  persen.

Penduduk kita 260 juta, 87 persen adalah muslim. Artinya, sekali lagi, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tapi keuangan syariahnya, ekonomi syariahnya baru lima persen. Ini ada sesuatu. Sehingga saya juga ingin mengerti ini ada tantangannya di mana, hambatannya di mana, problemnya ada di mana, saya ingin mengerti, sudah saya ketuai sendiri. Nanti kalau sudah berjalan ya saya serahkan ke menteri yang terkait dengan ini. Tapi sekali lagi, tidak gampang, saya tahu tidak mudah. Ada banyak hal yang harus kita luruskan.

Yang terakhir, saya titip betul bahwa yang namanya semburan fitnah, hoaks ini harus diluruskan agar perpecahan, gesekan, atau menuju ke sebuah gesekan, menuju ke sebuah perpecahan bisa kita hindari. Kita pernah kedatangan tamu Presiden Afghanistan, pernah kedatangan tamu Ibu Negara dari Afghanistan. Saya pernah juga ke Kabul. Apa yang ingin saya sampaikan? Memang Indonesia memiliki keinginan kuat untuk bisa mempersatukan faksi-faksi yang ada di Afghanistan yang sekarang ini dalam posisi konflik dan perang. Tetapi memang tidak mudah. Kita sudah pertemuan berapa kali, mungkin sudah sembilan kali pertemuan hanya tertutup terus. Ini karena belum kelihatan titik menuju ke terangnya sehingga terus kita tertutup, baik dengan faksi pemerintah, dengan faksi Taliban, dengan faksi yang ada di Pakistan, semuanya. Kita sering sekali bertemu, baik di Bogor, di Istana tapi semuanya kita tutup dan tertutup terlebih dahulu.

Apa yang ingin saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini? Saya  berdua dengan Presiden Ashraf Ghani, kemudian yang kedua juga dengan Ibu Rula Ghani, ini istrinya Presiden Ashraf Ghani, beliau menyampaikan, terutama ini yang dari Ibu Rula Ghani, beliau cerita Afghanistan inikan negara kaya dulu karena memiliki deposit minyak dan gas termasuk yang terbesar di dunia, dan memiliki deposit emas termasuk yang terbesar di dunia. Tapi enggak bisa dikelola karena adanya perang dan konflik. Itu dimulai kurang lebih 40 tahun yang lalu karena dua suku yang bertikai, dua suku. Di sana ada tujuh suku. Dua suku bertikai, yang satu membawa kawan dari luar, yang satu membawa dukungan dari luar. Bayangkan, itu hanya tujuh suku dan Indonesia memiliki 714 suku, sudah, supaya bisa kita bandingkan.

Apa yang ingin saya ceritakan? Itu Rula Ghani menyampaikan kepada saya, “Presiden Jokowi, 40 tahun yang lalu saya perempuan/wanita di Afghanistan sudah menyetir mobil, bisa menyetir mobil di kota maupun antarkota. Mungkin negara lain belum pada naik mobil, kita sudah menyetir mobil. Aman, enggak ada masalah. Tetapi begitu konflik terjadi, perang terjadi siapa yang paling dirugikan? Ada dua, pertama anak-anak, yang kedua adalah perempuan.” Ibu Rula Ghani betul-betul  terenyuh dan sambil keluar air mata bercerita seperti itu. “Sekarang kami naik sepeda saja sudah tidak bisa karena masalah keamanan. Anak-anak juga bersekolah saja juga bermasalah karena juga masalah keamanan.”

Tapi betul, saat saya mau ke Kabul, dua hari sebelumnya ada bom meledak, 103 orang meninggal dan ratusan luka-luka. Pesawat mau turun, dua jam sebelum pesawat saya turun, juga ada bom lagi di Kabul, lima orang meninggal  dan puluhan orang terluka. Ya memang situasinya seperti itu. Itulah konflik yang dimulai, perang yang dimulai dari konflik dua suku.

Oleh sebab itu, saya ingin mengingatkan, mengajak para ulama  agar bisa memberikan wejangan tausiahnya kepada umat, kepada para santri mengingatkan masalah-masalah yang timbul kalau muncul konflik-konflik yang ada di negara kita. Perbandingannya ya itu tadi, di situ tujuh suku, di sini 714 suku di negara kita. Perbedaan yang sangat-sangat jauh sekali. Kalau ini tidak kita ingat-ingatkan, sering kita lupa sebagai sebuah negara besar, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sering lupa kita masalah ini.

Padahal, ini ramainya ini mesti pas urusan pilihan bupati, urusan pilihan wali kota, urusan pilihan gubernur. Ada yang dukung sini, ada yang dukung sana. Urusan pilihan presiden. Ya kalau ada pilihan-pilihan seperti itu sebenarnya gampang kok, mudah. Silakan berbeda pilihan enggak apa-apa, enggak apa-apa, tapi jangan kita ini ngompori atau memanas-manasi dengan fitnah-fitnah yang menyesatkan. Yang paling penting itu saja. Enggak apa-apa.

Dan yang paling penting, kalau kita ingin memilih, selalu saya sampaikan ya pilih dilihat saja figur-figurnya. Misalnya, pilihan bupati ada empat ya dilihat saja, empat orang itu prestasinya apa dilihat, punya prestasi enggak. Pengalamannya apa dilihat, punya pengalaman atau tidak. Programnya apa, ya  dilihat, programnya baik atau tidak. Idenya apa ya dilihat ide-idenya bagus enggak untuk kota/kabupaten yang ingin dibangun. Dilihat itu saja, enggak usah ke mana-mana. Kalau saya selalu saya ajak masyarakat untuk dewasa memilih pemimpin-pemimpin baik di kabupaten, di kota, di provinsi maupun di tingkat nasional.

Enggak usah kita ini, kayak semuanya kadang-kadang, saya kadang-kadang kalau ke desa, ke daerah itu kadang-kadang kita ini kayak politikus semuanya, betul. Ya kebetulan saya ini juga bukan ketua partai. Kok kayak politikus ya ini rakyat sekarang ya. Tapi ya bagus, sebetulnya bagus ada diskusi-diskusi tapi kok. Padahal urusan kita ini urusan dunia inikan bukan urusan politik saja, ada urusan agama, ada urusan sosial, ada urusan ekonomi, yang juga perlu kita selesaikan.

Saya rasa itu sedikit hal yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, saya ingin mengajak kepada para ulama agar memberikan kesejukan, mendinginkan situasi, mengajak umat untuk ya mengatakan yang benar itu benar, yang tidak benar ya katakan tidak benar.

Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru