Silaturahmi dengan Peserta Halaqah Ulama Dan Pimpinan Pondok Pesantren Jawa Barat Tahun 2019, 28 Februari 2019, di Istana Negara, Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 28 Februari 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 4.538 Kali

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati yang mulia para Ulama, para Kiai Sepuh, para Ustaz-Ustazah,
Yang saya hormati Ketua MUI Provinsi Jawa Barat, Ketua MUI Kabupaten Bogor, Bapak K. H. Rahmat Syafei, Bapak K.H. Ahmad Mukri Aji,
Yang saya hormati para Pimpinan Pondok Pesantren,
Yang saya hormati para Menteri, Pak Menteri Agama, Pak Kepala Staf Kepresidenan, Pak Koordinator Staf Khusus,
Ibu Bupati Kabupaten Bogor yang hadir pada siang hari ini,
Bapak-Ibu tamu undangan yang berbahagia.

Setiap bertemu dengan para ulama, hati saya selalu merasa tenang, merasa damai. Karena para ulama selalu memberikan tausiah, memberikan petunjuk-petunjuk, dan nasihat-nasihat kepada saya. Baik nasihat pribadi kepada saya sebagai seorang muslim dan juga nasihat ulama kepada umara, terutama untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat.

Kita tahu semuanya, bahwa bangsa ini adalah bangsa besar, negara besar. Tentu saja tantangannya juga banyak dan juga besar. Dan tidak mungkin tantangan-tantangan itu diselesaikan dalam waktu yang sehari – dua hari, sebulan – dua bulan, atau setahun – dua tahun. Sekali lagi, ini adalah negara besar. Persoalan yang ada dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote dilihat dari provinsi-provinsi yang ada berbeda-beda, keinginannya berbeda-beda, kebutuhannya berbeda-beda, hambatan dan rintangan di lapangan juga berbeda-beda. Karena ini adalah negara besar. Penduduk kita sekarang sudah, terakhir yang saya terima sudah 269 juta, alhamdulillah sudah 269 juta. Patut kita syukuri, karena yang namanya sumber daya manusia sekarang ini juga dipandang dari sisi ekonomi itu sebagai sebuah kekuatan kalau kita bisa mengelola dan kalau kita bisa meningkatkan kualitas SDM itu.

Kembali lagi ke Indonesia sebagai sebuah negara besar, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Ini selalu saya sampaikan di konferensi-konferensi besar dunia bahwa, di dalam pembukaan pasti saya sampaikan, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Karena banyak yang enggak tahu bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Kita juga dianugerahi oleh Allah SWT berbeda-beda. Sudah menjadi sunatullah, sudah menjadi hukum Allah bahwa kita ini berbeda-beda. Baik suku, baik agama, baik adat, baik tradisi, baik budaya, baik bahasa daerah beda-beda. Kalau di Jawa Barat ‘sampurasun, kumaha damang’. Nanti pindah ke Sumut gitu sudah beda lagi, ada ‘horas’; di Karo, ‘mejuah-juah’; nanti di Pakpak, ‘juah-juah’; di Nias, ‘ya’ahowu’. Itu masih dalam lingkup provinsi.

Nanti pindah ke Jawa, beda lagi. Jawa yang bagian tengah beda, Jawa yang bagian Banyumas sudah beda lagi. Saya kemarin ke Cilacap, kan sudah perbatasan dengan Jawa Barat, ternyata bahasanya sudah beda total. “Pak, kencot Pak”. Saya, “apa ini kencot.” Ternyata kencot itu lapar. “Pak uangnya sudah entong, Pak, uangnya udah entong“. “Entong itu apa?” “Habis, Pak”. Jadi uang di tabungan PKH itu sudah entong. Sudah entong itu apa. “Habis Pak”. Ini padahal coba, hanya berdekatan, beda kabupaten sudah beda-beda.

Inilah, sekali lagi hukum Allah, sunatullah yang diberikan kepada bangsa kita Indonesia, berbeda-beda. Belum Bapak-Ibu kalau beda lagi, kalau Bapak-Ibu terbang dari Aceh kemudian langsung ke Papua, di Wamena. Papuanya jangan Jayapura, Wamena, bedanya langsung seperti bumi dan langit, beda semuanya.

Kita memiliki 714 suku yang sering saya ulang-ulang di mana-mana karena banyak yang belum tahu. Bandingkan dengan Afghanistan yang hanya memiliki tujuh suku. Saya jadi ingat ingin cerita masalah Afghanistan. Saya bertemu dengan Dr. Ashraf Ghani, Presiden Afghanistan. Bertemu dengan Ibu Rula Ghani, Ibu Negara dari Afghanistan. Dengan Presiden Afghanistan tiga kali, Ibu Rula Ghani dua kali. Tapi yang saya terkesan dan ingat sampai saat ini adalah cerita dari Ibu Negara Afghanistan, Ibu Rula Ghani. Apa yang beliau sampaikan/ceritakan pada saya? Ini nanti menyangkut suku tadi. “Presiden Jokowi, empat puluh tahun yang lalu saya itu bisa menyetir mobil di Kabul muter-muter sendiri, aman tenteram. Antarkota dari Kabul ke provinsi lain ke kota lain juga menyetir sendiri, saya berani.” Saat itu memang, dan sampai saat ini, Afghanistan adalah negara dengan deposit minyak dan gas termasuk terbesar di dunia. Memiliki deposit emas juga termasuk terbesar di dunia. Ini negara kaya. Ada dua suku kemudian konflik, bertikai. Satu membawa kawan dari luar negara lain, satu membawa kawan dari luar negara lain, akhirnya perang. Sudah empat puluh tahun tidak selesai-selesai sampai sekarang.

Kita sudah berusaha dua tahun ini mengundang faksi-faksi yang bertikai. Ke Bogor, ke Jakarta, seingat saya sudah sembilan kali. Baik faksi pemerintah, faksi Taliban, faksi yang ada di Pakistan, faksi yang ada di Uni Emirat, diundang untuk bertemu agar mereka bisa rukun kembali. Sesama muslim, tapi kalau sudah bertikai seperti ini, apalagi sudah  sampai ke perang, saya melihat merukunkan sangat-sangat sulit sekali. Yang satu setuju, yang tiga enggak setuju. Yang tiga setuju, yang lima enggak setuju. Sangat sulit sekali.

Kembali ke cerita Ibu Rula Ghani, “Presiden Jokowi, siapa yang dirugikan dari peperangan ini? Ada dua”. Beliau menyampaikan kepada saya, “satu wanita/perempuan, yang kedua anak-anak. Kami tidak berani keluar rumah, apalagi naik mobil. Sekarang kita bisa naik sepeda saja sudah kita syukuri alhamdulillah. Tapi itupun sulit. Anak-anak tidak bisa sekolah karena peperangan itu, konflik itu.”

Saya jadi ingat waktu dua hari sebelum saya turun di Kabul. Bom, seratus tiga orang meninggal, ratusan luka-luka. Dua jam sebelum pesawat saya turun, bom lagi lima orang meninggal dan juga puluhan luka-luka. Hampir tiap hari seperti itu. Bagaimana bisa sekolah, bagaimana ibu-ibu bisa naik sepeda? Sudah lupakan mobil sudah, sepeda saja sudah alhamdulillah. Artinya apa? Peradaban mundur, empat puluh tahun – lima puluh tahun tahun ke belakang. Bayangkan, negara yang kaya akan emas, deposit minyak dan gas. Ini satu contoh yang perlu kita ingatkan, bahwa jangan sampai kita karena urusan politik, urusan pilihan bupati, urusan pilihan gubernur, urusan pilihan wali kota, naik lagi urusan pilihan presiden yang setiap lima tahun itu insyaallah pasti ada terus, kita merasa tidak menjadi saudara, kita tidak rukun. Akan sangat rugi besar gara-gara politik kita masuk ke ruangan tadi.

Oleh sebab itu, saya mengajak kepada para ulama untuk menyampaikan kepada masyarakat, menyampaikan kepada lingkungannya, menyampaikan kepada santri-santrinya, baik dalam majelis taklim, dalam majelis-majelis yang lebih besar, untuk menjaga, merawat persatuan kita, merawat kerukunan kita, merawat persaudaraan kita, merawat ukhuwah kita. Baik ukhuwah islamiah maupun ukhuwah wathaniyah kita, sebagai saudara sebangsa dan setanah air.

Akan sangat rugi besar kita, gara-gara hanya urusan pilihan bupati yang setiap lima tahun  ada, pilihan gubernur yang setiap lima tahun ada, pilihan presiden yang tiap lima tahun ada, kita mengorbankan ukhuwah kita. Apalagi dibarengi dengan akhir-akhir ini, dengan gibah, dengan hoaks, dengan kabar-kabar fitnah. Bisa meresahkan masyarakat dan bisa memecah kalau ini tidak kita respons dengan cepat hal-hal seperti itu. Jangan dianggap ini hal yang ringan, ini hal yang berat bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya mengajak, betul-betul mengajak.

Banyak logika yang enggak masuk. Kemarin ramai masalah nanti pemerintah akan melegalkan kawin sejenis. Coba? Masyaallah, logikanya enggak masuk. Negara kita ini adalah negara yang sangat menghargai norma-norma agama, nilai-nilai agama. Ada lagi isu azan tidak boleh. Ini apalagi? Tapi perlu saya sampaikan, dari survei yang kita lakukan itu, sembilan juta orang percaya mengenai itu. Masalahnya di sini, kenapa kita sampaikan. Dulu saya juga tenang-tenang saja, empat tahun sudah saya diam. Ada isu, sudah ada isu-isu itu, kita diam. Tapi setelah dari hasil penelitian itu, ini berbahaya kalau enggak kita respons. Yang percaya sembilan juta, didiamkan jadi lima belas juta, didiamkan jadi tiga puluh juta, didiamkan jadi lima puluh juta, berbahaya sekali.

Juga hal-hal yang berkaitan dengan ke pribadi saya. Presiden Jokowi itu PKI. Saya diam saja empat setengah tahun ini, enggak, enggak saya jawab, saya diam saja sudah. Sabar ya Allah, saya hanya gitu saja. Sabar ya Allah, sabar ya Allah. Tapi lama-lama, setelah tahu sembilan juta, waduh saya jawab ini, harus saya jawab. Bukan marah ya, menjawab, nanti ada yang mengartikan marah, bukan, menjawab.

Sebetulnya sudah tiga tahun yang lalu saya ditunjukkan oleh anak saya, “Bapak ini ada gambar di medsos”. Di handphone-nya ditunjukkan, “ini lho gambarnya”. “Apa sih?” “Bapak ini”. Gambarnya coba, ini sering saya tampilkan ini, nah itu. Ini gambar ini, gambar ini adalah gambar tahun 1955. Yang pidato itu adalah DN Aidit, Ketua PKI. Saya lahir tahun ’61, lha kok saya ada di dekatnya? Coba. Saya lihat-lihat di handphone saya, lha kok ya mirip saya. Kok mirip gitu. Inilah rekayasa-rekayasa yang sering kalau kita tidak hati-hati menganggap itu sebuah kebenaran, ini yang berbahaya. Saya lahir tahun ’61, pidatonya tahun ’55, lahir saja belum, sudah keluar gambar seperti itu.  Presiden Jokowi itu PKI. PKI dibubarkan tahun ’65/’66, umur saya baru empat tahun. Saya sampaikan, apa ada PKI balita? Tapi kalau enggak saya jawab, saya sekarang jawabnya sederhana-sederhana seperti itu.

Ada lagi, juga saya sebutkan semuanya, saya mau jelaskan semuanya saja. Antek asing, Presiden Jokowi itu antek asing. Antek asing yang seperti apa tho sebetulnya? Tahun 2015, yang namanya Blok Mahakam, ini adalah blok minyak besar kita, Blok Mahakam, sudah lebih dari lima puluh tahun dikelola oleh Inpex dan Total dari Perancis dan dari Jepang, dan sejak 2015, sudah kita ambil seratus persen, kita serahkan pada Pertamina. Saya juga enggak cerita apa-apa saat itu tapi begitu berkembang antek asing-antek asing, ya saya ceritakan sekarang. Supaya tahu antek asing yang seperti apa.

2018, yang namanya Blok Rokan, ini adalah blok minyak dan gas terbesar di Indonesia, dikelola oleh yang namanya Chevron, Amerika Serikat, sejak 2018 kemarin sudah dimenangkan seratus persen oleh Pertamina juga. Dipikir mudah mengambil seperti ini? Dipikir gampang? Ya kalau mudah dan gampang sudah sejak dulu diambil. Kenapa enggak diambil sejak dulu, ya karena enggak gampang bernegosiasi seperti ini.

Freeport, ini tambang tembaga dan emas terbesar, mungkin terbesar di dunia. Saya juga lihat, saya tengok, “ini depositnya masih banyak apa enggak sih?” “Masih Pak”. Kira-kira dihitung masih 240.000 triliun dalamnya. Itu baru yang satu gunung, ada enam gunung yang lainnya belum diapa-apain. Ini alhamdulillah belum diapa-apain. Empat tahun yang lalu saya perintahkan ambil yang namanya Freeport, kita harus mayoritas. Jangan sampai kita sudah empat puluh tahun diberi sembilan persen diam saja. Tapi juga enggak gampang bernegoisasi dengan perusahaan-perusahaan multinasional seperti ini. Dan sejak akhir 2018 kemarin, Desember 2018 sudah kita ambil mayoritas 51,2 persen. Ini kok yang malah dituding-tuding antek asing saya?

Ini lho, saya itu hanya minta apalah, minta yang benar katakan benar, yang salah katakan salah, yang hak katakan hak, yang batil katakan batil. Saya enggak minta apa-apa kok. Saya ambil alih juga diam-diam saja. Saya cerita ini setelah ada isu itu saja. Ada isu antek asing-antek asing ya itu saya baru cerita. Kita negosiasinya juga sudah empat setengah tahun, alot sekali. Kalau gampang sudah sejak dulu kita bisa ambil. Banyak intrik-intrik politik nasional maupun internasional tapi wong saya ini enggak punya beban apa-apa. Didorong dari sini ya belok agak gini, didorong lagi belok agak gini, gitu saja. Untung saya kurus ya santai saja didorang-dorong. Sabar, ada yang dorong dari sini sabar, sudah. Ya kesabaran itulah yang menghasilkan, pengambilalihan blok-blok dan tambang besar kita.

Ada lagi, sudah ini mau saya ceritakan semuanya lah. Presiden Jokowi itu anti-Islam, antiulama. Lho, saya terus terang saja bingung. Lha yang tanda tangan Hari Santri itu siapa? Kalau anti-Islam, anti-ulama ya enggak mungkin Hari Santri saya tanda tangani. Saya masukkan ke laci saya saja sudah. Sebulan setelah dilantik langsung saya tanda tangani kok. Sehingga setiap 22 Oktober sekarang ini kita rayakan sebagai Hari Santri. Tiap hari saya juga dengan ulama, tiap minggu keluar masuk pondok pesantren, dengan santri, dengan ulama.

Tapi ya itu, saya pernah masuk ke sebuah pondok, enggak usah saya sebutkan pondoknya di mana, tapi tidak di Jawa Barat. Saya masuk, mau pulang pamit sama Pak Kiai. Pak Kiai bisik ke saya “Presiden Jokowi, boleh saya bicara empat mata”. Saya sudah mikir ini pasti PKI ini. Urusan PKI, benar. Sudah masuk ke kamar, bertanya kepada saya, “apakah benar kabar mengenai PKI ini?” Saya sampaikan tadi, “Pak Kiai, lahir saya itu tahun ‘61, PKI dibubarkan tahun ‘65/’66, umur saya baru empat tahun.” Beliau langsung kaget, “astagfirullah, benar Pak Presiden ya, kok saya juga enggak mikir seperti itu”. Coba, betapa sangat ganasnya yang namanya fitnah tadi. Mungkin juga ada banyak kiai yang mungkin percaya mengenai itu tapi enggak berani bisik-bisik kayak tadi, mungkin. Karena sembilan juta itu jumlah yang sangat banyak sekali. Tapi ya sekarang kita buka seperti ini akan lebih baik menurut saya.

Dan kita telah membangun 44 Bank Wakaf Mikro dalam rangka ekonomi keumatan. Memang pondok pesantren kita ini ada 29.000, kalau jumlah 44 itu ya belum banyak, betul tetapi ini yang paling penting sudah kita mulai. Kemudian nanti kita koreksi, kita evaluasi, kurangnya apa, jeleknya apa, enggak benarnya di mana baru dibesarkan.

Kita juga telah, tahun kemarin, membangun yang namanya BLK Komunitas di pondok-pondok pesantren juga. Kita evaluasi, kita perbaiki. Lima puluh sama 75, jadi di 2017 lima puluh, di 2018 75. Kita evaluasi, kita koreksi, kita perbaiki. Tahun ini insyaallah sebentar lagi sudah dimulai akan kita bangun seribu BLK Komunitas di pondok-pondok pesantren. Saya sudah perintah kepada Menteri Tenaga Kerja, tahun depan kalau seribu rampung tahun depan minimal tiga ribu BLK Komunitas. Supaya apa? Supaya cepat bisa masuk ke pondok-pondok yang ada, baik yang besar maupun yang kecil. Kalau 29.000 setahun hanya bangun seribu, ya menunggunya 29 tahun baru rampung.

Sehingga nantinya kita harapkan ada scaling, upscaling, peningkatan kualitas skill, keterampilan baik yang berkaitan dengan IT, berkaitan dengan otomotif, komputer, garmen, konveksi, industri kreatif, kelistrikan. Kami serahkan kepada pondok pesantren. Kalau senang masalah IT ya berarti kita bangunkan bangunan plus isinya yang berkaitan dengan komputerisasi. Pengolahan pertanian, yang berkaitan mungkin dengan packaging, kemasan, dan lain-lain.

Karena keluar masuk saya di pondok-pondok pesantren semakin saya tahu, kebijakan apa yang harus kita keluarkan dan kita kerjakan. Semakin tahu kita keluhan-keluhan dari para santri, dan yang mulia para kiai juga menyampaikan kepada saya. Semakin banyak yang disampaikan semakin saya semakin tahu dan semakin mengerti.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya sangat menghargai sekali apa tadi yang disampaikan oleh Pak Kiai. Sangat jelas apa yang harus kita lakukan untuk bangsa, untuk negara ini. Dan sekali lagi, saya mengajak marilah kita menjaga, merawat persatuan kita, persaudaraan kita, kerukunan kita, ukhuwah kita, ukhuwah islamiah kita, ukhuwah wathaniyah kita. Agar persatuan, kerukunan, persaudaraan betul-betul terus berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita miliki.

Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru